Oleh Nai Ummu Maryam
DHOLIM! Di tengah kondisi ekonomi rakyat yang sedang tidak baik-baik saja karena sulitnya lapangan pekerjaan, badai PHK yang menghantui, kebutuhan pokok yang melangit, biaya pendidikan dan kesehatan yang serba mahal, kini rakyat kembali dipaksa membayar berbagai pungutan pajak serta tarif pajak yang makin mencekik.
Rakyat kembali diserbu dengan berbagai macam jenis pajak. Salah satunya pajak PPN di tahun 2024 yakni 11 persen dan akan naik lagi menjadi 12 persen di tahun 2025 yang akan berlaku pada 1 Januari 2025 mendatang. Kebijakan ini digulirkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Menurut pemerintah kenaikan tarif PPN ini bertujuan meningkatkan penerimaan negara guna mendukung pembiayaan pembangunan dan mengurangi ketergantungan pada utang.
Namun faktanya jauh panggang dari api. Utang Indonesia dari tahun ke tahun tidak kunjung lunas. Di lansir dari laman CNBC Indonesia (16-8-2024), Utang pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) makin menumpuk. Per Juli 2024, utang pemerintah kini tembus Rp 8.502,69 triliun, atau naik sekitar Rp 57,82 triliun dalam sebulan. Pada Juni 2024, Kementerian Keuangan mencatat, utang pemerintah masih sebesar Rp 8.444,87 triliun.
Begitupun terkait pembangunan yang belum merata di setiap wilayah. Fakta di lapangan menunjukkan masih banyak sekolah yang roboh, jalan yang rusak, akses jembatan yang tak memadai, serta sarana dan prasarana yang sangat minim bagi masyarakat. Semuanya, tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan. Alih-alih ingin menyejahterakan rakyat melalui pajak, justru nyatanya menambah beban bagi rakyat.
Pajak, Tulang Punggung Ekonomi Kapitalisme
“Orang Bijak Bayar Pajak”, ini merupakan salah satu slogan pemanis alias rayuan gombal agar masyarakat terus membayar pajak. Rayuan lainnya terlihat saat pemerintah memberikan penghargaan kepada instansi atau perusahaan yang giat membayar pajak dan menggandeng para selebritis atau influencer untuk menjadi duta pajak.
Tak heran, negara yang menganut sistem ekonomi kapitalisme akan menjadikan pajak, utang, dan investasi sebagai tulang punggung atau sumber pendapat negara.
Ini masih PPN, jika diurai dengan cermat masih banyak jenis pajak yang dilimpahkan kepada masyarakat secara individu. Contohnya pajak kendaraan, pajak balik nama, pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, dan masih banyak lainnya.
Padahal, negeri ini kaya raya dan melimpah ruah sumber daya alam (SDA) yang apabila dikelola dengan baik akan memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya. Namun ironisnya, SDA yang termasuk milik umum ini, justru diserahkan kepada asing dan aseng. Baik secara legal maupun ilegal.
Pemerintah tetap bergeming menaikkan pungutan pajak agar mendongkrak perekonomian dalam negeri, namun faktanya ekonomi merosot makin ngeri, rakyat dipaksa untuk merogoh kocek lebih dalam lagi.
Seharusnya negara hadir menjadi sosok yang bertanggung jawab yang menjamin kesejahteraan rakyatnya. Bukan sebaliknya, berbisnis dan menjadi pemalak bagi rakyatnya. Mungkin pungutan pajak tidak akan terasa bagi para pebisnis atau pengusaha kelas kakap, namun sangat terasa untuk masyarakat dengan kondisi ekonomi kelas menengah ke bawah.
Sistem Ekonomi Islam, Solusi untuk Menyejahterakan
Dalam pandangan Islam, memakan atau mengambil harta orang lain dengan cara yang batil seperti pajak hukumnya haram. “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”(QS An-Nisa: 29).
Sangat disayangkan, negeri yang mayoritas penduduknya Muslim, penguasanya tidak mau menerapkan aturan Islam karena dinilai kuno dan tidak relevan. Padahal, Islam dengan seperangkat aturan yang sempurna dan paripurna tidak hanya mengatur ranah ibadah saja, namun juga mengatur tentang perekonomian.
إِنَّ صَاحِبَ الْمَكسِ فِيْ النَّارِ
“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” (HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah:7).
Dalam sistem Islam juga dikenal adanya pajak. Akan tetapi penerapan dan aturannya sangat berbeda dengan konsep pajak dalam sistem kapitalisme.
Dalam sistem Islam, pajak hanya akan ditarik jika kondisi negara dalam kondisi yang sangat darurat. Misalnya ketika terjadi bencana alam, kekeringan, peperangan atau kondisi yang membahayakan umat, sedangkan harta negara di Baitul Mal (posko penerimaan sumber pemasukan negara) sedang kritis atau kosong. Maka, pajak akan dikutip dari orang yang kaya saja. Adapun penarikan pajak tidak terus menerus.
Jika kondisi negara sudah stabil maka penarikan pajak dari orang kaya pun akan diberhentikan. Karena pajak bukan sumber pemasukan utama. Adapun sumber pemasukan negara dalam Islam seperti dari harta ghanimah (harta rampasan perang), fa’i (harta yang didapatkan dari non Muslim secara damai), kharaj (tanah rampasan perang), zakat, dan lain sebagainya.
Sangat berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme hari ini. Di mana pajak dijadikan sumber pemasukan utama negara dan dipungut dari semua kalangan masyarakat. Baik itu berasal dari orang yang kaya maupun miskin.
Seharusnya kita sadar bahwa sistem ekonomi yang bersandar dari kapitalisme tidak mampu membawa keberkahan dan kesejahteraan bagi rakyat. Mengutip kalimat dari Ibnu Khaldun, dikatakan bahwa, “Di antara tanda sebuah negara akan hancur terlihat dari makin besar dan beraneka ragamnya pajak yang dipungut dari rakyatnya.”
Semoga para penguasa negeri ini sadar bahwa dengan penerapan Islam mampu membawa kebaikan dan keberkahan negeri ini.
InsyaAllah.*
Penulis adalah Pegiat Literasi Islam, bermastautin di Batam.