Anti Gempa

Ilustrasi anti gempa. (Foto: disway.id)

Oleh Dahlan Iskan

ILMUWAN kampus kalah jauh oleh politisi –khususnya dalam hal gempa.

Intelektual kampus belum bisa menciptakan perangkat antigempa, politisi di Senayan sudah menemukan solusi manjur mengatasi gempa yang episentrumnya di Mahkamah Konstitusi (baca Disway kemarin: Gempa MK).

Pagi ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan sidang pleno kilat –disebut kilat karena undangan pleno itu baru ditandatangani kemarin.

Ini pasti karena negara dalam keadaan darurat. Jarak ditandatanganinya undangan dengan jadwal dimulainya rapat pleno tidak sampai 24 jam.

Pleno hari ini, rasanya Anda pun sudah tahu hasil keputusannya: mengabaikan putusan MK Selasa lalu. DPR akan memutuskan hanya tunduk pada putusan Mahkamah Agung:

Pertama, umur calon kepala daerah minimal 30 tahun dihitung saat pelantikan –bukan saat pendaftaran calon seperti putusan MK.

Kedua, untuk mengusung calon kepala daerah, partai atau gabungan partai harus memperoleh suara 20 persen seperti yang berlaku selama ini.

Putusan MK Selasa lalu hanya berlaku bagi partai non parlemen. Tidak berlaku bagi partai yang lolos ke parlemen.

Berarti PDI-Perjuangan gagal bisa mengajukan calon gubernur Jakarta sendirian. Mungkin pilih tidak mengajukan calon –karena partai lainnya sudah menyatu di KIM-Plus.

Dua hal itu tadi memang sudah diputuskan oleh rapat Badan Legislasi DPR. Rabu kemarin. Di badan itu semua fraksi sudah diwakili. Termasuk PDI-Perjuangan. Maka di Pleno DPR hari ini rasanya tinggal aklamasi mengesahkannya.

Sikap PDI-Perjuangan pasti membuat pendukung Anies Baswedan masgul. Khususnya untuk batas umur calon kepala daerah: PDI-Perjuangan menyatakan ikut putusan mayoritas.

Kok PDI-Perjuangan begitu?

Tunggu dulu. Dengarkan pendapat Boyamin Saiman. Ia lagi di Melbourne, Australia. Saya melakukan hubungan jarak jauh dengan pengacara asal Solo itu. Tadi malam.

Menurut Boyamin, sikap PDI-Perjuangan itu bisa disebut ‘jebakan Batman’. Biar saja KIM-Plus mengusung Lutfi-Kaesang di pemilihan gubernur Jateng.

PDI-Perjuangan akan usung calon sendiri.

Kalau Lutfi-Kaesang menang, PDI-Perjuangan akan menggugat ke MK. Pasti kemenangan Lutfi-Kaesang dibatalkan. Otomatis pasangan PDI-Perjuangan yang dilantik di Jateng.

“Kelihatannya DPR seperti memberi jalan pada Kaesang, padahal itu menjebak Kaesang,” ujar Boyamin.

Yang seperti itu, kata Boyamin, pernah terjadi di Pilkada tahun 2019. Yakni di kabupaten –Anda pasti sudah lupa nama ini– Sabu Raijua. Itu di NTT. Di pulau Timor. Bertetangga dengan kabupaten Kupang.

Di Pilkada Sabu Raijua pemenangnya Anda sudah tahu: Orient Patriot Riwu Kore. Ada tiga pasang calon bupati Sabu Raijua kala itu.

Pasangan nomor satu, Nikodemus N. Rihi Heke dan Yohanis Uly Kale, menggugat ke MK. Alasannya: Riwu Kore, si pemenang, adalah warga negara Amerika.

Orient Patriot Riwu Kore memang pemegang paspor Amerika. Itu karena ia bekerja di perusahaan pembuat kapal perang di sana. Itu objek vital. Pekerjanya harus warga negara Amerika sendiri.

Di samping itu Riwu juga menikah dengan wanita yang berpaspor Amerika.

Sebenarnya Riwu sudah mengajukan bantahan. Ketika mendaftar ke KPU Sabu Raijua ia sudah mengajukan permohonan berhenti sebagai warga negara Amerika.

Memang permohonannya itu belum dikabulkan. Alasannya: masih Covid-19. Tidak bisa cepat. Belakangan permohonan itu benar-benar dikabulkan. Tapi Pilkada sudah lewat.

Akhirnya MK mengabulkan gugatan pasangan nomor satu dengan alasan saat mendaftar Riwu masih berpaspor Amerika.

MK pun memerintahkan Pilkada ulangan. Hanya boleh diikuti pasangan nomor 1 dan nomor 3. Hasilnya Anda sudah tahu: pasangan nomor 3 yang menang. Yakni Drs Nikodemus  N. Rihi Heke. Ia dapat durian runtuh. Ia bukan penggugat tapi yang berhasil menang.

Yang seperti itu bisa terjadi di Jateng kelak –kecuali ada gempa besar lagi. Toh gempa bisa direncanakan –baik kapan waktunya maupun berapa besaran skala Richter-nya.

Apa yang akan dilakukan PDI-Perjuangan di Pleno DPR hari ini?

Paling banter hanya interupsi. Toh pasti kalah: 7 lawan 1.

Maka setelah putusan DPR hari ini kita pun punya UU Pilkada yang baru. Itu UU Petir. Datangnya tiba-tiba, dampaknya dahsyat luar biasa.

Salah satu kedahsyatannya: akan banjir gugatan ke MK –minta UU baru ini dibatalkan. Setidaknya anak-anak Boyamin akan melakukannya –dugaan saya. Atau siapa saja.

Tapi gugatan ke MK perlu waktu. Sidang-sidang di MK juga makan waktu. Tidak bisa kilat seperti DPR. Sambil menunggu putusan MK itu Pilkada jalan terus.

Tidak akan mulus. Hasil Pilkada pun akan banyak digugat ke MK. Bukan ke MA.

MA memang bisa membuat keputusan yang jadi pegangan DPR tapi MK-lah yang berhak mengadili sengketa Pilkada.

Atau seperti yang disampaikan Prof Dr Yusril Ihza Mahendra kepada saya tadi malam: Putusan MK lebih tinggi karena menguji UU terhadap UUD. Putusan MA hanya menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU.

Ruwet?

Datanglah ke politisi. Gempa pun bisa mereka lawan apalagi hanya keruwetan.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia