Oleh Dahlan Iskan
SAYA baru bisa menyampaikan rasa duka itu kemarin. Saya telepon Syahfitri Basri, istri Dr Faisal Basri.
Saya sampaikan maaf dan duka. Saya tidak bisa melayat ketika sang suami meninggal dunia Kamis subuh lalu.
Dia pun bercerita: Rabu malam itu sebenarnya akan dipaksakan untuk dipasang kateter –menuju jantung Faisal.
Lalu akan dipaksakan juga pasang ring di dalam jantungnya.
Hanya perlu satu ring saja.
Memang hanya satu saluran darah saja di dalam jantung Faisal yang tersumbat. Bukan urusan besar yang sulit bagi dokter.
Pemasangan ring itu, menurut rencana, akan dilakukan pukul 01.00. Belum sampai dilakukan, layar monitor di ICU menyatakan ada masalah: gula darahnya 240. Creatinin di ginjalnya 2.
Tak lama kemudian layar monitor di ICU menunjukkan jantung Faisal bermasalah.
Beberapa waktu kemudian jantung itu berhenti berdetak. Dicoba dipompa. Tidak berhasil. Tak lama kemudian dinyatakan meninggal dunia: pukul 03.30.
Anak tertua Faisal, Anwar Ibrahim Basri (Abi) sedang di Bangkok. Di sana ia ikut pendidikan di Bank Dunia. Lulusan Manchester University, Inggris, itu memang sudah diterima bekerja di Bank Dunia. Di kantor Bank Dunia yang di Singapura.
Itulah sebabnya pemakaman Faisal baru bisa dilakukan pukul 16.00 –menunggu si Sulung tiba dari Bangkok.
Anak keduanya, wanita, lagi ada di Jakarta: Siti Nabila Azuraa Basri (Nabila). Sudah sejak sembilan bulan lalu Nabila kumpul dengan orang tua.
Setelah lulus kuliah antropologi di UBC (University of Columbia) di Van Couver, Kanada, si putri memang langsung bekerja di sana. Di sebuah lembaga non-pemerintah yang bergerak di bidang penanganan HIV.
Sudah sembilan tahun sang putri tinggal di Kanada. Dia kangen orang tua. Dia minta ijin untuk keluar dari perusahaan. Berhenti bekerja. Dia ingin pulang ke Indonesia.
Akhirnya perusahaan mengizinkan Nabila pulang tapi mempertahankan status kekaryawanannyi. Dia diizinkan bekerja dari Jakarta. Secara online.
Anak ketiga, bungsu, laki-laki, masih tinggal di Jakarta: Muhammad Attar Basri (Attar). Ia lulusan University of Edinburgh, Skotlandia.
Attar sudah diterima bekerja di Ernst & Young. Belum mulai bekerja tapi ayahnya sudah tahu bahwa anak bungsunya sudah diterima di E&Y.
Faisal sudah tahu anak bungsunya pun sudah bisa mandiri.
Jenasah Faisal, Anda sudah tahu, dimakamkan di liang lahat yang dulu dipakai mengubur ayahnya. Sang ayah sudah dimakamkan di liang itu tujuh tahun lalu –meninggal di usia 86 tahun.
Fitri ternyata masih sepupu Faisal. Ibunda Fitri adalah adik ayah Faisal.
Faisal memanggil ibu mertuanya “tante”. Kekeluargaan mereka sangat akrab.
Menurut Fitri, dia dan Faisal sudah seperti kakak-adik. Sering pergi bersama keluarga besar. Juga biasa kumpul-kumpul. Sama sekali tidak menyangka akan jadi suami istri.
“Ngerti akan jadi suami lebih baik segera kawin. Dengan demikian saya bisa ikut ke Amerika ketika Faisal kuliah di sana,” ujar Fitri berseloroh.
Faisal memang meraih doktor ekonomi di Tennessee. Tepatnya di dekat kota Nashville. Di Vanderbilt Unversity. Ia masih bujangan saat itu.
Bagaimana akhirnya “kakak-adik” ini bisa kawin?
“Mungkin saya kena tulah…hahahaa…”, jawab Fitri.
Dulunya Fitri sering bercanda: amit-amit jangan sampai dapat suami orang Batak.
“Makanya jangan suka becanda seperti itu. Akhirnya saya dapat suami orang Batak. Masih keluarga pula,” ujar Fitri.
Tantenya Faisal itu, memang sangat sayang pada ponakannya itu. Sejak sebelum jadi menantu pun sudah seperti ibu sendiri.
Sang ibu mertua meninggal Kamis dua minggu lalu. Faisal meninggal di hari yang sama dua minggu kemudian. Seperti lebih ingin cepat berkumpul sang mertua yang juga tantenya.
Sebelum meninggal di usia 86 tahun, sang mertua, Delima Batubara, terkena dimensia. Delima lupa nama Fitri, anak perempuannyi. Tapi dia tidak lupa nama Faisal.
Faisal bermarga Batubara. Satu marga dengan Wakil Presiden Adam Malik. Bukan saja satu marga, kakek Adam Malik adalah kakak kakek Faisal.
Fitri bermarga Nasution. Sama-sama Batak Mandailing, tapi sama-sama lahir di Bandung.
Orang tua mereka sudah pindah ke Bandung di tahun 1950-an.
Setelah SMA di Bandung Faisal kuliah ekonomi di Universitas Indonesia. Fitri masuk FISIP di Universitas Parahyangan Bandung.
“Kami dijodohkan oleh keluarga,” ujar Fitri.
Setahun kemudian Fitri hamil. Tapi bayinyi meninggal di dalam kandungan.
Setahun kemudian hamil lagi. Lahir dengan selamat. Itulah si sulung yang kini bekerja di Bank Dunia.
Dalam hal gaya kehidupan Faisal yang kita kenal –sangat sederhana– Fitri sudah terbiasa dengan itu.
Ayah Fitri sendiri selalu menekankan prinsip yang sama. Kejujuran. Tidak boleh mengambil yang bukan hak dan miliknyi.
“Sangat sederhana sih tidak,” ujar Fitri. “Kami biasa-biasa saja. Kami kan juga bisa menyekolahkan anak ke luar negeri,” ujar Fitri.
Bahwa Faisal selalu memakai sepatu sandal itu karena kakinya ada masalah. Tulang ibu jarinya menonjol. Mendekat ke kelingking. Kalau pakai sepatu Faisal merasa kurang nyaman.
Tetap saja Faisal adalah teladan dalam kesederhanaan –untuk ukuran kelas seorang doktor, ahli ekonomi yang terbaik di Indonesia dan punya jaringan di level elite negara.
Kalau mau, ia bisa kaya raya, punya saham di mana-mana, bisa jadi pejabat tinggi negara dan bisa naik pesawat pribadi ke mana-mana.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia