Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha
SIAPA bilang politik itu tentang pengabdian? Kalau melihat wajah-wajah di kabinet baru nanti, kita akan tahu bahwa politik modern adalah soal memelihara empire —atau, lebih tepatnya, bisnis keluarga. Memang, kekuasaan tanpa kekayaan itu seperti warung kopi tanpa Wi-Fi: ada, tapi basi. Dan dalam konteks ini, oligarki menjadi penyedap rasa yang tak bisa dilewatkan.
Pertama-tama, mari kita perjelas soal “oligarki.” Ini bukan hanya soal segelintir orang kaya yang punya uang berkarung-karung, tapi tentang bagaimana yang segelintir tersebut mengendalikan jalannya negara seperti memutar playlist favorit di Spotify. Kongkalikong bisnis dan politik bukan lagi rumor, tapi kenyataan yang terpampang nyata di daftar calon menteri Prabowo-Gibran.
Nah, sepertinya Prabowo dan Gibran tak perlu jauh-jauh mencari contoh oligarki, karena mereka berdua sudah punya tiket masuk klub itu. Prabowo? Siapa yang tidak tahu bahwa dia adalah taipan industri. Sementara Gibran, anak dari seorang presiden yang kini menguasai restoran, katering, hingga startup. Keduanya seperti bumbu utama dalam resep klasik oligarki: campur kekuasaan politik dengan bisnis besar, lalu sajikan dingin-dingin.
Ibnu Khaldun mungkin tak akan terkejut melihat kondisi kita hari ini. Dalam kitab al-Muqaddimah-nya, beliau menyebut negara sebagai “pasar besar” (as-suq al-akbar). Di sini, negara menjadi tempat di mana semua orang —terutama yang punya uang— bisa bertransaksi, menukar kekuasaan dengan kekayaan, dan sebaliknya.
Kalau kita lihat lebih dalam, Indonesia tak ubahnya seperti mall besar, di mana para oligark tersenyum lebar sembari mengambil kebijakan yang menguntungkan usaha pribadi mereka. Ibnu Khaldun sudah tahu itu tujuh abad silam, dan membuat teori as-suq al-akbar tadi.
Mari kita tengok nama-nama yang beredar, hanya sebagai contoh. Amran Sulaiman? Dia sepupu dari Haji Isam, sang taipan tambang, transportasi, dan sawit. Sulaiman Umar Siddiq? Dia adik ipar Haji Isam. Dudy Purwagandhi? Mantan direktur di dua perusahaan milik Haji Isam.
Ketiganya sudah “mampir” ke rumah Prabowo di Jalan Kertanegara, dan tampaknya siap mendapatkan kursi nyaman di kabinet baru. Amran konon akan tetap di Kementerian Pertanian, sementara Dudy mungkin akan mengemudikan Kementerian Perhubungan.
Bukan kebetulan jika jabatan yang diberikan kepada mereka sejalan dengan usaha-usaha sang bos. Mungkin pula mereka sudah berbisik satu sama lain, “Apa gunanya punya kekuasaan kalau tidak bisa menumbuhkan bisnis?”
Dan mari kita jujur, bukankah kita sudah sering melihat pertunjukan ini? Dari DPR yang separuh isinya adalah pengusaha—yang tentunya lebih paham harga saham daripada harga kebutuhan pokok—hingga peresmian pabrik biodiesel milik Haji Isam yang dihadiri langsung oleh Jokowi. Pabrik dengan investasi Rp 2 triliun itu adalah bukti nyata bahwa bisnis dan politik di Indonesia bukan cuma berkencan, tapi sudah menikah dan punya anak.
Kita juga tidak bisa melupakan fakta bahwa Prabowo, selama ini sering bepergian dengan jet pribadi Boeing Business Jet (BBJ) MAX 7. Harganya Rp1,24 triliun, bukan pesawat biasa, tentu saja. Dan siapa yang punya pesawat mewah itu? Ya, Anda benar. Haji Isam.
Persahabatan seperti ini lebih mirip episode telenovela, di mana jet pribadi berperan sebagai hadiah persahabatan, bukan sekadar alat transportasi. Kita hanya bisa berharap tidak ada “bonus” kebijakan yang ikut terbang bersama mereka.
Menariknya, oligarki bukan fenomena yang lahir kemarin sore. Fenomena ini tumbuh subur di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, lobi bisnis besar kerap kali mempengaruhi kebijakan politik. Di Rusia, oligarki adalah job description bagi siapa pun yang ingin bertahan di lingkar kekuasaan. Di Indonesia, oligarki berkembang dengan kecepatan jet pribadi, dan daftar calon menteri ini hanya menguatkan posisi mereka di puncak.
Tentu, semua ini belum resmi, dan mungkin saja akan ada perubahan dalam daftar menteri. Tapi melihat pola sejarah politik kita, kecil kemungkinan bahwa kabinet Prabowo-Gibran akan bebas dari bayang-bayang oligarki.
Sebagai penonton, kita bisa berharap kabinet ini membuat kebijakan yang berpihak pada rakyat —bukan hanya untuk memperkaya mereka yang sudah kaya. Tapi jika kenyataan berbicara lain, maka kita hanya bisa menyaksikan cerita berikutnya dari “Oligarki: Musim Baru,” di mana kekuasaan dan kekayaan terus berbagi layar utama.
Dan jangan lupa: ketika negara ini berjalan seperti mall besar, siapa pun yang punya dompet tebal akan mendapatkan lebih banyak barang daripada kita yang cuma bisa menonton dari luar etalase.
Jadi, apakah negara ini adalah as-suq al-akbar atau “Toko Serba Ada” bagi para oligark? Jawabannya sudah jelas.*
Jakarta, 18.10.2024
Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995