Oleh Dahlan Iskan
HANYA ada satu karangan bunga di rumah Veddriq Leonardo, peraih medali emas Olimpiade Paris 2024: dari penerbit buku Erlangga. Rupanya ada hubungan khusus antara pemanjat tebing itu dengan Erlangga.
Karangan bunga itu dipajang di teras rumahnya –di sebuah gang, 20 langkah dari tepian sungai Kapuas, Pontianak.
Saya ke rumah itu Sabtu senja kemarin lusa. Bersama para instruktur kelompok senam-dansa yang Anda sudah tahu.
Minggu pagi kemarin memang ada senam massal di Jalan A. Yani, Pontianak. Senam tujuh belasan. Yang diadakan Kakanwil Badan Pertanahan Nasional Kalbar, Dr Andi Tenri Abeng yang cantik dan modis. Bersama Pontianak Post dan Disway Pontianak (pontianakinfo.disway.id).
Itu kali pertama para instruktur kami ke Pontianak. Maka saya ingin menunjukkan jembatan kembar yang melengkung panjang di atas sungai Kapuas. Itu baru selesai dibangun bulan lalu. Maksud saya: dulu tidak kembar begitu. Inilah kembar yang lahirnya selisih lebih 20 tahun.
Tanpa kembaran itu lalu-lintas Pontianak sisi barat dan sisi timur Kapuas seperti tersedak di jembatan itu. Kini lebih lega. Sumbatannya beralih ke lampu bang-jo sebelum dan sesudah jembatan. Belum ada rekayasa arus lalu-lintas di dua perempatan itu.
Sambil menunggu lampu merah menjadi hijau saya terpikir: rumah Veddriq kan dekat jembatan ini. Maka saya minta sahabat Disway di sana untuk mencarikan alamat rumahnya.
Aditya Pangestu Putra, pimpinan Disway Pontianak di mobil terpisah. Ia pimpinan Disway termuda di seluruh Indonesia: 27 tahun. Jomblo. Tepatnya: ditinggal tunangannya.
Alamat Veddriq ketemu. Dekat sekali. Dekat rumah Dirut Pontianak Post Salman Busrah. Hanya perlu dua kali belok: ke kanan dan ke kiri. Beberapa kali. Masuk kampung.
Begitu turun dari jembatan kembar Kapuas 1, di lampu bang-jo pertama, kami belok kanan. Lurus. Setengah kilometer. Lalu belok kanan lagi. Belok kiri. Belok kanan.
Setelah belok kiri lagi ketemu tanah kosong seluas seperempat lapangan bola. Penuh anak-anak yang ikut lomba tujuh belasan.
Di dekat lomba itu ada seporong gang. Kami jalan kaki masuk ke gang itu. Gang Harapan. Mobil diparkir di pinggir jalan kampung itu: Jalan Tanjung Harapan. Di kampung Kapur, Kelurahan Banjar Serasan.
Di ujung gang Harapan itulah, di dekat sungai, rumah Sumaryanto berada.
Sumaryanto adalah ayahanda peraih medali emas itu. Ia asal Jepara, Jateng. Sumaryanto merantau ke Pontianak saat masih berusia 16 atau 17 tahun.
Di Jepara, Sumaryanto hanya tamat SMP. Ayahnya buruh tani. Setamat SMP, Sumaryanto bekerja di rumah milik pengrajin ukiran kayu. Ia pun menjadi mahir dalam ukir-mengukir. “Bakat alam,” jawab Sumaryanto. Saya memang bertanya siapa yang jadi mentor ukirnya.
Lalu remaja Sumaryanto menjual sepedanya. Ia beli tiket kapal kayu dari Semarang menuju Pontianak. Itu tahun 1980-an. Ia dapat kenalan orang Pontianak asal Solo. Orang Solo itulah yang menampungnya sementara di Pontianak.
Begitu mulai dapat order ukiran, Sumaryanto cari kontrakan rumah sendiri. Namanya pun semakin terkenal sebagai orang yang ahli ukir. Mulailah banyak order dari rumah-rumah orang berpunya di Pontianak.
Di depan rumah kontrakannya itu sering ada pelajar putri yang lewat. Ia jatuh cinta pada salah satu gadis itu. Anak tetangga. Namanya: Rosita –seorang gadis Melayu berkerudung. Sumaryanto pun berhasil mengukirkan cinta di hati Rosita.
Anak pertama mereka perempuan. Yang kedua pun wanita. Sumaryanto sangat menginginkan anak laki-laki. Rosita diminta melahirkan terus. “Kalau perlu sampai tujuh anak,” gurau Sumaryanto. Sampai lahir anak laki-laki.
Anak ketiganya ternyata laki-laki.
Saat itu Sumaryanto lagi senang-senangnya sepak bola. Tim pujaannya adalah Brasil. Maka ia pun menamakan anaknya dengan nama pemain bola Brasil: Veddriq Leonardo.
Sang istri agak ragu dengan nama itu. Tidak lazim orang Melayu punya nama seperti itu. “Kok namanya seperti orang bule?” tanya sang istri. “Apakah tidak apa-apa?” tambahnya.
“Hanya nama. Tidak apa-apa,” jawab Sumaryanto.
Dua tiga kali Rosita menanyakan kemantapan sang suami atas pilihan nama Veddriq Leonardo. Tapi Sumaryanto menjawab: sudah mantap.
Ia ingin anak lakinya itu jadi pemain sepak bola yang terkenal. Apalagi anak keempatnya ternyata wanita lagi.
Di pinggir sungai Kapuas itu tertancap tonggak kayu. Tinggi. Terlihat dari teras rumahnya. Tonggak itu diperlukan untuk mengikat kapal-kapal kayu. Sungai Kapuas adalah sungai terlebar di Indonesia. Kapal-kapal hilir mudik membawa barang dan orang.
Bagi Veddriq-kecil, tonggak itu untuk dipanjat. Setelah sampai atas ia bisa terjun ke sungai. Ia harus cepat-cepat memanjat kayu itu lagi. Sebelum anak yang lain mengambil alih. Itulah permainan Veddriq-kecil bersama teman-temannya di Gang Harapan.
Sang ayah bercerita: Veddriq-kecil suka memanjat apa saja. Saat mulai bisa berjalan, semua meja kursi di rumah itu dipanjat. Ia lebih suka berjalan di atas sandaran kursi daripada di lantai.
Setelah agak besar Veddriq suka memanjat pohon. Yang paling ia suka adalah memanjat pohon jengkol di depan rumahnya. Pohonnya besar. Tinggi. Pohon itu kini tidak ada lagi. Ditebang. Yakni saat di sebelah ruang tamu harus dibangun kamar tidur.
Di kamar depan bekas pohon jengkol itulah Sumaryanto dan istri tidur. Kamar di belakang ruang tamu untuk Veddriq. Kamar lainnya untuk kakak dan adik Veddriq.
Rumah itu mirip ukuran tipe 70. Tiga kamar tidur. Dapurnya di bagian belakang. Kursi-kursi di ruang tamu semua kursi kayu berukir.
Saya pun melongok ke kamar Veddriq. Tidak ada ranjang. Kasur besarnya dihampar di pojok lantai. Ada meja. Ada lemari. Di atas meja penuh buku. Di atas lemari juga penuh buku.
Saya ingin tahu buku apa saja yang dibaca Veddriq. Saya kaget. Ternyata buku-buku berat: filsafat, matematika, tokoh besar dunia di bidang bisnis, buku motivasi kelas internasional, dan buku pedoman hidup. Juga ada buku agama.
Lihatlah judul-judul buku di foto yang menyertai tulisan ini. Saya jejer sebagian kecil buku itu di meja. Nicky Yusanda, salah seorang instruktur senam kami, memotretnya untuk Anda.
Veddriq tidak hanya suka membaca. Ia juga suka menulis. Puisi. Cerita pendek. Pengalaman perjalanan.
Salah satu cerpennya masuk dalam kompilasi buku cerpen siswa SMA. Kumpulan cerpen itu sudah diterbitkan oleh penerbit Erlangga Jakarta. Maka tahulah Anda mengapa ada karangan bunga Erlangga di teras rumah Sumaryanto.
Guru olahraga SMA Veddriq-lah yang melihat kecepatan siswanya itu saat memanjat pohon. Sang guru lantas memotivasi Veddriq untuk belajar panjat tebing.
Veddriq sangat menyukai olahraga satu itu. Sampai akhirnya panjat tebing menjadi olahraga prestasi baginya. Bagi nama besarnya. Bagi keharuman SMAN 6, sekolah Veddriq. Bagi Pontianak. Bagi Kalbar. Dan akhirnya bagi Indonesia.
Veddriq dapat medali emas di Pekan Olahraga Nasional (PON) yang lalu. Atas nama Kalbar.
Dari situ Veddriq tahu catatan rekor panjat tebingnya. Lalu ia banding-bandingkan dengan catatan kecepatan atlit dunia lainnya. Hasilnya: ia pun sangat optimistis akan bisa bicara di tingkat internasional.
Setelah PON empat tahun lalu itulah Veddriq mulai punya cita-cita menjuarai Olimpiade. Ia tahu Olimpiade tahun 2024 di Paris.
Kata sang ayah: sejak saat itu Veddriq sudah tahu bakal jadi juara di Paris.
“Veddriq pernah bikin tulisan di kertas. Kertas itu ia tempel di dada. Lalu difoto. Fotonya dimuat di Instagram. Foto Veddriq dengan tulisan juara Olimpiade di dada”.
Ternyata, kelak, di tahun 2024, Veddriq benar-benar juara Olimpiade. Untuk cabang panjat tebing. Kategori speed.
Ia mengharumkan nama Indonesia di saat kritis. Yakni di saat hampir saja Indonesia pulang tanpa medali emas. Medsos sudah mulai ramai dengan keprihatinan atas prestasi yang merosot. Omelan nasional mulai memenuhi langit medsos.
Veddriq yang membungkamnya.
PON di Aceh bulan depan tentu akan lebih meriah oleh kehadiran Veddriq di panjat tebing. Ia kembali akan mewakili Kalbar.
Untuk itu Rabu lusa Veddriq pulang ke Pontianak. Ia akan diarak di sebuah pawai keliling kota menyambut prestasinya di Paris.
Saya salah sangka. Saya pikir kirab itu dilakukan di hari Minggu kemarin, saat saya di Pontianak.
Hari itu ternyata Veddriq masih di IKN. Ia diundang menghadiri upacara kenegaraan HUT Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang untuk kali pertama dilakukan di luar Jakarta.
Pawai Rabu lusa dilakukan sejak dari Bandara Supadio. Yakni sejak Veddriq mendarat dari Jakarta. Setelah pawai, Veddriq akan pulang ke Gang Harapan –kumpul dengan ayah ibu dan adiknya.
Rumah di Gang Harapan itu kini sudah lebih baik dibanding Veddriq belum juara nasional. Semuanya Veddriq yang membiayai. Ekonomi Veddriq memang kian baik.
Sedangkan ekonomi ayahnya menurun. Order ukiran terus merosot. Perabot kayu kian langka. Kayu sudah digantikan plastik dan bahan olahan lainnya.
“Veddriq…minta…saya…berhenti….kerja,” ujar Sumaryanto lirih.
Matanya sembab saat bercerita soal kebaikan hati anaknya itu. Ia berlinang. Tersedak. Terdiam. Lama. Wajahnya menengadah ke langit-langit.
Cerita pun diteruskan oleh istrinya. Sang istri duduk di bawah. Di lantai. Dengan jilbab warna abu-abu tua dan baju panjangnya yang berwarna hitam. Sang istri juga hanya bisa berkata satu dua kata. Lalu ikut sesenggukan.
Setelah tidak kerja Sumaryanto memilih menjaga kesehatan dengan bersepeda. Habis salat subuh ia selalu naik sepeda sejauh sekitar 20 km. Setiap hari. Lalu ke masjid. Mengaji. Pulang. Nonton TV.
Sumaryanto menonton saat anaknya bertanding di Paris. Nonton di TV. Di rumahnya di Gang Harapan. Bersama keluarga. Lewat live streaming Vidio.
Saat Veddriq dan delegasi Indonesia pulang ke Indonesia mereka diterima Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta. Ayah, ibu, dan adik Veddriq dibiayai ke Jakarta. Ikut ke istana.
“Sudahkah dibicarakan untuk apa hadiah sebanyak Rp 6 miliar dari presiden?”
“Veddriq akan membangun fasilitas panjat tebing di Pontianak. Ia akan membina anak-anak muda untuk berprestasi di panjat tebing,” ujar sang ayah.
“Veddriq juga akan membangun gym untuk masa depannya,” tambahnya.
Waktu SMA Veddriq pernah membangun sarana panjat tebing. Mutunya darurat. Terbuat dari triplek. Ia beli sendiri triplek itu. Ia pasang sendiri.
Di tebing triplek itulah Veddriq latihan. Sebelum dipanggil TC di Jakarta. Triplek itu ternyata berhasil mengantarkannya juara Olimpiade di Paris.
Veddriq punya kemampuan untuk menjadi pembina. Ia suka mengajar. Cita-citanya sejak SMA adalah menjadi guru olahraga. Maka ia pun ingin masuk jurusan pendidikan olahraga di Universitas Tanjungpura, Pontianak. Jurusan itu, saat itu, sudah ada. Tapi Veddriq tidak lulus tes masuknya. Tinggi badannya kurang sedikit. Saat ini tinggi Veddriq 162 cm.
Gagal masuk jurusan pendidikan olahraga, Veddriq masuk jurusan pendidikan guru SD. Lulus. Veddriq jadi sarjana pendidikan.
Saat jadi murid, ia murid yang baik. Saat jadi guru pun ia akan jadi guru yang baik.
Guru, pelatih olahraga di SMA, kini ada yang jadi calon wakil presiden. Yakni Timothy James Walz yang kini berpasangan dengan Kamala Harris di Pilpres Amerika Serikat.
Juara Olimpiade sudah berhasil diraih Veddriq. Di usia 26 tahun. Yang belum bisa diraih adalah pasangan hidup. Penyebabnya sederhana: pacarnya tidak sabar menunggu janji Veddriq untuk mengawininyi setelah menjadi juara di Olimpiade Paris.
Veddriq memang sangat fokus menjadi juara Olimpiade. Ia tidak mau terganggu apa pun, termasuk oleh perkawinan.
Saya tentu mengucapkan selamat kepada keluarga Sumaryanto.
Saya juga kirim WA ke Rocky Gerung, salah satu ketua panjat tebing Indonesia.
Saya tahu ia sudah pulang dari Paris. Tapi baru sehari kemudian WA saya ia jawab: “No Disway No Day”.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia