J5NEWSROOM.COM, Pemerintah tengah menjajaki peluang kerja sama dengan Amerika Serikat dan Rusia dalam pengembangan teknologi untuk pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) domestik, ungkap Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas, Vivi Yulaswati, pada Jumat (29/11).
Target pemerintah adalah mengoperasikan PLTN pertama paling cepat pada 2036 untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, jelas Vivi.
Indonesia mempertimbangkan reaktor modular kecil maupun teknologi nuklir konvensional sebagai pilihan, tambahnya dalam wawancara video.
PLTN menjadi isu sensitif karena posisi Indonesia di Cincin Api Pasifik yang rentan terhadap gempa bumi. Menanggapi pertanyaan terkait proses pengadaan PLTN, Vivi mengatakan hal tersebut masih terlalu awal untuk dilakukan.
“Kita perlu persetujuan presiden, dan tentunya, diskusi dengan mitra internasional masih harus dilakukan. Perjalanan ini masih sangat panjang,” jelasnya.
Menurut lembaga kajian energi Ember, saat ini ada 30 negara, termasuk sembilan di Asia, yang menggunakan tenaga nuklir untuk pembangkitan listrik.
Indonesia, dengan populasi lebih dari 275 juta jiwa, merupakan konsumen batu bara terbesar di Asia Tenggara untuk pembangkit listrik. Saat ini, lebih dari setengah kapasitas pembangkit listrik di Indonesia masih bergantung pada batu bara, sementara energi bersih seperti tenaga air hanya menyumbang sekitar 15 persen.
Pemerintah berencana menarik investor untuk membangun pembangkit energi terbarukan dengan kapasitas 75 gigawatt (GW) dalam 15 tahun ke depan.
Namun, pendanaan menjadi tantangan utama. Indonesia telah dijanjikan $20 miliar melalui Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP) G7 sejak 2022, tetapi hingga kini hanya sedikit dana yang dicairkan. Kemajuan yang lambat ini menghambat upaya Indonesia mengurangi emisi karbon.
Vivi menyebutkan bahwa JETP telah menyetujui hibah untuk 33 proyek dekarbonisasi senilai $217,8 juta, termasuk proyek peningkatan jumlah kendaraan listrik di Bali. Selain itu, enam proyek lainnya senilai $78,4 juta sedang dalam proses pembahasan.
Pinjaman senilai hingga $6,1 miliar telah disetujui, sebagian besar untuk pengembangan energi terbarukan dan peningkatan jaringan listrik nasional, ujarnya.
Namun, suku bunga pinjaman tersebut belum diputuskan. Vivi menyatakan bahwa isu suku bunga ini menjadi perdebatan karena negara-negara Barat belum menyediakan pendanaan lunak seperti yang disyaratkan JETP.
Vivi menambahkan bahwa proyek-proyek JETP belum dimulai. Pendanaan direncanakan akan dimulai tahun depan bersamaan dengan implementasi rencana lima tahun pemerintah.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah