Oleh Dahlan Iskan
SAYA dalam perjalanan ke Bali saat debat capres Amerika ini berlangsung. Rabu kemarin. Pukul 09.00 WIB.
Sebenarnya saya ingin terbang dengan pesawat paling sore. Sudah lama memastikan ingin melihat debat itu secara live. Tapi tidak ada tempat duduk tersisa. Semua penerbangan ke Bali terisi penuh. Kecuali di Garuda jam 09.20 –itu pun dapat nomor kursi yang dihindari: 44.
Sebenarnya ada satu kursi yang sedikit lebih depan: nomor 30. Tapi orang berumur di atas 65 tahun tidak boleh duduk di situ. Kursi nomor itu di dekat pintu darurat. Umur di atas 65 diragukan kekuatannya untuk membukanya di saat diperlukan.
Tiba di Bali terlalu pagi untuk bisa check-in di hotel. Saya pun luntang-lantung.
Saya sengaja tidak mengontak siapa pun di Bali. Jangan ganggu mereka.
Saya ingin mencoba merasakan gaya hidup rebahan. Rebahan di mana. Belum dapat kamar.
Maka saya punya waktu untuk menonton rekaman debat tersebut. Hampir selama dua jam.
Siapa yang menang? Donald Trump? Kamala Harris?
Rasanya draw. Skor 5-5.
Trump memang agresif, tapi Kamala tidak kalah dalam menyerang.
Intonasi kata-kata Trump sangat bagus. Kamala tidak kalah bagus.
Ketika Trump memotong moderator, Kamala memotong pembicaraan Trump.
Di awal acara, di waktu yang sama keduanya muncul di panggung. Trump dari sisi kiri, Kamala dari sisi kanan.
Kamala muncul dengan wajah tersenyum, Trump dengan wajah serius.
Sampai di atas panggung keduanya seperti canggung sejenak: apakah harus bersalaman.
Kamala akhirnya berjalan lebih cepat ke arah Trump. Sampai melewati ”garis” tengah. Sampai hampir di belakang podium Trump.
Kamala terlihat lebih dulu berinisiatif mengulurkan tangan ke Trump. Sambil tersenyum. Lalu mengucapkan kalimat ‘Mari kita berdebat dengan baik’.
Kamala seperti menempatkan diri lebih tinggi. Tidak gentar pada keberingasan Trump.
Trump mengenakan jas biru tua dengan baju dalam warna putih. Dasinya warna merah. Di dadanya tersemat pin bendera Amerika.
Kamala mengenakan blazer hitam, dalaman bow blouse warna putih dan celana panjang warna hitam.
Di telinganyi terlihat anggun giwang mutiara. Di bagian dada juga tersemat pin bendera Amerika Serikat.
Trump selalu berwajah serius di sepanjang 1,5 jam. Kadang sampai merenggut. Sampai mencureng.
Kamala hampir selalu tersenyum, pun ketika lagi disangrai oleh Trump.
Moderatornya, dua orang, anchor TV ABC, terlihat sangat lugas. Sekali moderator memojokkan Kamala, tiga kali memojokkan Trump.
Kamala dipojokkan dengan pertanyaan soal aborsi. Bukan soal esensinya tapi lebih ke konsistensi sikapnyi: mengapa berubah-ubah pendapat. Yakni di umur bayi berapa minggu setuju aborsi dilakulan. Dia pernah dikutip mengatakan pun ketika umur bayi dalam kandungan sudah sembilan bulan. Di sini Kamala digoreng oleh Trump.
Begitu juga sebaliknya. Ketika Trump dipojokkan moderator Kamala di atas angin. Misalnya bagaimana teknis memulangkan tujuh juta lebih imigran gelap.
Lalu soal peristiwa pendudukan gedung parlemen tanggal 6 Januari 2020. Trump dihabisi. Tapi bukan Trump kalau tidak menyerang balik. Yang diserang Nancy Pelosi, ketua DPR kala itu. Bukan Kamala tapi separtai dengan Kamala.
Pun ketika moderator bertanya apakah Trump tetap bersikap sebagai pemenang sebenarnya di Pilpres 2020.
Trump juga menghindar menjawab langsung pertanyaan moderator: “apakah ada yang Anda sesali dari peristiwa 6 Januari?”.
Ia pilih jawaban yang muter-muter. Lalu moderator menyela: pertanyaan kami simple, “Apakah ada yang Anda sesali dari peristiwa 6 Januari”.
Trump tetap muter.
Pun soal hasil Pilpres 2020. Ia kembali muter-muter. Sampai akhirnya moderator mengulang inti pertanyaan: apakah ia mengaku kalah.
Trump tetap muter-muter. Intinya: Trump tetap bersikukuh ia yang memenangi Pilpres empat tahun lalu.
Trump kembali mendasarkan pendapatnya pada hasil perolehan suaranya: lebih besar dari Pilpres 2016. Bagaimana bisa dinyatakan kalah.
Trump hanya sekali menjawab dengan jawaban pendek. Yakni atas pertanyaan soal bagaimana pendapatnya bahwa Kamala adalah capres kulit hitam.
“I do not care about it,” katanya. Trump terlihat menghindari topik yang berbau rasial. Ia takut suara ras kulit hitam memihak Kamala.
Kamala dapat angin segar. Dia pojokkan Trump dengan fakta bahwa ia pernah membangun apartemen dengan ketentuan orang kulit hitam tidak boleh membeli.
Debat ini terlalu serius. Tidak ada selingan humornya sama sekali.
Seserius Prabowo Subianto masih bisa berjoget gemoy. Juga melahirkan istilah omon-omon. Pun celetukan viral “Mas Aniiiiiies….Mas Anies”.
Ketika Trump menyerang Presiden Joe Biden berkepanjangan sebenarnya Kamala bisa menanggapinya dengan humor saja. Misalnya: “Yang you hadapi ini Kamala. Bukan Biden”. Tapi Kamala pilih jawaban serius.
“Dia lebih buruk daripada Biden,” ujar Trump.
“Ia tidak memenuhi syarat jadi presiden,” ujar Kamala.
Ketika Kamala menyebut banyak pejabat penting di masa Trump kini mendukung dirinyi, Trump dengan enteng meremehkan mereka.
“Mereka adalah orang-orang yang saya pecat,” ujar Trump. Itulah pemimpin yang tegas. Kalau kurang baik harus dipecat. “Jangan seperti Biden. Inflasi sampai gila-gilaan tidak ada yang dipecat,” katanya.
Begitu sering Trump menyerang Biden, akhirnya Kamala bilang: “Saya bukan Biden. Saya juga bukan Trump. Saya adalah tipe pemimpin baru Amerika yang diperlukan saat ini dan masa depan.”
Kayaknya tidak ada yang menang dari debat ini. Setidaknya Kamala –tidak seperti Biden– bisa mengimbangi Trump yang sangat brutal. Kamala menggigit balik setiap digigit. Bahkan kadang dia yang menggigit lebih dulu.
Kadang Kamala seperti menempatkan diri sebagai seorang jaksa di pengadilan, dengan Trump sebagai terdakwanya –terdakwa yang ngotot tidak bersalah dan terdakwa yang menyalah-nyalahkan jaksa sekaligus hakimnya.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia