Suami Sendiri

Dahlan Iskan sedang sholat di masjid di China. (Foto: Disway.id)

Oleh Dahlan Iskan

TIDAK tercantum di susunan acara tapi bisa dipaksakan: ke makam Abu Waqash di Guangzhou.

Anda sudah tahu siapa beliau: sahabat Nabi Muhammad yang juga masih paman beliau dari jalur ibu.

Ada sedikit kerepotan: beberapa wanita di rombongan kami pakai rok pendek. Ada juga yang pakai atasan you can see. Satpam mencegat mereka. Tidak boleh masuk.

Makam ini tidak sekadar kuburan. Sudah jadi kawasan wisata religius. Luas. Di perbukitan. Di tengah kota Guangzhou. Rindang. Indah. Tertata rapi.

Dari pintu masuk tidak berlihat bangunan makamnya. Harus masuk dulu ke jalan setapak yang agak mendaki. Kami masuk dari pintu belakang –demi parkir bus yang lebih dekat.

Untuk mengatasi you can see tidaklah sulit. Laki-laki yang pakai jaket meminjamkan jaket mereka. Tapi soal rok pendek agak repot. Sudah dicoba menutup paha pakai rompi putih. Yakni rompi seragam rombongan: tidak berhasil. Rompi ini tidak lebar.

Pakai jaket pun hanya bisa menutup paha depan. Diputar.  Ganti paha depan yang kelihatan.

Semua tas pun kami periksa. Siapa tahu ada kain yang bisa jadi penutup paha. Di tas Pak Yoo Tak Peng pedagang dari Kembang Jepun Surabaya, terlihat ada kain. Ternyata Pak Yoo membawa celana training di tasnya. Belum pernah dipakai. Bersih. Beres. Celana itu pun dipinjamkan ke Nova, pengusaha dari Makassar.

Memang tidak serasi dengan bentuk badannyi yang bagus tapi berhasil lolos dari pemeriksaan satpam.

Tinggal satu wanita lagi yang betisnya kelihatan. Akhirnya ditemukan cara: dua rompi diikat jadi satu. Paha depan dan belakang pun tertutup. Jangan ditanya seperti apa bentuknya. Tidak ada bawahan modelnya seperti dua rompi disambung.

Di dalam taman besar ini banyak papan penunjuk jalan. Di mana masjid. Di mana makam. Di mana toilet.

Di antara rombongan kami ada yang langsung ke masjid. Salat sunah dua rakaat. Ada juga yang pilih ke makam dulu.

Makam itu sendiri berada dalam satu kompleks yang berisi beberapa bangunan, taman dan halaman. Dengan pepohonan besar-besar.

Begitu memasuki  gerbangnya mulai terdengar suara-suara bacaan Alquran dari dalam bangunan itu.

Di gerbang utama itu tertulis nama Abu Waqash dalam huruf Arab.

Lalu ada gerbang lain lagi: gerbang di dalam gerbang. Itulah gerbang khusus menuju makam Abu Waqash.

Setelah melewati gerbang itu terlihat taman makam. Lebih dari 20 nisan berjajar di kanan kiri jalan. Nisan itu ditutup kain. Semuanya. Warna penutupnya coklat muda berpola. Tidak ada kesan magis di penutupnya. Juga tidak ada kesan keramat.

Di tengah-tengah taman makam itulah ada bangunan kuno khas Laut Tengah: bangunan beton dengan satu pintu lengkung di bagian depan. Tinggi lengkung itu tidak setinggi badan saya.

Saya pun harus merunduk saat memasukinya. Ruangannya sempit. Nisannya besar. Ditutup kain tebal dihiasi banyak tulisan Arab.

Beberapa penziarah duduk di sekitar nisan: membaca quran. Tujuh orang. Sudah agak sesak. Saya memaksa duduk di pojok nisan. Berdoa. Membaca quran. Tidak lama. Harus bergantian.

Saya lihat beberapa wanita di rombongan kami juga bergiliran  masuk. Baik yang pakai kerudung maupun yang you can see berpenutup darurat. Yang Kristen. Yang Buddha. Mereka duduk menghadap makam. Menunduk. Berdoa. Dalam hati.

Begitu keluar dari ruang nisan itu terlihat begitu banyak orang Tionghoa yang ingin masuk. Dari wajah mereka saya hafal: orang dari provinsi Gansu. Atau Qunghai. Apalagi kalau lihat cara mereka pakai topi putih yang menempel di kepala.

Mereka datang dari kota Lanzhou –ibu kota Gansu. Saya pun ngobrol dengan mereka. Saya puji enaknya mi Lanzhou Lamian kesukaan saya kalau ke Gansu.

Dari obrolan itu saya tahu: mereka datang ke Guangzhou khusus untuk berziarah kubur. Ke makam Abu Waqash. Mereka naik bus. Tiga hari tiga malam.

Dari Guangzhou mereka masih akan ke provinsi Fujian. Ke kota Quanzhou. Di situ ada makam wali lainnya –seangkatan dengan Abu Waqash.

Quanzhou memang salah satu pelabuhan utama Tiongkok masa lalu. Ibnu Batuta pernah tinggal di Quanzhou.

Di dalam bus, kami pun bicara tentang Islam. Salah satu anggota rombongan, Jenny Widjaja, si pioneer mi sagu, banyak tahu tentang Islam.

Jenny pernah bersahabat baik dengan ustad Arifin Ilham. Dia tahu banyak istilah dalam tafsir quran. Dia pernah menjual laris  alat elektronik untuk membaca quran sekaligus artinya.

Salah satu topik pembicaraan dalam bus itu soal poligami. Alangkah enaknya laki-laki muslim. Bisa punya istri empat.

Jenny kenal istri-istri sang ustaz. Dia juga tahu sikap wanita Islam dalam poligami. Dia pun bertanya: ketika kelak  masuk surga istri yang mana yang diajak masuk surga.

Saya minta Novi Basuki yang menjawab. Ia juga lulusan pesantren.

Novi membuka jawaban dengan kutipan pepatah bahasa Inggris: kebenaran haruslah berdasar data. “Menurut data hasil survei di berbagai dunia, wanita sebenarnya setuju seorang laki-laki berpoligami. Syaratnya hanya satu: jangan suaminyi sendiri”.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia