Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha
INDONESIA, sebuah negara yang penuh dengan kekayaan alam, budaya, dan sayangnya, juga dipadati penghuni penjara — maaf, bukan calon penghuni sorga. Ya, Indonesia dengan bangga menempati posisi ketujuh dalam daftar delapan negara dengan jumlah penghuni penjara terbanyak di dunia.
Mungkin, jika ada “World Cup of Incarceration,” kita bisa berharap bendera merah putih berkibar di podium. Amerika tentu saja juaranya dengan 1,7 juta penghuni penjara. Diikuti Cina, Brasil, India, Rusia, Turki, barulah Indonesia, dan Thailand.
Tapi jangan salah, kita sudah di liga besar dengan 300 ribu lebih warga binaan, yang sekitar separuhnya narapidana kasus narkoba. Sebuah prestasi yang tidak boleh diabaikan! Dengan biaya makan Rp 20.000/hari, negara harus keluarkan dana Rp 6 Milyar/hari atau Rp 180 M sebulan.
Namun, yang membuat miris adalah fakta bahwa penjara di Indonesia bukan sekadar tempat untuk merefleksi dosa. Tampaknya, bagi beberapa narapidana, penjara adalah lokasi strategis untuk menjalankan bisnis yang sangat “menguntungkan.” Tidak percaya?
Mari kita tengok Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Tarakan di Kalimantan Utara, yang lebih mirip gudang distribusi narkoba daripada tempat rehabilitasi. Bayangkan, seorang narapidana bernama Hendra Sabarudin mampu mengendalikan bisnis narkotik bernilai triliunan rupiah dari balik jeruji sana. Ironis, bukan?
Di saat kapasitas penjara di Indonesia sudah mencapai 200% lebih, di mana lapas-lapas penuh sesak hingga ke plafon, ada juga napi yang masih punya ruang untuk berbisnis. Menarik, bukan?
Tentu saja, dengan kondisi sesak ini, tak mudah bagi petugas penjara untuk memantau setiap gerak-gerik penghuni yang mengadu nasib di bisnis gelap. Tidak mengherankan, enam kasus peredaran narkoba dari balik penjara terungkap hanya dalam tiga semester 2024 saja.
Tak tanggung-tanggung, peredaran uang dari bisnis ini mencapai Rp 2,1 triliun! Sebuah angka yang besar. Lucunya, negara memberikan biaya makan ke para pengedarnya yang tinggal di penjara, seolah-olah negara mendukung mereka?
BACA JUGA: Drama Fufufafa
Dan yang lebih mengagumkan, narkoba yang diimpor oleh Hendra, sebanyak tujuh ton sabu, berasal dari Malaysia. Kalau benar demikian, mungkin kita harus berterima kasih kepada tetangga kita di seberang laut atas kontribusi mereka terhadap “ekonomi lapas” di Indonesia.
Hendra dan rekan-rekannya telah menciptakan rantai distribusi gelap tapi lancar dari Malaysia ke Kalimantan, Sulawesi, Bali, hingga Jawa Timur. Seolah-olah mereka adalah para CEO yang mengelola startup logistik, hanya saja ini logistik untuk barang-barang terlarang.
Mereka pasti tidak bisa melakukannya sendiri. Kekuatan Hendra terletak pada kolaborasi, mantra bisnis di era sekarang. Seperti layaknya perusahaan besar yang butuh jaringan, Hendra punya tim. Dari Triomawan hingga Abdul Aziz, dari Syahrul hingga Arie Yudha, semua bekerja bahu-membahu untuk memastikan bisnis tetap berjalan lancar.
Bahkan, kabarnya ada keterlibatan oknum aparat yang seharusnya menjaga hukum, tapi malah sibuk melindungi bisnis narkoba. Ini secara terbuka diakui oleh pihak pemerintah yang, seperti biasa, pasti ngaku akan menindak mereka.
Selain aparat BNN, mereka petugas di lapas. Mereka mungkin terlalu sibuk menghitung jumlah narapidana yang melebihi kapasitas atau mungkin sudah terlalu pusing karena lapas yang hanya mampu menampung 140 ribu orang kini diisi oleh 271 ribu.
Dengan rasio 24 petugas untuk menjaga 3.000 narapidana, seperti yang terjadi di Lapas Medan, apa yang bisa diharapkan? Petugas di sini ibarat bermain gim bertahan hidup, hanya saja ini bukan gim video, tapi kenyataan.
Dengan situasi ini, kita mungkin perlu mempertanyakan apakah tujuan penjara di Indonesia masih untuk rehabilitasi atau sudah berubah menjadi kantor cabang bisnis narkoba. Ngasih makan mereka yang terlibat pula.
Hendra Sabarudin adalah contoh nyata betapa lembaga pemasyarakatan seperti telah berubah menjadi lembaga pemasaran —pemasaran narkoba, tentunya. Bukan hanya menyedihkan, tapi juga absurd bahwa penjara, yang seharusnya menjadi tempat pemutusan rantai kejahatan, justru menjadi pusat dari operasi kriminal itu sendiri.
Solusi? Tentu saja ada banyak usulan, yang puluhan tahun sudah diseminarkan, dirapatkan dan dianggarkan dana kegiatannya: mulai dari perbaikan sistem pengawasan, pembersihan oknum korup di kalangan petugas, hingga pembangunan lapas baru.
Tapi, selama narkoba masih mengalir dan penjara terus padat, kita hanya bisa berharap bahwa sistem penegakan hukum kita tidak sepenuhnya menjadi bahan lelucon bagi para narapidana.
Jadi, kemana lagi kita mencari jalan keluar? Di negara dengan posisi kehormatan di daftar delapan negara penghuni penjara terbanyak ini, kita harus bertanya-tanya: Apakah penjara adalah akhir dari kejahatan, atau hanya sebuah awal yang baru?*
Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995