Oleh Dahlan Iskan
PUN Bung Karno. Pasti senang melihat perubahan di Sanur ini. Apalagi saya. Yang Rabu malam lalu tinggal di sana –untuk acara Bank Indonesia Perwakilan Bali di Nusa Lembongan keesokan harinya.
Saya tidak bisa pilih kamar. Lagi penuh. Juga tidak bisa pilih di hotel yang mana: terserah yang punya acara.
Ada dua hotel di kompleks ini. Inilah kompleks Sanur-nya BUMN InJourney.
Hotel yang satu masih pakai nama yang lama: Bali Beach Sanur.
Satunya lagi juga hotel lama diberi nama baru: The Meru.
Anda sudah tahu apa arti ‘meru’ –karena Anda sudah tahu apa itu mahameru.
Dua-duanya sudah direnovasi total. Tetap bintang lima –kali ini dengan kualitas bintang lima sesungguhnya.
Dua hotel itu lobinya satu. Lobi baru. Terpisah dari hotel. Dari lobi bersama itu ada koridor unik yang baru kali ini saya temui..
Saya masih bisa mengenali Bali Beach yang 10 lantai itu. Tapi sudah sulit mengenali The Meru.
Dari lobi bersama itu Anda harus menuruni jalan seperti masuk lorong menuju gua. Bisa juga pakai lift.
Jalan menuju ‘gua’ itu berlantai hitam. Dinding hitam. Hitamnya granit bercorak batu.
Sepuluh langkah di koridor itu ada lorong temaram ke kanan dan ke kiri. Di ujung-ujung lorong ada cahaya dari atas. Lalu ada patung di bawah siluet cahaya itu. Magis. Buntu.
Saya balik ke lorong utama lagi. Sepuluh langkah kemudian ketemu lorong ke kanan dan ke kiri lagi. Sama. Di ujung-ujungnya ada siluet cahaya dari atas. Ada patungnya. Magis. Buntu.
Balik ke lorong hitam yang utama lagi. Suasananya masih seperti di dalam gua. Sepuluh langkah kemudian ketemu lagi lorong kiri-kanan yang mirip. Saya menikmati keseluruhan lorong gua ini.
Yang mendesain renovasi The Meru hebat sekali.
Di langit-langit lorong hitam itu ada sedikit cahaya redup. Ada air di langit-langit koridor. Air yang mengalir di kaca. Cahaya matahari tertahan oleh air dalam kaca itu: redup.
Ujung lorong ini buntu. Dinding. Warna hitam juga. Tapi ada akses besar ke kiri dan ke kanan. Yang ke kiri itulah reception The Meru berada.
Saya melongok juga akses yang ke kanan. Sepi. Sunyi. Tidak ada orang. “Ini reception untuk tamu yang bersifat rombongan,” ujar petugas yang mendampingi saya.
Memisahkan reception tamu perorangan dan tamu grup tentunya sangat baik. Tamu perorangan sering menunggu sangat lama kalau lagi ada grup besar yang check-in.
Di sebelah reception itu ada ruang tunggu besar. Tanpa dinding. Lebih 40 sofa ada di situ. Luas sekali –untuk ukuran hotel. Kanan-kirinya kolam air. Dengan suara gemercik yang jatuh di sepanjang pemisahnya.
Di balik ruang sofa itulah restoran besar berada. Tanpa dinding. Tanpa AC. Menghadap pantai Sanur yang berpasir putih. Semua tamu Bali Beach dan The Meru makan minum di situ. Efisien.
Karena itu sebelum masuk restoran ada koridor ke kanan dan ke kiri. Yang ke kiri adalah jalan menuju kamar-kamar di hotel Bali Beach. Koridor yang ke kanan menuju kamar-kamar di The Meru. Dua-duanya bintang lima.
Saya pilih ke restoran. Tidak ingin makan. Saya masih punya singkong rebus di dalam tas. Kalau sudah bisa masuk kamar, saya akan makan siang dengan singkong itu. Apalagi dibawakan juga sambal ijo –lombok hijau dan tomat hijau ditambah kecombrang. Semua tanaman sendiri.
Di resto itu saya hanya ingin minum –agar pantas. Sebenarnya saya masih punya satu botol air putih. Tapi saya harus lama duduk di situ. Tidak pantas kalau tidak pesan minuman.
“Beras kencur…. ups….kunyit,” kata saya. Meski bintang lima resto ini menyediakan minuman tradisional. “Gulanya dipisah,” tambah saya.
Ketika minuman warna kuning tiba, saya pun mulai menyeruput. “Ini cocktail,” ujar pelayan. Benar. Ada rasa alkohol. Saya nggak jadi meminumnya.
Lalu datang lagi yang kunyit tanpa alkohol. Pakai es. Saya telanjur dapat sambungan telepon dengan Daulat Situmorang.
Saya konsentrasi mendengarkan penjelasannya soal patung Yesus tertinggi di dunia. Yang di Sibeabea, Danau Toba.
Sebenarnya saya ingin mewawancarai Sudung Situmorang, ketuanya. Tapi tidak dapat sambungan. Untung bisa sambung dengan Daulat. Hampir setengah jam saya mendengarkan Daulat (salah satu pembuat patung Yesus di Danau Toba, baca Disway: Katolik Kristen).
Selesai bicara dengan Daulat saatnya melihat rekaman debat Kamala Harris dan Donald Trump. Kunyitnya terlupa. Begitu ingat saya pun ingin meminumnya. Terlihat lalat sudah selesai mandi di dalamnya. Sudah tewas. Nggak jadi minum. Saya tidak komplain apa pun. Saya merasa itu salah saya.
Saya masih harus lama di resto itu. Maka saya order caesar salad. Tanpa daging ayam. Porsinya ternyata kecil. Tapi enak. Singkong rebus pun saya geser untuk menu makan malam.
Sanur berubah total. Maksud saya: kompleks Bali Beach sudah berwajah baru. Kolam renang di antara resto dan pantai itu sudah diperbesar dan diperindah. Saya suka dengan penataan baru kawasan ini.
Posisi gerbang masuknya masih sama, tapi bentuk gerbangnya sudah baru. Bagus. Lapangan golf di depan hotel sudah hilang. Di situ sedang dibangun rumah sakit internasional. Saya lihat alat-alat berat masih bekerja. Semoga Jokowi masih sempat meresmikannya.
Makan salad selesai. Patung Yesus selesai. Debat Capres Amerika selesai. Kamar belum selesai.
Ke mana? Jalan-jalan ke pantai masih panas. Duduk terus bisa ngantuk. Saya pun ingin melihat lantai tiga Hotel Bali Beach: apakah kamar 327 masih ada.
Saya pernah dua kali masuk ke kamar itu. Dewi Nyai Roro Kidul selalu bermalam di situ. Sejak Anda belum lahir. Sampai entah kapan dia tidak mau lagi.
Seorang staf mengantar saya ke lantai tiga. Kamar 327 itu sudah berubah menjadi kamar 2231. Eksteriornya juga sudah berubah. Tapi dalamnya masih sama: lukisan-lukisan Nyai Roro Kidul, dupa, foto Bung Karno.
Kamar-kamar Bali Beach dirombak habis. Hotel yang dibangun dengan dana rampasan perang dari Jepang ini dipermodern. Dua kamar lama dijadikan satu. Lebih besar. Lebih mewah.
Saya juga ditawari naik ke lantai 11. Berarti ke rooftop-nya. Kini di rooftop itu sedang dibangun restoran besar. Masih berantakan. Belum selesai.
Tidak ada lagi yang masih bisa dilihat. Saya pun ingat: cottage-cottage di Bali Beach sekarang jadi apa. Saya diantar ke sana. Belum dirombak. Masih seperti yang lama. Mungkin menunggu tahap berikutnya.
Di salah satu cottage di situ, saya ingat, juga ditempati Nyai Roro Kidul. Yakni cottage Nomor 2401. Saya minta diantar ke situ. Pakai mobil golf. Saya dibekali kunci.
Gagal masuk.
Kuncinya tidak bisa membuka. Tiga orang bergantian mencoba membukanya. Tetap tidak mau terbuka. Ya….sudah. Saya kan sudah pernah ke situ. Dua-tiga kali.
“Dalamnya masih sama,” ujar salah seorang staf.
Dahlan Iskan ditemani Sumantara mencoba masuk ke kamar cottage nomor 2401.-Tomy Gutomo-Harian Disway-
Akhirnya kamar saya siap. Di The Meru. Tidak dapat yang menghadap kolam renang. Atau pantai. Saya dapat kamar yang menghadap hotel Bali Beach.
Tidak masalah.
Tidak ada satu pun yang bisa dicela dari kamar ini. Bagus. Sesuai dengan tarifnya: Rp 4 juta per malam.
Malam pun kian malam. Sudah waktunya memilih komentar para perusuh. Waktunya pula menulis untuk Disway.
Saya pun turun dari kamar. Ke kolam renang. Saya duduk di kursi jemur di pinggir kolam: memilih komentar pilihan.
Untung tidak banyak paha dan dada di malam itu. Bisa sepenuhnya membaca seluruh komentar lengkap dengan tersenyum-tersenyumnya.
Pukul 09.00 saya balik ke kamar. Tiba-tiba cahaya bergantian masuk kamar. Ganti-ganti warna.
Saya molongok ke luar. Ternyata ada pesta kembang api di pantai. Atau di dekat kolam renang.
Saya hanya bisa memotret kembang api bagian atasnya. Dari dalam kamar.
Akhirnya Bali Beach menemukan wajah barunya yang pas dengan bintang dan harganya.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia