J5NEWSROOM,COM, Jakarta – Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, mengungkapkan jumlah penduduk yang tergolong kelas menengah menurun drastis dalam beberapa tahun terakhir, dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024. Artinya, ada sekitar 9,48 juta orang yang keluar dari kategori kelas menengah dan turun ke kategori yang lebih rendah.
Amalia menjelaskan, penurunan jumlah kelas menengah ini merupakan salah satu efek jangka panjang atau scarring effect dari pandemi Covid-19. “Di tahun 2021 itu kelas menengah jumlahnya 53,83 juta dengan proporsi 19,82 persen. Dan terakhir di tahun 2024 jumlahnya 47,85 juta dengan proporsi 17,13,” kata Amalia dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat Rabu, 28 Agustus 2024.
Penurunan ini diiringi dengan peningkatan jumlah penduduk yang masuk dalam kategori aspiring middle class atau kelompok yang sedang menuju kelas menengah. Mereka ini adalah kelompok yang berada di antara kelas rentan miskin dan kelas menengah.
Data BPS menunjukkan pada 2024, sebanyak 137,5 juta orang atau 49,22 persen dari total penduduk masuk dalam kategori ini. “Yang 137,5 juta ini sebenarnya bisa kemudian di-upgrade, untuk mudah untuk di-upgrade menjadi kelas menengah,” jelas Amalia.
Namun, Amalia memperingatkan banyak dari penduduk kelas menengah saat ini berada di ambang batas bawah kelompok mereka, dengan pengeluaran rata-rata sekitar Rp 2,04 juta per kapita per bulan. “Sehingga ada kerentanan kalau nanti terganggu, dia masuk kembali ke aspiring middle class,” katanya.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Dolfie Othniel Frederic Palit, dalam rapat ini sempat meminta klarifikasi perihal definisi dan kriteria yang digunakan BPS untuk mengklasifikasikan penduduk ke dalam kelompok-kelompok tersebut.
Amalia mengatakan BPS menggunakan kriteria Bank Dunia untuk menentukan kelas menengah, yaitu mereka yang memiliki pengeluaran 3,5 hingga 17 kali garis kemiskinan. Sementara, aspiring middle class memiliki pengeluaran 1,5 hingga 3,5 kali garis kemiskinan.
Data yang dipaparkan Amalia menunjukkan penurunan yang signifikan pada jumlah kelas menengah, yang awalnya 57,33 juta orang (21,45 persen) pada tahun 2019 menjadi hanya 47,85 juta orang (17,13 persen) pada 2024. Sebaliknya, kelompok aspiring middle class meningkat dari 128,85 juta orang pada 2019 menjadi 137,5 juta orang pada 2024.
Data lain memperlihatkan kriteria pengelompokan kelas berdasarkan pengeluaran per kapita per bulan. Untuk 2024, mereka yang tergolong kelas menengah memiliki pengeluaran antara Rp2,04 juta hingga Rp9,9 juta, sedangkan aspiring middle class berada di antara Rp874.398 hingga Rp2,04 juta per kapita per bulan. Kriteria ini menunjukkan banyak orang di kelas menengah berada dalam posisi yang rentan dan berpotensi turun ke kelompok yang lebih rendah jika terjadi guncangan ekonomi.
Amalia juga merinci kelas menengah di Indonesia sebagian besar bekerja di sektor jasa (57 persen), diikuti oleh sektor industri (22,98 persen) dan pertanian (19,97 persen).
Perubahan dalam pola pengeluaran kelas menengah juga menjadi sorotan dalam pemaparan Amalia. Dalam 10 tahun terakhir, kata dia, terjadi pergeseran prioritas pengeluaran kelas menengah. Dulu, sekitar 45,53 persen pengeluaran kelas menengah ditujukan untuk makanan dan minuman, tetapi sekarang angkanya turun menjadi 41,67 persen.
Sementara itu, pengeluaran untuk perumahan juga mengalami penurunan dari lebih dari 32 persen menjadi sekitar 28,5 persen. Sebaliknya, ada peningkatan pengeluaran untuk barang dan jasa lainnya, termasuk kebutuhan pesta yang naik dari 0,75 persen menjadi 3,18 persen, serta hiburan yang mulai menebal menjadi 0,38 persen.
“Secara umum, prioritas pengeluaran kelas menengah saat ini adalah makanan, perumahan, dan barang jasa lainnya,” kata Amalia.
Sumber: Tempo.co
Editor: Agung