Riyadh Menyala

Ilustrasi tulisan kolom Ahmadie Thaha tentang Riyadh Menyala. (Foto: AT/J5NEWSROOM.COM)

Catatan Cak AT

Bayangkan ini: Sebuah malam bercahaya di Riyadh, di mana lampu sorot menciptakan suasana gemerlap, para penari bergaya bebas mengitari sebuah struktur hitam raksasa berbentuk kubus. Tampil artis internasional seperti Jennifer Lopez, Becky G, dan fashion show ala Barat, menggadang-gadang pesta besar di panggung global.

Tidak, ini bukan pesta futuristik di set film Hollywood, melainkan bagian dari Riyadh Season, festival hiburan yang diselenggarakan di Arab Saudi. Namun, siapa sangka bahwa “kubus” tersebut memicu badai kritik? Sebagian menyebutnya simbol kemajuan, sementara yang lain, dengan nada sinis, menyebutnya sebagai “khurafat abad ini.”

Di atas panggung, sebuah struktur hitam yang oleh penyelenggara disebut sebagai “instalasi seni” menjadi pusat perhatian. Bagi banyak orang, ia terlihat seperti Ka’bah —pusat ibadah umat Islam di Masjidil Haram, Mekkah, berjarak 870 km dari Riyadh. Dengan strip serupa di Ka’bah, asosiasi pikiran pasti langsung ke Ka’bah.

Namun, alih-alih jamaah khusyuk melakukan tawaf, kubus ini menjadi layar digital untuk memproyeksikan gambar penyanyi dan penari, dengan iringan musik yang, yah, jauh dari suasana spiritual. Gebyar musik, kilau cahaya, dan rampak tari menyatu dan menghentak-hentak layaknya ferstival pop.

Tentu saja, ini memicu reaksi. Media sosial langsung dibanjiri dengan komentar tajam. “Ka’bah palsu?! Apakah ini bentuk baru dari penghormatan atau penghinaan?” tulis seorang pengguna X (dulu Twitter). Yang lain menambahkan dengan getir, “Apakah ulama di Saudi sudah kehilangan daya bicaranya?”

Siapa yang berani berkomentar di sana? Pasti langsung menerima resiko berat. Dan pihak otoritas Saudi dengan cepat membantah anggapan bahwa ini replika Ka’bah. Menurut mereka, struktur tersebut hanyalah empat cermin besar dengan proyeksi digital. Namun, seperti biasa, klarifikasi ini datang dengan nada “Maaf kalau tersinggung, tapi kami tidak salah.”

Riyadh Season dipuji oleh sebagian kalangan sebagai langkah berani menuju modernisasi. Arab Saudi, di bawah komando Putra Mahkota Mohammed bin Salman, berambisi untuk menciptakan citra baru negerinya yang selama ini dikenal bermazhab Wahabi: kini lebih terbuka, lebih progresif, dan—katanya—lebih menyenangkan.

Namun, mari kita hadapi fakta: Sebuah negara yang mengklaim sebagai penjaga dua tempat suci Islam mungkin harus berpikir ulang sebelum menyandingkan hiburan dan simbol agama dalam satu panggung. Kritik dari kalangan ulama, aktivis, hingga warga sedunia menilai, festival ini lebih terlihat seperti parade komersial yang tidak memiliki sensitivitas budaya dan religius.

Ironisnya, pesta besar ini berlangsung di tengah berbagai tragedi di kawasan Timur Tengah. Gaza sudah luluh lantak, Lebanon terbakar, sementara Riyadh menyala-nyala dengan lampu LED dan musik pop. Bagi banyak orang, ini bukan hanya soal estetika, tetapi juga soal prioritas moral.

“Bagaimana mungkin sebuah bangsa menghamburkan jutaan dolar untuk hiburan, sementara umat Islam di tempat lain menderita?” tanya seorang netizen, yang tentunya tak berharap jawaban serius. Sebab, semua tahu, tak mungkin ada yang berani menjawab di negeri dengan tingkat pengamanan yang ketat.

Jika Riyadh Season adalah cerminan globalisasi, maka ini versi karikaturalnya. Di satu sisi, ia menunjukkan ambisi besar Mohammed bin Salman untuk menjadikan Saudi pusat hiburan dunia yang mengundang jutaan turis. Di sisi lain, ia memaksa kita bertanya: Apakah modernisasi harus datang dengan harga kehilangan identitas?

Sementara itu, para penari terus berjingkrak-jingkrak, kubus serupa Ka’bah terus berkilau, serta dunia Arab dan Muslim terus memperdebatkan apakah Riyadh Season langkah maju, mundur, atau sekadar tarian erotik. Salahnya, itu berlangsung di Saudi, meski tempatnya di kota yang jauh dari Mekkah dan Madinah.

Kata orang Arab sendiri:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَقْفِزَ قَفْزَةً طَوِيلَةً، غَالِبًا مَا يَسْقُطُ إِلَى الْوَرَاءِ.
“Siapa yang ingin melompat terlalu jauh, seringkali jatuh ke belakang.” Pepatah Arab ini memberi nasihat agar seseorang tidak terlalu tergesa-gesa atau berlebihan dalam upaya mencapai sesuatu, karena hal itu dapat menyebabkan hasil yang justru berlawanan dengan harapan. Tapi Bin Salman maju tak gentar.

Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 01/12/2024