Derita Alumni

Wartawan senior Indonesia Dahlan Iskan di China. (Foto: Disway.id)

Oleh Dahlan Iskan

INILAH kisah duka-duka ilmuwan dalam negeri. Mereka peneliti serius. Menemukan sesuatu. Ingin mengaplikasikannya di dunia nyata. Mereka terjun ke dunia bisnis –di bidang yang mereka teliti.

Mereka lulusan ITB –Institut Teknologi Bandung. Orang-orang terbaik di jurusan teknik kimia –di beberapa angkatan antara tahun 1990-2000.

Yang mereka temukan: cara memurnikan gas kotor dalam gas ikutan sumur minyak.

Gas jenis itu ikut menyembur dari sumur minyak. Pengusaha minyak, pun Pertamina, lebih mengutamakan hasil minyak mentahnya. Gas ikutannya dibiarkan menyembur ke udara. Lalu dibakar begitu saja.

Gas jenis itu ‘kotor’. Mengandung banyak CO2 yang berbahaya. Dilarang keras mengudara. Bisa mencapai 30 sampai 40 persennya. Kadang juga mengandung H2S sulfur. Juga tergolong polutan.

Mereka gelisah dengan ‘api nan tak kunjung padam’ seperti di mana-mana. Pun di Jawa Barat. Di Majalengka utara.

Sebagai peneliti mereka kehilangan kesempatan bekerja di perusahaan besar dengan gaji besar. Mereka berkutat di lab siang malam.

Akhirnya mereka menemukan cara ‘menangkap’ CO2 dan H2S itu. Agar gas yang dibakar itu bisa punya nilai ekonomi. Juga tidak lagi mencemari udara.

Salah mereka: mengapa tergerak mengikuti arahan guru besar teknik kimia mereka.

Atau salah guru besar itu: mengapa mengarahkan beberapa mahasiswa terbaiknya untuk jangan kerja di perusahaan asing. Jadilah pengabdi untuk negara sendiri. Kuatkan teknologi anak bangsa.

Arahan seperti itu tidak diberikan ke semua mahasiswa teknik kimia ITB. Sang guru besar hanya memilih empat atau lima di antara mereka. Yakni mereka yang sangat pintar.

Ups … Bukan saja pintar tapi juga dilihat sebagai mahasiswa yang akan tahan menderita.

Mereka mendirikan lembaga penelitian. Lalu mendirikan perusahaan yang akan mengaplikasikan hasil penemuan mereka. Juga perusahaan jasa bagi yang ingin memanfaatkan penelitian mereka.

Perusahaan pun berjalan. Berkembang. Mulai dari sangat kecil –ibarat SD– bisa naik kelas. Bisa ‘masuk SMP’. Saatnya ‘masuk SMA’.

Cita-cita mereka bisa naik lagi menjadi perusahaan tingkat mahasiswa dan akhirnya bisa masuk jadi perusahaan kelas guru besar.

Mereka seperti dapat jalan untuk masuk SMA. Mereka dipercaya Pertamina untuk menangani gas ikutan dari enam sumur minyak di Majalengka utara.

Kalau Anda lewat jalan tol dari arah Subang ke Cirebon, tengoklah ke utara. Kalau beruntung Anda bisa melihat salah satu api nan tak kunjung padam itu.

Mereka dapat kontrak tiga tahun. Sebenarnya kontrak tiga tahun tidak akan cukup untuk mengembalikan investasi. Perlu setidaknya lima tahun. Tapi sebagai BUMN Pertamina akan kesulitan menandatangani kontrak lebih dari tiga tahun.

Dengan harapan kontrak bisa diperpanjang, mereka pun menerima. Toh tidak ada teknologi lain yang bisa menggantikan. Dan lagi ini penemuan dalam negeri. Mereka sudah sering mendengar presiden menegaskan potensi dalam negeri harus diutamakan.

Mereka pun melakukan investasi. Investasinya ‘kelas SMA’: Rp 60 miliar. Sebagian dari pinjaman bank.

Peralatan mereka siapkan. TKDN-nya mencapai 60 persen lebih. Membanggakan.

Hasilnya?

Sukses. Sesuai dengan hasil penelitian. Mereka menerima fee dari Pertamina. Pertamina menerima gas bersih dari enam sumur minyak yang gasnya disatukan ke dalam satu pipa itu.

Tiga tahun pun akan berlalu. Tiba-tiba Pertamina mengakhiri kontrak itu tiga tahun. Pertamina tidak mau memperpanjangnya.

Pertamina berubah pikiran: menjual saja gas kotor itu apa adanya. Pasti ada yang mau membeli. Toh orang sudah tahu, selama tiga tahun, gas kotor itu bisa dimurnikan. Tidak perlu alumni ITB itu lagi.

Mereka pun lemas. Investasi belum kembali. Pinjaman bank belum lunas.

Ujian di ‘SMA’ begitu sulit.

Selama ini mereka sudah tahan menderita –memenuhi kriteria guru besar mereka– tapi tidak menyangka ada penderitaan seberat itu.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia