Oleh Dahlan Iskan
IA guru besar ITB. Mengajar mata kuliah nano material, quantum computing, dan new material. Doktornya teknik fisika. Bidang fisika material.
Saya satu pesawat dengan beliau. Di kelas ekonomi. Dalam perjalanan pulang dari Aceh ke Jakarta.
Saya bisa berdiskusi lebih lanjut soal cara ”menjadi universitas kelas dunia”. Beliau memang ditunjuk pemerintah untuk itu.
Namanya: Hermawan Kresno Dipojono. Orang Yogya yang menamatkan sekolahnya di SMAN 1 Jember. Ayahnya seorang dosen. Sang ayah menjadi salah satu pendiri Universitas Jember.
Dari Jember Hermawan kuliah di ITB. Teknik fisika. Lalu ke Ohio State University di kota Colombus. Jaringan ilmuwannya di Amerika terus terjaga. Salah satunya dengan seorang guru besar yang punya indeks H tertinggi dari University of California Berkeley. Anda sudah tahu: itu tidak jauh dari San Francisco.
Anda sudah tahun: H-indeks adalah alat pengukur kinerja riset. H, Anda juga sudah tahu, diambil dari nama penemu rumus indeks tersebut.
Prof Hermawan memanfaatkan pertemanannya itu untuk Indonesia. Ia menebengkan mahasiswa S-2 dan S-3 nya di sana: untuk bisa masuk ke lingkaran penelitian kelas dunia.
Sudah ada tiga mahasiswa kita yang di sana. Ikut melakukan riset di bidang nano tehnologi, new material dan quantum computing.
“Sebenarnya beliau minta lima mahasiswa lagi. Saya belum punya calon yang bisa dikirim ke sana,” ujar Prof Hermawan. Ia tidak mau asal kirim. Ia juga harus menjaga reputasi agar kepercayaan tidak luntur.
Hermawan sendiri pandai mengajar. Saya sudah beberapa kali bertemu tapi baru hari itu mengikuti kuliahnya: di forum Majelis Wali Amanat PTNBH di Aceh Jumat lalu.
Halaman pertama presentasi Hermawan berisi lima baris panjang. Kalimat itu tidak bisa dibaca. Tidak ada hurufnya. Terbentuk dari angka semua. Tanpa jarak spasi.
Untuk bisa ”membaca” kalimat itu diperlukan waktu 200.000 tahun. Dulu. Kini, dengan quantum komputing hanya perlu waktu empat menit.
Kuncinya di riset.
Kualitas riset.
Iklim riset.
Iklim itu harus diciptakan. Salah satunya lewat networking seperti yang ia lakukan.
“Indonesia itu serba kaya,” ujar Prof Hermawan. “Salah satunya: kaya masalah,” selorohnya. Dengan kekayaan masalah itu, mestinya, riset menjadi sangat subur.
Hermawan lantas menampilkan data perbandingan riset dari banyak negara. Anda pun sudah menduga: angka Indonesia serba rendah. Atau terendah. Termasuk angka gaji dosennya. Yang di UM-pun sudah Rp 105 juta/bulan.
Banyak peserta menengok kagum ke meja UM Malang –dulunya IKIP Malang. Dikira gaji dosen di UM setinggi itu. Ternyata UM yang dimaksud di tabel itu salah satu universitas di Malaysia.
UM sudah masuk ranking sedikit di atas 100 dalam peringkat H-indeks dunia. Anggarannya Rp 4 triliun setahun. Publikasi Scopusnya 75.000. Lebih sedikit. Jumlah dosennya 2.500 –24 persennya dosen asing. Jumlah mahasiswa 17.000.
Gaji dan anggaran memang salah satu jalan menuju WCU. Tapi Prof Hermawan menganggap itu satu dari ”kekayaan” masalah kita. Tidak boleh menyerah. Merdeka saja bisa pakai bambu runcing. Masuk ke WCU tentu juga bisa pakai bambu yang sedikit lebih tumpul.
Untuk itu Hermawan memuji seorang dosen wanita di Semarang. Kami semua terpana. Nama itu begitu asing di telinga umumnya akademisi Indonesia. Tapi dia itulah yang memegang nilai tertinggi H-indeks di seluruh Indonesia.
Namanyi: Dina Nur Anggraini Ningrum. Dosen di Unnes Semarang –dulu IKIP Semarang.
Saat jeda acara saya nebeng ke meja MWA Unnes. Ingin tahu siapa Dina. Saya pun dapat nomor telepon Dina.
Malamnya saya telepon Dina. Ingin kenalan. Juga ingin tahu bagaimana Dina bisa memegang rekor penelitian di Indonesia.
“Lho kita kan pernah bertemu, Pak,” jawab Dina.
“Hah?”
“Bapak lupa ya. Kita bertemu di Taiwan,” ujar Dina. “Saat bapak memberi kuliah umum saya masih mahasiswa S-3 di sana. Kita sempat ngobrol bersama teman-teman”.
” Anda yang cantik mungil dan imut itu?”
“Saya ingat bapak memuji kami beruntung bisa kuliah di Taiwan yang ekonominya unik: lebih bertumpu pada usaha kecil dan menengah”.
Dina ternyata punya cara sendiri untuk berprestasi dalam riset: bergabung ke grup riset yang besar (lihat Disway soal Dina edisi besok). Itulah, kata Hermawan, salah satu cara terbaik di saat serba kekurangan di Indonesia: bergabung ke grup riset dunia yang besar.
Cara lainnya lagi: bergabung ke tokoh-tokoh riset dunia. Bukan grup. Tapi tokoh perorangan. Seperti yang Hermawan lakukan dengan jaringannya di Berkeley.
Masih ada cara lain: kolaborasi sesama universitas di Indonesia. Dana yang sedikit di banyak universitas disinergikan. Untuk itu kita memang masih harus menghadapi kekayaan kita: masalah sulitnya bekerja sama.
Apa pun caranya jalan itu harus ditemukan. Pendidikan adalah cara terbaik untuk mengatasi kemiskinan. Menurut Prof Dr Mohamad Nuh, ketua forum MWA PTNBH: Buku-buku terbaik cara mengatasi kemiskinan sudah menyebutkan: hanya lewat pendidikan.
Tidak ada yang tidak sepakat itu –kecuali orang yang tidak pernah membaca buku.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia