Dewan Pergerakan Advokat RI Perjuangkan Keadilan Hingga ke Jepang

Waketum DePA-RI Akhmad Abdul Aziz Zein (kanan) bersama Dubes RI untuk Jepang, Heri Akhmadi di KBRI Tokyo. (Foto: J5NEWSROOM.COM)

J5NEWSROOM.COM, Tokyo – Kepala Protokol dan Konsuler KBRI Tokyo, Titik Nahilal Hamzah, Sabtu (31/8/2024), menyampaikan ucapan terimakasih atas kedatangan Wakil Ketua Umum DePA-RI (Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia) ke Tokyo.

“..kami segera berdiskusi dengan para korban terkait kasus Sastra Eliza. Mohon bantuan Pak Luthfi dan Pak Aziz kedepannya.” Demikian pesan WA dari Titik Nahilal Hamzah.

Setelah acara Munas Pertama dan Launching DePA-RI akhir Agustus 2024 lalu lalu di Yogyakarta, DePA-RI yang dikomandani TM. Luthfi Yazid itu mengirimkan Wakil Ketua Umumnya, Aziz Zein untuk berangkat ke Jepang.

Setelah KBRI melalui Titik Nahilal Hamzah berkomunikasi dengan Luthfi Yazid terkait banyaknya pengaduan ke KBRI Tokyo atas kasus penipuan tenaga kerja. Akhmad Abdul Aziz Zein sempat diterima oleh Duta Besar Indonesia untuk Jepang, Heri Akhmadi di KBRI Tokyo.

“Akhmad Abdul Aziz Zein yang merupakan advokat dan juga kurator ini merasa bersyukur dan berterimakasih kepada pihak KBRI yang dapat menerima kedatangannya dengan baik. Aziz berdikusi dengan KBRI tentang kasus Sastra Eliza. Pak Dubes Heri Akhmadi, adalah mantan aktivis mahasiswa ITB, sehingga karenanya cukup peka dengan ketidak-adilan dan nasib rakyat kecil termasuk adanya kasus penipuan oleh orang Indonesia di Jepang,” tutur Luthfi Yazid.

Terhadap calon-calon tenaga kerja ataupun magang di negeri Sakura itu, ada banyak korban dalam kasus penipuan ini. Awalnya para korban didik di LPK.

Biasanya para trainee yang akan bekerja di Jepang diharuskan untuk belajar bahasa, budaya Jepang, cara beradaptasi dll. Dalam kasus Sastra Eliza ini, para korban  diiming-imingi untuk mendapatkan pekerjaan di Jepang dengan menyetor sejumlah uang melalui LPK (Lembaga Pelatihan Kerja).

Sangat banyak orang Indonesia dari berbagai daerah yang tertarik dengan tawaran itu. Biasanya tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Jepang– misalnya di tempat penangkapan ikan, di pabrik-pabrik, restaurant dan sebagainya — dalam visa statusnya adalah trainee, latihan atau gakusei.  Akan tetapi setelah mereka menyetor sejumlah uang ke Eliza melalui LPK, kesempatan kerja yang ditunggu-tunggu tak juga datang. Jumlahnya semakin banyak dan semakin banyak pula pengaduan ke KBRI sejak tahun 2021/2022.

Kebetulan, Ketua Umum DePA-RI Luthfi Yazid pernah menjadi peneliti dan mengajar dari tahun 2010-2012 di University of Gakushuin di Tokyo serta memiliki hubungan dengan para pengacara di Jepang. Maka, KBRI menghubungi Luthfi Yazid.

Tujuanya, untuk mendapatkan nasihat hukum. Itulah makanya, DePA-RI mengutus Akhmad Abdul Aziz Zein. DePA-RI memberikan nasihat serta bantuan hukum ini secara pro-bono alias cuma-cuma.

Saat ini, DePA-RI terus berkordinasi dengan pihak KBRI serta pengacara Jepang terutama yang ada di Tokyo untuk mencarai Saudara Eliza serta mengkaji langkah-langkah apa yang dapat dilakukan kedepannya. Sekali lagi ikhtiar DePA-RI ini dilakukan tanpa mendapat bayaran apapun dan dari mana pun.

Semata-mata karena niat baik untuk memperjuangkan Justitia Omnibus, keadilan untuk semua, terutama terhadap masyarakat yang terzolimi dan lemah. Tentu Eliza mesti harus bertanggungjawab. Tapi apakah hanya Eliza yang bertanggungjawab? Tentu  tanpa persuasi dari LPK mereka juga tidak akan melamar kerja  ke Jepang, dengan demikian LPK mesti bertanggungjawab juga.

Kasihan korban, mengumpulkan biaya tidak mudah untuk memperoleh pekerjaan di Jepang serta mendaftar melalui LPK.  
Menurut informasi yang diterima, ada kecenderungan peningkatan warga Indonesia di Jepang terlibat dalam persoalan hukum. Tentu banyak hal yang dapat menjadi faktor pendorong, misalnya faktor bahasa, faktor budaya Jepang yang super disiplin, tekanan kerja, stress, kultur tepat waktu dan kompetisi yang sangat ketat.

Untuk dapat bekerja di negeri Sakura memang tidak mudah, sebab harus melalui berbagai seleksi. Soal kemampuan bahasa Jepang misalnya harus sudah lulus level tertentu (missal N4 atau N3), dan juga mesti punya sertifikat-sertifikat lainnya yang diperlukan.

Terhadap kasus semacam itu, Luthfi Yazid—yang banyak bekerjasama dengan praktisi hukum Jepang maupun dengan Japan Federation of Bar Association (JFBA)–  menyerukan agar Eliza serta LPK untuk bertanggungjawab serta mengembalikan uang para korban dengan dicicil atau dengan cara apapun. Luthfi juga menghimbau kepada warga negara Indonesia untuk tidak mudah tergiur dengan iming-iming pekerjaan semacam itu. Jaman seperti sekarang, era medsos ini, banyak kemungkinan terjadinya penipuan, banyak informasi yang menyesatkan, yang sifatnya hoax.

“Kepedulian KBRI Tokyo di bawah Duta Besar Heri Akhmadi patut menjadi contoh, dan semoga KBRI Tokyo, Kementeriaan Tenaga Kerja RI dengan dibantu oleh DePA-RI dapat membantu mencarikan solusi atas kasus ini. Meskipun Pak Dubes bukan diplomat karier, tapi karena memiliki jiwa aktivis da kepedulian yang tinggi. Maka kepedulian KBRI Tokyo dan Pak Dubes patut diapresiasi,” papar Luthfi menutup pembicaraannya.

Editor: Agung