Oleh Dahlan Iskan
MANUSIA bisa merencanakan, bukan hanya dana yang menentukan. Bulan Oktober pun hampir lewat. Belum juga ada tanda-tanda saya bisa berangkat Camino.
Lia Sundah ternyata repot sekali di New York. Demikian juga James Sundah, suaminyi. Lebih sibuk lagi.
Pencipta lagu Lilin Lilin Kecil itu jauh-jauh hari sudah memberi sinyal: kemungkinan berangkat Camino ternyata kecil. Padahal saya telanjur mengandalkan mereka berdua sebagai tour guide.
Saya pun ke Fuqing. Saya harus mengisi waktu tunggu ke Camino secara produktif. Sekembali dari Fuqing-Fuzhou-Shenzhen, dan Guangzhou barulah pasti: tidak bisa Camino. Yakni perjalanan spiritual umat Katolik sedunia. Sejauh 100 km. Jalan kaki. Finish di katedral Santiago di Spanyol.
Dari rencana ikut tour leader ke Santiago, akhirnya saya justru menjadi tour leader. Ke Shenzhen dan Guangzhou. Nanti malam berangkat. Membawa 40 pengusaha Indonesia. Lihat-lihat apakah ada ide bisnis yang bisa dibawa pulang.
Apakah tidak bosan? Sebulan dua kali ke Guangzhou dan Shenzhen? Tidak ada pilihan.
Yang nanti malam itu perjalanan penugasan. Tidak boleh membantah. Yang menugaskan: anak buah. Yakni pimpinan Harian Disway. Acara di sana Anda sudah tahu: ke perusahaan mobil listrik BYD dan ke perusahaan media TikTok.
Tentu saya tidak perlu test drive di BYD. Setiap kali ke Beijing saya dijemput teman yang memiliki mobil BYD.
Di Guangzhou pekan lalu saya diantar ke mana-mana dengan Denza –Alphard-nya BYD. Di Surabaya cucunya Pak Iskan pakai BYD. Juga menantu beliau.
Pekan lalu saya justru test drive mobil listrik Xiaomi. Yakni saat saya di Nanchang –ibu kota provinsi Jiangxi. ”Test drive” yang saya maksud adalah jadi penumpangnya.
Saya tidak diizinkan pegang kemudi. Orang asing tidak boleh mengemudi di Tiongkok tanpa SIM khusus. Saya tidak punya jenis SIM seperti itu.
Saya pun ke mal di Nanchang. Banyak showroom mobil di mal itu. Termasuk showroom mobil listrik Huawei.
Saya pilih Xiaomi karena jarak tempuhnya. Sudah bisa 800 km sekali charging. Juga karena desainnya yang mirip Porsche.
Petugas showroom membawa saya ke tempat parkir. Di lantai bawah tanah mall itu. Ketika saya berjalan menuju sebelah pintu mobil ia minta saya menjauhi mobil.
Mobil akan dikeluarkan dulu dari jepitan pilar. Haha. Baru kali ini saya lihat. Mobil dikeluarkan dari posisi parkir dengan remote.
Sekali pencet mobil terlihat maju sendiri. Menyerong. Berhenti. Mundur dikit. Maju lagi lebih menyerong. Lalu berhenti. Pintu membuka. Sopir pun masuk ke kursi di belakang kemudi. Saya masuk di kursi sebelahnya.
Kami pun dibawa keluar mal. Ke jalan raya. Padat. Setengah jam kami keliling-keliling sekitar mall.
Sopir pun menunjukkan bagaimana mobil jalan sendiri tanpa kemudinya dipegang. Kalau ada mobil berhenti di depannya, si Xiaomi ikut berhenti.
Mobil ini bisa jalan tanpa pengemudi. Hanya saja peraturan di Tiongkok belum membolehkan.
Pulang ke mal kami turun sebelum mobil memarkir diri. Setelah kami turun mobil berjalan sendiri. Mencari tempat parkirnya sendiri.
Sepanjang jalan saya lihat: sopir lebih banyak memberikan instruksi lewat lisan. Tidak lewat tombol-tombol.
Buka kaca, minta lagu, minta ke alamat mana, semua pakai perintah lisan.
“Kenapa belum jualan di Indonesia,” tanya saya.
“Di sini sendiri masih kewalahan melayani pembeli. Mereka harus antre enam bulan”.
Pekan lalu udara sudah tidak panas di Guangzhou tapi belum sejuk. Nanti malam udara sudah berubah: sudah sejuk –sesejuk mereka yang berkemah di Lembah Tidar.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia