Oleh Dahlan Iskan
KALAH cepat. Saya yang berniat ke Kaliwungu, tiba-tiba Kokkang yang muncul di depan pintu. Sabtu sore lalu.
Rupanya tidak hanya saya yang kangen. “Saya juga kangen, Abah,” katanya.
Hujan turun dengan lebatnya. Kokkang datang sendirian. Kaliwungu-Mojokerto sekarang memang hanya tiga jam. Lewat tol. Rumah Kokkang di Kaliwungu, dekat Semarang, tidak jauh dari mulut tol.
“Siapa yang jaga ibunda?” tanya saya agak waswas. Kan tidak mungkin ibunda sudah meninggal. Rasanya baru dua hari lalu saya berkomunikasi dengan Kokkang. Tidak ada tanda-tanda ibunya meninggal.
Dua hari lalu? Mungkin tiga hari. Atau empat hari. Saya seperti lupa hari. Istanbul-Singapura-Jakarta-Bandung-Surabaya-Bandung-Surabaya dalam tiga hari membuat saya lupa hari. Hanya Bandung-Surabaya yang terakhir yang pakai kereta api (Turangga Panoramic) –tetap enak meski di malam hari yang gelap.
“Saya minta adik untuk jaga ibu,” katanya,” kata Kokkang yang punya nama depan Wahyu.
Saya pun lega. Tidak ada masalah dengan ibunya. “Ibu kian baik meski tetap tidak bisa berdiri,” ujar Kokkang.
Kami pun bicara soal bukunya yang baru terbit. Kapan terbitnya?
“Ya setelah diulas di Disway. Banyak permintaan. Lalu saya terbitkan dalam bentuk buku digital,” katanya. Harganya Rp 50.000 per buku.
“Untuk sebuah buku digital harga Rp 50.000 terlalu mahal,” kata saya. “Kan tidak perlu biaya cetak”.
Biarlah mahal. Untuk pembaca yang mampu. Tapi, kata saya pada Kokkang, kapan-kapan harus diturunkan setengahnya.
Buku yang ditulis Kokkang itu terlalu baik kalau hanya sedikit yang membaca.
Saya berkepentingan kian banyak yang bisa membaca buku itu. Sangat menyentuh: seorang kartunis seperti Kokkang merawat ibunya yang sudah berumur 80 tahun dengan sepenuh hati. Padahal ibunya sudah mulai pikun. Tidak bisa berdiri. Penglihatan turun. Pun pendengarannyi.
Soal pikun itu Kokkang punya pendapat sendiri. Setelah hampir lima tahun merawat ibunda, Kokkang berkesimpulan pikun itu tidak ada. Ia sendiri berhasil membuat ibunya kembali punya ingatan yang cukup baik.
Caranya: sang ibu terus dipancing dengan pertanyaan-pertanyaan yang diberi sedikit kisi-kisi. Dari hari ke hari. Terus dipancing.
Lama-lama Kokkang justru tahu ibunya pernah bertengkar dengan siapa saja. Maka Kokkang mengajak ibunya untuk bertemu orang-orang itu. Untuk minta maaf. Mau. Termasuk ketika diajak ke adik ipar yang di masa lalu pernah dia damprat. Lalu sang ibu mau minta maaf.
Termasuk soal utang-piutang. Kokkang berhasil memancing ingatan ibunya: punya utang kepada siapa saja. Ternyata sang ibu ingat pernah utang kalung emas ke salah satu keluarga.
Kokkang pun membeli kalung senilai utang itu. Lalu mengajak ibunya untuk menyerahkan kalung itu sebagai pembayaran utang.
“Ada juga utang ke warung-warung. Ibu pernah ambil belanjaan yang belum dibayar,” ujar Kokkang.
Kepada anak yang masih satu rumah dengan ibunya yang sudah tua, Kokkang punya saran: jangan mengajak bicara orang yang sudah tua dari jarak jauh.
Orang tua itu penglihatannya sudah kurang. Juga pendengaran. Kalau diajak bicara dari jauh pikirannya bertanya-tanya: siapa yang lagi bicara itu. Lalu bicara apa. Semua tidak jelas. Muncullah emosi. Itu menambah parah orang tua.
Emosi itu bahaya kalau datang saat lagi makan. Makanan yang sudah masuk mulut bisa disemburkan. Kokkang berkali-kali kena semburan di wajahnya.
Sejak itu muncul ide: memberikan cerita di balik makanan yang akan disuapkan. Misalnya kenapa kurang gurih –akibat dikuranginya garam dan bumbu masak.
Jangan pernah bilang bahwa garamnya sengaja dikurangi. Atau sengaja tidak pakai bumbu masak. Sebut saja ”pemerintah lagi melakukan operasi garam” atau sebangsanya.
“Anda kan sudah hampir lima tahun hanya merawat ibunda. Dari mana uang untuk hidup?”
“Makan tabungan yang kian menipis,” katanya. “Saya mau jual rumah yang di Surabaya.”
Rumah itu di dekat Krian. Di kampung. Luas tanahnya 8 x 12 meter. Itu dulu ia beli lewat KPR. Masih belum lunas. Masih harus nyicil tiga tahun lagi.
“Tidak menyesal berhenti dari Jawa Pos?”
“Sama sekali tidak. Saya merasa bahagia bisa merawat ibu,” katanya. “Saya justru menyesal tidak berhenti lebih awal agar sempat merawat almarhum bapak,” tambahnya.
“Banyak pembaca bertanya bagaimana istri Anda tinggal merawat ibunda”.
“Saya sudah cerai. Sudah lama”.
“Oh….”.
“Itu salah saya sendiri. Saya kerja siang malam. Pagi di perusahaan iklan. Malam di Jawa Pos. Istri kecantol orang…”
Lama Kokkang menunduk. “Saya sudah berusaha melupakan. Itu salah saya sendiri…”.
Waktu kawin itu Kokkang masih hidup di rumah kontrakan. Ia ingin cepat-cepat bisa membelikan rumah untuk istri. Karena itu ia kerja siang dan malam.
Lalu tidak ada lagi yang diharap di Surabaya. Pekerjaan sudah dilepas. Istri sudah diambil orang. Sedang ibunda sudah tua dan sakit-sakitan. Maka Kokkang akan terus di Kaliwungu merawat ibunya.
Belum ada rencana kerja lagi?
“Belum tahu mau kerja apa,” jawabnya.
Ia berusaha menghubungi rumah sakit jiwa agar mau menyelenggarakan acara menggambar untuk pasiennya. Belum ada tanggapan.
Menurut rencana Kokkang akan mengajak pasien RS Jiwa untuk menggambar lingkaran. Kalau sudah bisa baru ditambah gambar mata.
“Belum tentu semua pasien bisa menggambar lingkaran. Sering ujung garisnya tidak ketemu,” ujarnya.
Maka saya pun ingin para perusuh Disway yang akan berkumpul bulan depan dicoba juga agar menggambar lingkaran. Saya ingin tahu berapa orang yang ujung garisnya tidak ketemu.
Kokkang juga sudah menghubungi rumah sakit untuk mau mengadakan pameran kartun. Agar pasien dan keluarganya terhibur. Belum ada tanggapan juga.
Kokkang berumur 51 tahun. Tapi wajah dan penampilannya terlihat lebih muda dari umurnya.
Kartunis tentu kaya dengan selera humor. Mungkin itu yang membuatnya awet muda. Toh, bagi orang seperti Kokkang, hidup hanya ibarat mampir guyon.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia