Oleh Dahlan Iskan
“KENAPA tidak nebeng di rumah saya!. Terlalu!”
Yang mengucapkan itu seorang perempuan. Dengan wajah cemberut. Baru sekali ini saya bertemu. Kemarin lusa. Di Stadion Gelora Bung Tomo. Sama-sama menyaksikan kemenangan Bajul Ijo saat lawan Persis Solo.
Dia memang lagi di Indonesia untuk elaborasi program ‘Indonesia Lighthouse’. Itu adalah yayasan berbasis di Amerika yang didirikan bersama temanyi.
Perempuan itu tinggal di daerah San Francisco Bay Area, Amerika Serikat. Kerjanyi –ampun-ampun– di Apple. Jabatannyi: senior project manager.
Nama wanita itu: Ari Sufiati. Sudah 19 tahun di Amerika. Tiga anaknyi tinggal di sana: yang tertua sudah kuliah di UC Davis.
Saya baru tahu Disway punya sahabat di sana. Sahabat Disway. Selalu mengikuti perkembangan kita. Maka begitu bertemu di stadion kemarin dia langsung komplain. Kenapa selama di Silicon Valley saya justru nebeng di rumah temannya teman. Yakni, Anda sudah tahu, di rumah orang asal Beijing.
Yang salah bukan saya. Ternyata dia selalu membantu DBL –penyelenggara pertandingan basket antar SMA terbesar di Indonesia. Yakni saat DBL mengirim pebasket terbaik SMA se-Indonesia ke Amerika. Tiap tahun. Sebanyak 24 orang.
Ari-lah yang jadi seksi sibuk di sana. Mulai soal akomodasi sampai mencarikan tempat belajar basket di salah satu klub di sana. Sekaligus mencarikan lawan tanding persahabatan dengan SMA Amerika.
Kok DBL tidak memberi tahu saya tentang Ari sama sekali.
Begitu krusial peran Ari di Apple. Perusahaan idola siapa saja itu. Karena di tangannya, Ari harus mempertanggungjawabkan kualitas produk dan layanan sesuai standar Apple untuk pasar global. di perusahaan idola siapa saja itu.
Bagaimana Ari bisa sukses seperti itu?
“Modal Bonita,” jawab Ari. ‘Bonita’ adalah sebutan untuk Bonek Wanita. Sedang ‘Bocil’ adalah Bonek Kecil.
Ari tidak punya latar belakang pendidikan teknologi. Di Amerika ‘lulusan apa’ kalah penting dengan ”bisa apa”.
Pendidikan SMA Ari di SMAN 16 Surabaya –satu almamater dengan istrinya pendiri DBL.
Lalu Ari kuliah di FISIP UNAIR. Jurusannya: komunikasi. Sempat jadi wartawan. Juga sempat bekerja di sebuah stasiun radio.
Rasanya, karena punya kemampuan berbahasa Inggris membuat Ari sangat percaya diri. Dia pergi ke Australia. Mewakili Indonesia dalam program Australia-Indonesia Youth Exchange Program 1996. Magang di surat kabar dan radio di Newcastle. Lalu cari lapangan yang lebih lapang: Amerika Serikat.
Sejak SD Ari sudah bisa bahasa Inggris. Neneknyi adalah guru bahasa Inggris. Alumni IKIP Surabaya yang sekarang bernama UNESA.
Ke Amerika, Ari benar-benar Bonita. Tidak punya tujuan akan ke mana. Akan kerja apa. Dia yakin pada kemampuan diri. Termasuk kemampuannyi berkomunikasi.
Ari hanya butuh dua bulan beradaptasi untuk siap bekerja. Dia segera tahu ada lowongan kerja: manajer properti. Tugasnya: mengelola sebuah gedung perumahan. Tiga lantai. Sekitar 40 unit rumah.
Bonita kita ini langsung diterima. Tapi dia akan dicoba dulu selama satu bulan. Kalau tidak mampu akan dipecat.
“Jangan satu bulan. Beri saya waktu satu minggu. Kalau satu minggu mengecewakan pecatlah saya,” tantang Ari.
Hari pertama Ari mempelajari sistem safety di apartemen itu. Di Amerika soal keamanan dan keselamatan adalah nomor satu.
Dia pelajari semua dokumen sistemnya. Dia lihat semua lokasi alat-alatnya. Dia pelajari cara mengoperasikannya, termasuk di saat terjadi masalah.
Hari kedua dia pelajari seluruh dokumen mengenai siapa saja penghuni perumahan itu. Apa dan siapa mereka. Komplain apa saja yang pernah mereka lakukan. Dia pelajari sangat detail.
Setelah seminggu berlalu Ari dinyatakan berkompeten. Memuaskan. Ditawari kontrak kerja setahun. Setelah itu baru dipertimbangkan apakah bisa menjadi karyawan permanen.
Dalam tiga bulan Ari sudah ditawari untuk diangkat sebagai manajer permanen. Setahun kemudian diserahi juga mengelola gedung apartemen lainnya. Dan lainnya lagi.
Enam tahun sebagai manajer properti Ari ingin meloncat: ke Apple. Kebetulan ada lowongan di Apple. Hanya part time. Sebagai Indonesian QA tester. Untuk memvalidasi apps berbahasa Indonesia.
Ari percaya bahwa orang yang bersungguh-sungguh akan sukses di mana pun ditempatkan. Dia tidak ragu meninggalkan pekerjaan enaknyi. Jabatan mapannyi. Gaji tingginyi.
Dia pamit ke bos pemilik properti itu. Seorang kulit putih. Pengikut Mormon –aliran gereja yang sangat dekat dengan Islam: dilarang makan babi dan boleh poligami.
Ia menerima permintaan mundur Ari. Sebenarnya si bos senang mempekerjakan orang Islam seperti Ari.
Meski sudah begitu nyaman Ari tetap pindah dari zona hijau ke zona merah. Itu karena dia yakin akan bisa mengubah merah menjadi hijau.
Keyakinan diri Ari terbukti. Dari sekadar part time Ari segera diangkat jadi karyawan tetap. Naik terus. Sampai menjabat senior project manager saat ini.
Pertandingan selesai pukul 21.00. Di sebelah kiri saya juga seorang anak muda berprestasi. Baejah. Itu nama wanita 22 tahun.
Ia lulusan SMAN 1 Cirebon. Juara sekolah. Sudah lulus S-2 ITB. Untuk jurusan micro-elektronika: yang mempelajari chip –semiconductor.
Di stadion ini dia datang sebagai wakil Wardah. Sekaligus mentee Ari –yang diminta secara langsung oleh pak Salman Subakat, CEO NSEI, bagian dari Paragon Corp. Parent company dari Wardah. Saya titip salam untuk top manajemen mereka.
Ari bergegas meninggalkan stadion. Perlu satu jam perjalanan dari stadion ke tempatnya bermalam di Surabaya: Hotel Sheraton.
Pukul 23.00 dia harus mulai bekerja. Jarak jauh. Pada jam segitu karyawan Apple lain di kantornyi di Cupertino mulai masuk kerja.
Selama di Surabaya Ari memboyong bapak-ibunyi ke Sheraton. Tinggal bersama di hotel bintang lima itu. “Bagi saya orang tua adalah segala-galanya,” ujar Ari.
Sang ayah tinggal di Krian, satu kecamatan sekitar 30 km dari Surabaya: pertengahan antara Surabaya-Mojokerto. Ayah-ibunyi sudah sering dia ajak ke Amerika. Apalagi ayahnyi. Hampir tiap tahun.
Setelah tiga anaknyi menjadi warga negara Amerika, tinggal Ari yang masih berpaspor Indonesia. Dia punya kesempatan besar untuk juga pindah warga negara. “Tidak masalah,” kata saya. “Yang penting hati Anda tetap Indonesia”.
Apa pun warga negaranya, orang seperti Ari akan tetap menjadi kekayaan Indonesia.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia