Liem Din

Dahlan Iskan ketika mengunjungi Museum Liem Sioe Liong di Fuqing, Fujian, Tiongkok. (Foto: Disway.id)

Oleh Dahlan Iskan

KONGLOMERAT Liem Sioe Liong sudah meninggal. Hidup Liem Sioe Liong!

Ia tidak akan meninggal lagi. Ia duduk abadi, gagah, dan anggun di museum baru ini. Di kota Fuqing.

Saya ke museum itu hari Minggu pagi lalu: Museum Liem Sioe Liong. Lokasinya di desa Niu Zhai. Sekitar 15 km dari pusat kota Fuqing.

Saya tidak hanya ke museumnya. Juga ke desanya yang ada di seberang museum. Di desa itu saya menelusuri gang-gang kecil. Tidak terlalu sulit mencarinya. Ada tanda panah penunjuk jalannya.

Liem Sioe Liong adalah pahlawan desa itu. Pahlawan kota Fuqing. Pahlawan seluruh Tionghoa yang merantau ke Nan Yang –waktu itu mereka belum tahu ada nama Indonesia: bagaimana anak miskin umur 21 tahun meninggalkan kampung halaman, mengarungi laut ke selatan, sampai menjadi konglomerat terbesar di Indonesia.

Ia menjadi raja terigu. Raja mobil. Raja bank. Raja mie. Raja sawit. Raja semen. Raja apa saja.

Tentu saya sudah banyak membaca literatur soal Liem Sioe Liong. Saya juga beberapa kali bertemu raja penerusnya, Anthony Salim. Tapi baru di museum ini saya sadar: ternyata kapal yang membawanya dari pelabuhan Xiamen mendarat pertama di pelabuhan Surabaya. Tahun 1938. Bukan di Lasem. Atau Semarang.

Di pelabuhan, Liem muda ditahan penguasa pelabuhan Belanda. Itu karena tidak ada orang yang menjemputnya. Perantau lain sudah habis meninggalkan kapal.

Tiga hari kemudian pamannya, yang sudah lebih dulu merantau ke Nan Yang, datang dari Semarang. Liem dikeluarkan dari tahanan. Dibawa ke Semarang.

Selebihnya Anda sudah tahu: Liem menetap di Kudus. Jualan. Dari kampung ke kampung. Tanpa tahu bahasa Jawa –belum banyak orang yang berbicara dalam bahasa Indonesia di Kudus zaman itu.

Itu tanggal 21 bulan Juni.

Tanggal itu kelak dikenang oleh Liem sebagai tanggal keberuntungan ganda. Tiba di Jawa tanggal 21 di umur 21.

Museum itu baru buka pukul 09.00. Christopher Tungka, sudah menjemput saya pukul 08.00.

Ia direktur di perusahaan suku cadang mobil di Fuqing, milik teman saya di Surabaya.

Ia juga ketua pertama Warung Kopi –Komunitas Persaudaraan Indonesia di Provinsi Fujian. Fuqing adalah satu kota di provinsi itu.

Ke museum Liem hanya perlu waktu bermobil 10 menit. Ada 50 menit yang bisa dimanfaatkan.

Chris mengajak saya ke kota lama. Jalan-jalan. Lihat-lihat orang jualan sayur dan makanan di pinggir jalan.

Kami mampir di warung ote-ote. Lihat orang yang lagi membuatnya. Saya membeli satu yang berisi rumput laut. Chris dan Andry membeli yang isi babi.

Fuqing memang ”ibukota ote-ote”. Juga tempat asal kue kompyang.

Sehari sebelumnya saya diantar ke warung pembuat kompyang terenak. Orang Surabaya yang ke Fuqing sering berpesan agar dibawakan oleh-oleh kompyang.

Itulah burger gaya Fuqing.

Bisa diisi apa saja.

Saya minta yang diisi tahu.

Memang agak beda dengan kompyang yang dijual di Pasar Atum Surabaya. Andry, teman dari Jakarta, bengong: Tionghoa Jakarta memang tidak tahu apa itu kue kompyang.

Inilah kue peninggalan masa perang. Rotinya dibuat keras agar tahan satu bulan masih bisa dimakan.

Di saat jalan-jalan di kota lama ini kami melewati gereja. Ada kebaktian di dalamnya: kebaktian minggu pagi. Saya pun masuk. Duduk di kursi di sela-sela jemaat yang lagi mendengarkan khotbah.

Yang khotbah terlihat di layar. Khotbahnya dalam bahasa Hokja. Wanita di sebelah pendeta menerjemahkan tiap kalimat ke dalam bahasa Mandarin.

Ruangan penuh. Tidak terlihat ada anak muda. Mayoritas sudah tua dan tua sekali. Ternyata yang di ruang bawah itu karena tidak kebagian tempat di ruang atas.

Pendeta yang berkhotbah ada di ruang atas. Saya pun naik lift. Langsung ke lantai tiga. Diantar petugas gereja. Gedung utama di lantai dua juga penuh.

Saya hanya bisa dapat tempat di lantai tiga. Ini lantai balkon. Dari balkon lantai tiga bisa melihat lantai dua. Memang penuh sekali. Total sekitar 500 orang ikut kebaktian pagi itu. Masih akan ada kebaktian lagi siang dan malam hari.

Saya agak keasyikan di gereja ini. Lupa kalau harus ke museum. Tapi sedikit terlambat ke museum kan tidak masalah. Masih tetap buka sampai pukul 12.00.

Memang akan lebih baik kalau lebih pagi ke museum. Agar bisa mengambil foto bagian luar museum dengan pencahayaan pagi yang lebih baik.

Saat saya tiba di museum matahari sudah terlalu tinggi. Terlalu silau untuk pemotretan yang sempurna. Apa boleh buat. Saya tetap berfoto. Pemandangan bagian depan museum ini sangat indah.

Ada halaman parkir. Lalu naik sedikit ada gerbang. Saya amati corak gerbang itu: bermotif daun-daun pisang. Sudah terasa unsur Jawa-nya.

Tidak harus membayar. Begitu melewati gerbang, tangga nan lebar bertingkat-tingkat harus ditanjaki. Untuk mencapai halaman gedung museum harus mendaki sekitar 90 anak tangga. Maka gedung museum itu pun terasa gagah.

Bentuk gedungnya pakua: segi delapan. Di tengah-tengah gedung itulah patung besar Liem Sioe Liong ditempatkan. Posisinya duduk di kursi. Warna patungnya putih polos. Posisi duduknya mengingatkan saya pada patung Presiden Abraham Lincoln di Washington DC.

Hanya patung itu satu-satunya benda di lobi pendopo di tengah-tengah gedung. Saya sebut pendopo karena plafon lobi yang luas itu bukan gaya Tiongkok. Kesan saya lebih mirip gaya joglo Jawa.

Ada empat ruang besar di kanan kiri lobi tengah itu. Ruang satu berisi kisah masa kecil Liem Sioe Liong. Sejak dilahirkan sampai berangkat merantau ke Nan Yang.

Bagi saya inilah ruang yang paling menarik. Bagaimana Liem dibesarkan. Bagaimana ia terkesan dengan ayahnya yang membagi habis nasi untuk anak-anaknya tanpa menyisakan untuk dirinya sendiri.

Liem juga teringat bagaimana dipukul ayahnya ketika ia ketahuan berbohong. “Kamu harus ingat seumur hidupmu tidak boleh bohong”.

Saya menghabiskan waktu hampir dua jam di ruang satu ini. Foto-foto lamanya sangat menarik.

Di ruang dua berkisah tentang awal mulanya menjadi pedagang kecil. Lalu bertumbuh. Orang yang ia anggap berjasa dalam karier dagangnya adalah orang Padang. Namanya Hasan Din.

Liem mengenangnya sebagai penyebab hoki-nya.

Waktu itu Hasan Din dikejar-kejar Belanda. Seorang tokoh Tionghoa di Kudus minta agar Liem menyembunyikan Hasan Din di rumahnya. Liem pun menampung Hasan Din selama dua tahun.

Kelak Hasan Din jadi tokoh perang kemerdekaan dan tokoh hukum di pemerintah. Liem sendiri dianggap sebagai ikut berjuang untuk negara.

Kelak Liem menjadi sangat dekat dengan Soeharto. Di zaman Soeharto inilah Liem menjadi Raja terigu lewat Bogasari-nya.

Di ruang tiga saya hanya sebentar. Inilah ruang yang menceritakan kiprah usaha Liem sampai ke berbagai negara di dunia.

Sedang di ruang empat terlihat banyak foto tokoh Tionghoa Indonesia: inilah ruang yang menceritakan kiprah Liem di bidang sosial. Bersama para pengusaha Tionghoa lainnya di Indonesia.

Saya amati satu per satu foto-foto itu. Rasanya tidak satu pun tokoh yang tertinggal.

Tentu museum ini akan menjadi salah satu kebanggaan kota Fuqing. Juga salah satu objek tur yang menginspirasi. *

Penulis adalah wartawan senior Indonesia