Korupsi di Hambalang

Ilustrasi

Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha

“JIKA Prabowo serius dalam agenda anti-korupsinya, tentu ia harus berani menindak siapa pun, termasuk yang ada di sekelilingnya. Konsistensi inilah yang akan membedakan antara pemimpin yang sekadar menjual retorika dan pemimpin yang membawa perubahan.”

Korupsi, masalah kronis yang menghantui republik kita, kembali menjadi sorotan dalam sebuah acara istimewa: Hambalang Retreat. Rumah megah Prabowo Subianto di Sentul, yang baru saja menggaungkan resonansi pemberantasan korupsi, menjadi lokasi pertemuan penting ini.

Ya, Anda tidak salah dengar! Prabowo Subianto, presiden terpilih yang dikenal dengan sebutan PS, mengundang calon-calon menteri untuk mengikuti pembekalan dua hari penuh. Salah satu pesan utama: anti-korupsi. Dengan latar belakang panorama bukit hijau, acara ini seolah-olah menggema, “Korupsi harus diberantas!”

Abdul Mu’ti, salah seorang calon menteri di kabinet Prabowo yang juga peduli dengan penyakit korupsi, menggaris-bawahi pesan itu. Tentu kita berharap, kementeriannya yang mengurus pendidikan dapat menjadi contoh pelaksanaan gerakan anti-korupsi.

Namun, seperti sebuah episode drama Korea yang penuh ketegangan dan intrik, kita bertanya-tanya: seberapa serius pesan Prabowo ini? Apakah ini janji baru atau sekadar plot yang sudah sering kita dengar? Sebuah kalimat dari netizen jeli mungkin menggambarkan keheranan kita semua: “Bebas dari korupsi? Atau bebas untuk korupsi?”

Kita memang sering mendengar jargon serupa, terutama di kalangan elit politik. Nama-nama calon menteri yang hadir pun, sebagian, mungkin pernah dikaitkan dengan skandal yang tak kalah dramatis. Ironi ini mengingatkan kita bahwa janji anti-korupsi seringkali hanya menjadi alat legitimasi, sementara di baliknya, realitas politik tetap melanggengkan praktik lama.

Ibnu Khaldun dalam kitabnya al-Muqaddimah pernah menyebut bahwa “negara adalah pasar yang besar.” Di sini, birokrasi ibarat lapak perdagangan besar, tempat di mana kekuasaan, uang, dan pengaruh dijual belikan. Maka, komitmen Prabowo yang menekankan pemerintahan bersih ini bukan tanpa tantangan besar, sebab birokrasi kita telah menjadi lahan subur bagi praktik korupsi.

Di negara lain, drama korupsi juga berakhir tragis. Di Brasil, Dilma Rousseff dilengserkan akibat korupsi. Di Korea Selatan, Park Geun-hye dipenjara karena skandal korupsi. Bahkan di Amerika Serikat, lobi kuat dan politik uang menjadi kisah yang tak asing, mirip sinetron yang terus diputar ulang.

Meski demikian, daerah Hambalang sendiri sudah lama menjadi bagian dari narasi korupsi Indonesia, khususnya kasus mega korupsi wisma atlet Hambalang pada 2011, yang melibatkan sejumlah politisi terkemuka. Meskipun lokasi villa Prabowo dan lokasi proyek wisma atlet itu terpisah, nama Hambalang kini memiliki resonansi tersendiri dalam benak publik, sebagai simbol dari proyek mangkrak dan dana triliunan yang ‘hilang’ tanpa jejak jelas.

Apakah ini kebetulan? Atau sekadar simbolisme politik yang tak disengaja? Tidak heran jika banyak yang menilai, betapa ironisnya tempat ini digunakan sebagai ajang pembekalan para calon pemimpin negeri, yang salah satunya soal anti-korupsi. Sejarah memang terkadang punya selera humor yang sarkastis.

Di tengah gemerlap pidato, janji, dan pembekalan ini, rakyat Indonesia harus menyelipkan sesuatu yang lebih berharga: akal sehat. Dalam drama politik ini, rakyat bukan hanya penonton, tapi sering kali juga menjadi korban dari alur cerita yang, sayangnya, sering kita sudah bisa tebak.

Di sinilah pentingnya skeptisisme sehat. Meski kita mendengar janji-janji Prabowo, akal sehat harus tetap terjaga. Sebab, pemberantasan korupsi bukan sekadar pidato berapi-api. Ia membutuhkan kebijakan nyata, tindakan hukum yang tegas, dan konsistensi tanpa kompromi. Dan kalau kita terus terbawa narasi tanpa kritis bertanya, maka kita hanya akan menjadi penonton yang tertipu dengan plot yang terus diulang.

Jika Prabowo serius dalam agenda anti-korupsinya, tentu ia harus berani menindak siapa pun, termasuk yang ada di sekelilingnya. Konsistensi inilah yang akan membedakan antara pemimpin yang sekadar menjual retorika dan pemimpin yang membawa perubahan.

Pada akhirnya, rakyat harus belajar menonton drama politik ini dengan skeptis namun tetap optimis. Kita butuh reformasi nyata, bukan sekadar retorika indah dalam retret mewah di villa bukit hijau. Sebab, seperti kata seorang netizen yang skeptis, “Bebas dari korupsi, atau bebas untuk korupsi?”*

Jakarta, 17.10.2024

Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995