Oleh Dahlan Iskan
DI PILKADA serentak November nanti seluruh provinsi di Jawa sampai hari kemarin terlihat tenang. Tidak ada perang isu yang panas.
Di Jakarta panasnya justru dalam proses seleksi calon oleh partai politik. Ada drama pencalonan Anies Baswedan dan Ahok. Panas. Mengkhawatirkan. Drama justru berakhir sebelum layar dibuka.
Yang akhirnya tampil di Pilgub Jakarta adalah tokoh-tokoh yang tutur kata dan pembawaannya tenang.
Ridwan Kamil dan Pramono Anung sama-sama sosok yang pandai mengendalikan emosi.
Sebagai penantang yang sedang dikepung semua partai rupanya tidak membuat Pramono berusaha menarik perhatian dengan segala cara.
Pramono tidak mudah kepancing pertanyaan wartawan. Komentar-komentarnya merendah. Sejuk.
Pramono seperti bukan Banteng Ketaton. Ia seperti nothing to lose. Pun Rano Karno calon wakil gubernurnya. Tidak ada suara dengan nada tinggi.
Suswono, pasangan Ridwan Kamil, juga sosok yang santun. Sebagai mantan menteri ia juga bisa menerima dicalonkan hanya sebagai wakil gubernur. Lebih rendah hati dibanding Risma yang berhenti sebagai menteri sosial untuk jadi calon gubernur Jatim.
Mungkin Suswono merasa tidak apa-apa sekadar jadi cawagub tapi kans menangnya besar. Dibanding jadi calon gubernur untuk kalah.
Suasana Jatim juga tenang. Khofifah Indar Parawansa merasa aman. Meski Risma sangat populer tapi waktunya sangat mepet. Kecuali pasangan Risma-Gus Han, berhasil memobilisasi Gus-Gus di Jatim.
Gus Han adalah pemrakarsa berdirinya asosiasi Gus-Gus di kalangan NU: Asparagus. Tentu tidak semua Gus rukun di Asparagus. Masih ada IGGI –Ikatan Gus Gus Indonesia.
Mungkin Bu Risma-Gus Han bisa menang kalau suara PDI-Perjuangan bisa total bersatu. Mesin partai berputar all out. Ditambah calon dari PKB bisa mencuri suara NU sampai 15 persen –berfungsi mengurangi suara Khofifah.
Di Banten dan Jabar juga berlangsung tenang. Airin calon gubernur dari Golkar-PDI Perjuangan sangat percaya diri dengan angka 70 persen.
Di Jabar, Dedi Mulyadi juga sangat yakin menang. Calon PKS, Ahmad Syaikhu dan pasangannya, Ilham Habibie, masih perlu Kang Aher turun ke lapangan.
Aher –Ahmad Heryawan– gubernur Jabar dua periode dari PKS, dianggap masih punya pengaruh besar di bawah.
Dedi Mulyadi memang populer meski ada isu ia sangat percaya kebatinan. Tapi masyarakat kecil Jabar juga masih percaya takhayul.
Dedi juga dianggap ‘kasar’ dalam bertutur kata di bahasa Sunda. Sunda yang sering ia gunakan bukan bahasa Sunda halus. Pemimpin yang diimpikan di kalangan Sunda adalah pemimpin yang nyunda, nyakola, dan nyantri.
Nyunda, Anda sudah tahu: sosok yang menjunjung tinggi kesundaan yang santun dan halus. Dedi bukan tipe itu.
Nyakola, Anda juga sudah tahu: memiliki tingkat pendidikan formal yang tinggi, minimal sarjana S1. Sedang ‘nyantri’ Anda lebih tahu: agamis; memahami dan mengamalkan ajaran Islam.
Di Jateng-lah yang kayaknya paling panas. Mantan kapolda lawan mantan panglima TNI. Ahmad Luthfi vs Andika Perkasa. Di balik mereka ada Jokowi dan Megawati.
Jokowi kabarnya akan all out membuat Luthfi menang. Ia bukan keluarga Jokowi. Tapi Jokowi punya perhatian khusus pada Jateng.
Lihatlah baju Pilkada yang dikenakan Luthfi dan pasangannya, Gus Yasin. Warnanya biru. Potongannya khas memakai kerah. Konon Jokowi sendiri yang memilihkan warna biru itu.
Pun motto Luthfi: Ngopeni Nglakoni Jawa Tengah. Konon itu atas pilihan Jokowi.
Saat Pilkada berlangsung, Jokowi sudah bukan presiden lagi. Tapi Mas Gibran sudah menjadi wakil presiden.
Jangan-jangan begitu kehilangan jabatan presiden, Jokowi tambah sibuk: ikut jadi jurkam calon-calon yang ia dukung.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia