J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Presiden Prabowo Subianto mengumumkan kenaikan rata-rata upah minimum nasional sebesar 6,5 persen untuk tahun 2025 setelah berdiskusi dengan berbagai pihak, termasuk buruh, di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Jumat (29/11).
Presiden menyebutkan usulan awal Menteri Tenaga Kerja sebesar 6 persen ditingkatkan menjadi 6,5 persen setelah mendengar masukan dari pimpinan buruh. Rincian aturan mengenai upah minimum akan ditetapkan melalui peraturan menteri ketenagakerjaan, sementara kenaikan upah sektoral akan diputuskan oleh Dewan Pengupahan di tingkat daerah. Prabowo menyatakan bahwa upah minimum merupakan jaring pengaman sosial yang penting untuk meningkatkan daya beli pekerja sekaligus menjaga daya saing usaha.
Presiden KSPI, Said Iqbal, menyatakan bahwa keputusan ini diterima meskipun sebelumnya buruh mengusulkan kenaikan sebesar 8-10 persen. Ia menilai angka 6,5 persen cukup rasional karena mempertimbangkan pengaruh deflasi yang pernah terjadi. Selain itu, kenaikan ini dinilai telah melampaui inflasi dan pertumbuhan ekonomi, sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Said juga mengingatkan bahwa selama 10 tahun terakhir, kenaikan upah minimum seringkali berada di bawah inflasi, terutama selama pandemi COVID-19, ketika upah minimum tidak mengalami kenaikan.
Di sisi lain, Ketua APINDO, Shinta Kamdani, mengungkapkan kekecewaan karena pengusaha merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan ini. Shinta menyebutkan bahwa kenaikan 6,5 persen terlalu tinggi dan dapat meningkatkan biaya operasional, terutama di sektor padat karya, yang berpotensi memicu pemutusan hubungan kerja dan menurunkan daya saing produk Indonesia. Ia juga menyarankan agar pemerintah tetap menggunakan PP Nomor 51 Tahun 2023 sebagai dasar perumusan upah minimum, karena dinilai lebih adil untuk pekerja dan pengusaha.
Ekonom Indef, Tauhid Ahmad, menyatakan bahwa kenaikan 6,5 persen ini mengejutkan, karena angka tersebut lebih tinggi dibandingkan tren sebelumnya yang umumnya di bawah lima persen. Ia menduga kebijakan ini bertujuan untuk mendorong konsumsi rumah tangga demi pemulihan ekonomi. Namun, ia mengingatkan bahwa kenaikan ini juga bisa memicu pengusaha melakukan efisiensi seperti mengurangi penerimaan pegawai baru atau bahkan melakukan PHK. Menurutnya, kebijakan ini bersifat situasional dan dapat berubah di masa mendatang.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah