Oleh Dahlan Iskan
KAMIS kemarin itu sebenarnya Dr Faisal Basri punya jadwal ke pengadilan negeri Jakarta. Bersama tokoh pers Bambang Harimurti. Dua orang itu akan menjadi saksi ahli perkara PK yang diajukan ahli keuangan Lin Che Wei.
Di hari yang sama Faisal ternyata harus ke pemakaman Menteng Pulo, Tebet, Jakarta: ahli ekonomi itu meninggal dunia Kamis subuh kemarin. Ia dimakamkan di situ.
Faisal sebenarnya sering tidak sejalan dengan Lin Che Wei. Tapi Faisal mengatakan bahwa Che Wei tidak bersalah. Ia mau jadi saksi untuk itu.
Che Wei dijadikan tersangka soal perdagangan minyak goreng. Ia seperti menjadi tumbal heboh nasional kenaikan harga minyak goreng dua tahun lalu.
Che Wei dijatuhi hukuman satu tahun penjara. Ia naik banding ke pengadilan tinggi. Tetap dihukum satu tahun penjara.
Lalu kasasi ke Mahkamah Agung. Di MA hukuman untuk Che Wei justru dinaikkan menjadi tujuh tahun.
Che Wei pun mengajukan PK. Bambang Harimurti, mantan pemred TEMPO dan Faisal Basri mendukung Che Wei.
Karena itu Bambang kaget ketika Kamis pagi kemarin menerima kabar Faisal meninggal dunia. Akhirnya Bambang berangkat sendiri ke pengadilan. Selesai bersidang ia langsung ke makam: jadi orang pertama yang tiba di makam.
Di mata Bambang –pun di mata siapa saja– Faisal itu istimewa.
Ibarat partai hanya ia yang tabah menjadi oposisi seumur hidupnya. Oposisi terhadap pemerintah.
Ia selalu kritis pada kebijakan ekonomi negara. Utamanya, belakangan, soal penambangan nikel.
Faisal hampir tidak pernah mengenakan sepatu. Alas kakinya selalu saja sandal-sepatu.
Ia juga tidak pernah membawa tas. Ke mana-mana Faisal mamanggul ransel.
Faisal adalah ahli ekonomi kelas satu dengan penampilan kelas ekonomi.
Faisal pernah mengembalikan uang ratusan juta rupiah ke salah satu BUMN. Sebenarnya itu uang honorarium atas jasa pemikirannya. Tapi ia merasa nilainya berlebihan. Ia merasa ada maksud tersembunyi di balik uang itu: agar tidak terlalu kritis pada BUMN tersebut.
Faisal bulan lalu menerima undangan kelompok tani di Sumatera Utara. Ia hanya dijemput mobil tanpa AC. Perjalanannya jauh. Enam jam. Naik turun. Sampai muntah-muntah. Ia tidak mengeluh. Nasib petani lebih buruk daripada dirinya. Harus dibela.
Faisal sungguh manusia langka. Analisis ekonominya setajam keris raja-raja Jawa tapi hatinya begitu mulia.
Sebenarnya ia bisa dengan mudah menjadi kaya. Tapi ia tetap saja naik kendaraan umum. Tinggalnya pun di apartemen sederhana. Berdua dengan istri. Tiga anaknya sudah mandiri.
Tiga hari lalu kondisi Faisal kurang baik. Anaknya memaksanya ke rumah sakit. Tidak mudah meyakinkan Faisal masuk rumah sakit. Kali ini agak telat. Jantungnya bermasalah. Seharusnya bisa segera dioperasi. Tapi gula darahnya juga lagi tinggi. Harus dikendalikan dulu.
Faisal dimasukkan ICU. Di RS Mayapada. Tidak tertolong. Usianya baru 65 tahun.
Faisal tentu beririsan dengan politik. Ia pernah menjabat sekjen Partai Amanat Nasional (PAN).
Ia berharap PAN bisa menjadi partai reformasi yang modern. Demokratis. Independen. Gabungan antara kelompok agama dan nasionalis/sekularis.
Ia kecewa. PAN ia nilai lebih tergiur menjadi partai agama. Amin Rais ternyata tidak bisa nyaman berada di tengah-tengah kelompok sekuler.
Faisal mundur dari PAN. Pun tokoh-tokoh sekuler lainnya.
Suatu saat Faisal bergurau: Ia masuk PAN gara-gara didorong Hamid Basyaib. Tapi Hamid sendiri tidak pernah masuk PAN.
Hamid adalah tokoh yang menjadi dalang ide penggabungan antara kekuatan Islam dan sekuler.
Hamid berpendapat PAN tidak bisa besar kalau hanya berkutat di basis Islam. Di situ PAN akan berebut suara dengan partai berbasis Islam lainnya.
Tapi Hamid masih ragu dengan sikap Amin. Ia melihat Amin masih cenderung untuk masuk PPP dan jadi tokoh sentral di partai itu.
“Kami dan PPP saling berebut Amin. Sampai secara fisik. Kami tarik lengan Amin dari tokoh PPP yang menariknya,” ujar Hamid tadi malam.
Akhirnya Hamid tidak mau masuk PAN. Tapi Hamid diminta agar ‘menyerahkan’ lima sahabatnya sesama tokoh sekuler ke PAN. Ia serahkan daftar lima orang itu. Salah satunya Faisal Basri.
Hamid sendiri kemarin tidak ke pemakaman Faisal. “Saya tidak pernah sampai hati ke pemakaman teman baik. Saya tidak bisa melihat teman saya dimasukkan lubang kuburan,” katanya.
Hamid pilih penulis artikel kenangan untuk temannya itu. Saya turunkan tulisan Hamid Basyaib tentang Faisal di bawah ini.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia