J5NEWSROOM.COM, Surabaya – Lima hari setelah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP Universitas Airlangga mengirimkan karangan bunga berisi kecaman terhadap pelantikan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang menjadi viral di media sosial, tiga posisi kepengurusan BEM dibekukan sementara.
Karangan bunga tersebut dianggap tidak pantas karena berisi kalimat kasar, termasuk “Selamat atas dilantiknya jendral bengis pelanggar HAM dan profesor IPK 2,3 sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang lahir dari rahim haram konstitusi.”
Dekan FISIP UNAIR, Prof. Dr. Bagong Suyanto, pada Jumat (25/10), memutuskan untuk membekukan jabatan Presiden BEM, Wakil Presiden BEM, serta Menteri Politik dan Kajian Strategis. Namun, tekanan publik yang kuat menolak keputusan tersebut, termasuk permintaan dari Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Satryo Soemantri Brodjonegoro, pada Minggu malam (27/10), mendorong Bagong Suyanto untuk mencabut pembekuan itu.
Dalam pernyataan kepada wartawan, Bagong Suyanto menjelaskan bahwa pencabutan pembekuan dilakukan setelah adanya dialog antara Dekanat dan BEM FISIP. Mereka sepakat untuk menghormati kebebasan berpendapat, tetapi tetap menggunakan bahasa yang sesuai dengan kultur akademik.
“Dasar keputusan ini adalah kesepakatan kami untuk tidak mengembangkan kultur yang menggunakan diksi kasar dalam politik. Kami sepakat untuk memilih diksi yang sesuai dengan kultur akademik. Kami paham hak BEM FISIP untuk menyuarakan aspirasi mereka,” jelas Bagong Suyanto.
Tetap Akan Kritis
Presiden BEM FISIP Universitas Airlangga, Tuffahati Ullayyah Bachtiar, mendukung permintaan Dekanat untuk tetap membuka ruang bagi penyampaian aspirasi dengan menjunjung tinggi marwah akademik.
Tuffahati menegaskan bahwa BEM FISIP akan terus kritis dan menyuarakan keprihatinan masyarakat terhadap proses Pilpres 2024, sebagaimana dinyatakan dalam karangan bunga yang dipasang di taman barat FISIP UNAIR.
“BEM FISIP akan tetap kritis ke depannya dan tidak keluar dari koridor akademik. Karangan bunga tersebut adalah bentuk ekspresi dari teman-teman di Kementerian Politik dan Kajian Strategis,” kata Tuffahati Ullayyah Bachtiar.
Pengajar: Perlu Dibimbing, Bukan Dibungkam
Dr. Pinky Saptandari, dosen FISIP UNAIR dan seorang antropolog, berpendapat bahwa prinsip membangun kampus demokrasi adalah mengedepankan pemikiran kritis. Ia menekankan bahwa suara dan aspirasi mahasiswa perlu diberi ruang yang luas dan dibimbing agar mereka lebih peka terhadap berbagai isu bangsa.
“Ini hanya masalah miskomunikasi. Kampus ini seharusnya mencerminkan semangat egaliter, toleransi, dan demokrasi. Kita perlu memberi ruang bagi mahasiswa untuk menyuarakan suara kritis. Mereka perlu dibimbing, bukan dibungkam,” ungkap Pinky Saptandari.
Setelah meluasnya foto karangan bunga tersebut, beberapa pengurus BEM FISIP UNAIR menerima serangan digital dan pesan bernada ancaman. Tuffahati menyatakan bahwa mahasiswa tidak akan takut terhadap ancaman dan intimidasi, dan siap menempuh jalur hukum jika serangan terus berlanjut.
“Narasi yang disampaikan mirip, yaitu mengglorifikasi program-program Jokowi dan mengancam serta mendoakan hal-hal buruk,” tambah Tuffahati Ullayyah Bachtiar.
Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Satryo Soemantri Brodjonegoro, kepada kantor berita ANTARA, mengatakan semua pihak harus menghormati otonomi perguruan tinggi, termasuk dalam hal kebebasan akademik. Namun, ia mengingatkan bahwa “kebebasan berpendapat sebagai bagian dari kebebasan akademik harus disertai akuntabilitas dan tanggung jawab kepada publik.”
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah