J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Meskipun UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah diberlakukan sejak 2022 untuk mencegah, menangani, melindungi, dan memulihkan hak korban, penerapannya di Aceh masih menghadapi tantangan signifikan.
Pada tahun 2023, peneliti dari 12 organisasi pemantau hak-hak perempuan di Aceh mengkaji pelaksanaan UU TPKS dan menemukan bahwa undang-undang tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam atau hukum adat, termasuk Qanun Hukum Jinayat.
Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nahe’i, menegaskan bahwa UU TPKS sejalan dengan tujuan syariat Islam untuk memberikan perlindungan dan keadilan bagi masyarakat, termasuk perempuan. Pasal-pasal dalam UU ini dirumuskan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk ulama dan organisasi Islam besar.
Imam menambahkan bahwa UU TPKS bertujuan untuk memperkuat otonomi khusus Aceh, bukan untuk melemahkannya. Meskipun demikian, masih ada kendala, seperti adanya dua aturan hukum yang menciptakan ketidakpastian hukum dalam penanganan kasus kekerasan seksual.
Suraya Kamaruzzaman dari jaringan pemantau pelaksanaan UU TPKS mencatat bahwa Qanun Jinayat hanya mengatur dua bentuk kekerasan seksual: pelecehan seksual dan pemerkosaan. Angka kekerasan seksual terhadap anak di Aceh meningkat dari 276 kasus pada 2019 menjadi 323 kasus pada 2023.
Dalam pemantauan 17 kasus kekerasan seksual, 12 di antaranya melibatkan anak di bawah umur. Pelaku berasal dari berbagai latar belakang, termasuk anggota keluarga. Suraya mengungkapkan bahwa banyak jaksa mengalami kesulitan dalam membangun dakwaan karena kasus-kasus tersebut sering dianggap suka sama suka.
Pemerintah daerah diharapkan mengambil peran lebih besar dalam mensosialisasikan UU TPKS, menurut Sugeng Purnomo dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM. Ia menekankan pentingnya pemahaman yang benar mengenai UU TPKS, terutama dalam konteks penanganan kasus kekerasan seksual yang tidak diatur dalam Qanun Jinayat.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah