Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha
DEMOKRASI modern seringkali digambarkan sebagai sinar terang kebebasan, tetapi jika kita menelusuri realitasnya, sinar itu lebih menyerupai lampu sorot di teater gelap oligarki. Mari kita belajar dari novelis Han Kang, pemenang Hadiah Nobel Sastra 2024.
Melalui novelnya Human Acts, pejuang demokrasi yang sastrawan ini menyajikan kisah nyata tentang pembantaian warga sipil di Gwangju, Korea Selatan, pada 1980. Inilah karya yang menggugah nurani, menghadirkan realisme yang keras sekaligus memaksa kita menatap kejujuran pahit tentang demokrasi.
Dalam Human Acts, Han Kang tidak hanya menciptakan karakter-karakter fiksi, melainkan melukis jiwa-jiwa yang terkoyak oleh rezim yang mengklaim sebagai pelindung demokrasi. Novel ini menceritakan trauma berlapis yang dialami oleh para korban dan keluarga yang selamat.
Mereka memperjuangkan kebebasan, tapi justru menjadi korban penindasan. Suara mereka dibungkam, sebagaimana banyak suara rakyat yang kerap dibungkam di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Han Kang menggambarkan bahwa demokrasi hanyalah janji kosong jika ia digunakan sebagai alat oleh penguasa dan oligarki.
Jika kita bercermin pada kondisi demokrasi di Indonesia, ironinya sangat terasa. Pemilu dilaksanakan dengan megah, namun rakyat hanya memilih dari pilihan yang telah disiapkan oleh segelintir elite politik yang bermain-main di belakang panggung.
Di balik jargon “kedaulatan rakyat”, yang sebenarnya menguasai adalah kelompok kecil yang memiliki akses dan kekuatan finansial. Seperti yang diangkat Han Kang dalam Human Acts, perlawanan terhadap kekuasaan seringkali dihadapi dengan kekerasan atau setidaknya peminggiran sistematis.
Han Kang, yang dikenal lewat gaya sastranya yang puitis namun menggugah, lahir di kota Gwangju, tempat pemberangusan demokrasi terjadi. Pengalamannya sebagai saksi dari kejadian di kota tersebut —meski tidak langsung— menyemai rasa bersalah yang mendalam dan memicu lahirnya Human Acts.
Han Kang telah menunjukkan bagaimana trauma sejarah terpaksa diwariskan ke generasi berikutnya, suatu realitas yang juga dialami oleh banyak bangsa, termasuk kita. Tragedi 1965 di Indonesia, misalnya, terus meninggalkan jejak yang mendalam, di mana korban dan keluarga mereka masih menunggu keadilan yang tak kunjung datang.
Yayasan Nobel memilih Han Kang karena kemampuannya yang luar biasa dalam mengonfrontasi trauma sejarah dan menyajikan kerapuhan manusia. Dalam Human Acts, ia tidak hanya menampilkan kekejaman militer dan ketidakadilan sistem, tetapi juga kerentanan manusia di tengah kekacauan politik.
Han menulis dengan gaya yang sangat eksperimental, seringkali melampaui batas-batas sastra konvensional, seperti yang juga terlihat dalam novelnya yang lain, The Vegetarian (2007), di mana dia membongkar batas-batas sosial dan individu melalui kisah seorang perempuan yang menolak untuk makan daging. Karyanya yang berani dan menantang membuatnya pantas menerima pengakuan dunia.
Walhasil, jika demokrasi adalah pesta, maka kita rakyat kecil hanyalah penonton yang tidak diundang. Kita bisa melihat kilasan ini dalam banyak kasus, seperti isu korupsi, kongkalikong politik, atau kebijakan yang tak berpihak pada rakyat.
Novel Human Acts tidak hanya relevan untuk Korea Selatan, tetapi juga mencerminkan kondisi di Indonesia, di mana oligarki memainkan peran besar dalam mengatur politik, ekonomi, bahkan kehidupan sosial kita. Demokrasi, alih-alih menjadi ruang partisipasi, sering kali berubah menjadi permainan sandiwara yang penuh dengan aktor-aktor berpangkat.
Kita patut merayakan keberhasilan Han Kang meraih Hadiah Nobel Sastra. Sebagai seorang perempuan dari Asia, Han mematahkan stigma bahwa sastra dunia didominasi oleh penulis Barat. Kemenangannya adalah kemenangan untuk seluruh penulis perempuan di dunia yang selama ini menghadapi ketidaksetaraan dalam ruang sastra global. Lebih jauh lagi, karyanya mengajarkan kita bahwa sastra bukan hanya tentang keindahan kata-kata, tetapi juga tentang keberanian menyingkap luka dan kejujuran.
Kemenangan Han Kang tidak hanya soal apresiasi terhadap estetika sastra, tetapi juga pengakuan terhadap keberanian intelektualnya dalam mengungkap sisi gelap sejarah yang sering kali dilupakan atau diabaikan. Dengan merayakan kemenangan Han Kang, kita sekaligus merayakan keberanian untuk menatap sejarah dan realitas demokrasi yang tidak seindah slogan-slogan politik.
Jadi, ketika kita membaca Human Acts, mari kita renungkan: Apakah demokrasi kita sudah benar-benar melayani rakyat, atau justru telah berubah menjadi alat kekuasaan segelintir elit?*
Jakarta, 12.10.2024
Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995