Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha
BAYANGKAN kita hidup di sebuah negeri di mana kementerian yang seharusnya menjaga moral digital justru terlihat asyik bersenda gurau dengan para pelaku judi online (yang disingkat “judol” supaya lebih catchy!). Di sini, kata “pemblokiran” tampaknya telah kehilangan makna suci, berganti dengan kata “pembinaan.”
Entah sejak kapan, istilah “membina” menjadi jembatan menuju keuntungan bagi segelintir pejabat yang menyulap amanat menjadi lembaran rupiah. Dengan menggawangi server, mereka yang seharusnya memblokir 5.000 situs judol malah membiarkan 1.000 darinya lolos. Dari aksi ini, mereka mengantongi fee Rp 8,5 miliar per bulan. Ini bukan sekadar narasi komedi hitam, tapi tragedi yang nyata.
Pihak Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya baru saja menggeledah kantor “satelit” oknum pegawai Komdigi di Bekasi. Dari keterangannya, tersangka diketahui telah “membina” sekitar 1.000 situs judi online dari 5.000 situs yang seharusnya ia blokir. “Pembinaan” ini tentu saja tidak gratis. Tersangka mengaku menerima Rp 8,5 juta dari setiap situs judol untuk menjaga “kelangsungan hidupnya” di dunia maya.
Tragedi ini memantik amarah netizen. Mereka mengumpat, mengkritik buruknya moral pejabat. Ada pula yang menuntut agar mereka diasingkan ke Nusakambangan atau ke tengah hutan tanpa akses apa pun. Betapa tidak, judi online yang begitu mudah diakses hanya dengan sekali tekan di handphone betul-betul telah merusak bangsa kita.
Mari kita simak efek buruk judol pada kesehatan mental dan ekonomi masyarakat. Berbagai riset menunjukkan bahwa kecanduan judi online merusak jiwa dan merobohkan ekonomi keluarga. Dampaknya bukan main: seseorang yang terjerat dalam dunia judol bisa mengalami depresi berat, kehilangan kontrol diri, hingga dorongan melakukan tindakan ekstrem.
Satu contoh kasus yang tak terlupakan adalah seorang istri yang membunuh suaminya karena terperosok dalam utang akibat judi online. Marah dan putus asa, sang istri mengakhiri hidup suaminya dengan cara tragis. Dan ini bukanlah kasus tunggal—ada ratusan, bahkan ribuan keluarga di Indonesia yang terancam bubar karena dampak ekonomi yang mencengangkan.
Berbicara soal angka, dana yang beredar dalam industri judol sungguh fantastis. Pada tahun 2023, perputaran dana disebut-sebut mencapai Rp 327 triliun. Jika diakumulasi sejak 2017, nilainya mencapai Rp 517 triliun, sekitar 10% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Bahkan, menurut Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo yang lalu), perputaran dana judi daring bisa mencapai Rp 900 triliun. Bayangkan dampaknya! Uang yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, pendidikan, atau investasi, malah mengalir deras ke kantong pemilik situs judol.
Tak heran, banyak pelaku ekonomi kecil menjadi korban tak langsung. Dana hasil usaha kecil yang seharusnya membiayai keluarga malah dibelanjakan untuk berjudi online. Sementara itu, di balik layar, ada “sponsor” dari Komdigi yang alih-alih memblokir situs-situs ini, malah menerima bayaran Rp 8,5 juta per situs untuk “menjaga” mereka agar tetap eksis. Ironis, bukan?
Prabowo Subianto, Presiden terpilih, telah berjanji memberantas judol. Harapan pun tumbuh, meski banyak yang skeptis. Bagaimana mungkin harapan itu terwujud jika pejabat di Komdigi, yang seharusnya menjadi garda terdepan, justru menjadi “pembina” situs-situs yang dilarang?
Kita diingatkan pada kasus-kasus sebelumnya, seperti skandal Ferdy Sambo, yang melibatkan aparat tinggi dalam kasus yang serupa di sektor lain. Tak mengherankan jika masyarakat mempertanyakan kesungguhan pemerintah dalam menangani persoalan ini. Di awal-awal terlihat serius memberantas judol, tapi akhirnya… begitu-begitu saja.
Tidak semua negara bernasib sama. Beberapa negara telah menerapkan regulasi ketat perjudian online untuk melindungi warganya. Di Jepang, mereka menggunakan teknologi “geo-blocking” untuk memastikan bahwa situs judi luar negeri tidak bisa diakses warga mereka.
Australia juga memberlakukan denda tinggi bagi pelaku yang ketahuan mengakses atau membuka situs judi ilegal. Mereka bahkan mengatur ketat iklan judi agar tidak menarik minat warga. Mereka berhasil menegakkan aturan karena tekad yang jelas untuk menutup rapat-rapat pintu menuju kejahatan ini.
Apakah kita harus tertawa atau menangis melihat bejatnya moral pejabat? Di satu sisi, ironi ini mengundang senyum pahit. Di sisi lain, hal ini membuktikan bahwa dalam sistem yang seharusnya melindungi masyarakat, ada celah besar yang justru disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.
Jika pembina judol adalah pejabat resmi Komdigi, siapa lagi yang bisa kita percayai? Jika aparat dengan mudahnya meraup uang dengan memanfaatkan jabatan, siapa lagi yang bisa jadi teladan di negeri ini? Dan pertanyaan pesimis serupa bisa diperpanjang di sini.
Dalam masyarakat yang sudah lelah mendengar kabar korupsi, mungkin humor adalah salah satu cara terapi. Tapi humor ini bukan untuk ditertawakan, melainkan untuk membuka mata kita pada kenyataan pahit: bangsa ini membutuhkan lebih dari sekadar janji kosong atau slogan semu.
Jika serius, pemerintah seharusnya segera menciptakan regulasi ketat, menindak tegas, dan—yang paling penting—membuktikan pada rakyat bahwa mereka benar-benar berpihak pada kebenaran.
Sebagai penutup, mungkin kita bisa berharap pada slogan yang baru: bukan “Kominfo, Menuju Digitalisasi Bangsa,” tetapi “Komdigi, Jangan Lagi Bina Judi Online, Tolonglah!”*
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 02/11/2024.
Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995