KBRI Damaskus Tetapkan Status Siaga 1 di 8 Provinsi di Suriah

Orang-orang berkendara melewati papan reklame bergambar potret Presiden Suriah Bashar al-Assad yang terbakar di Lapangan Saadallah al Jabiri, Aleppo, 5 Desember 2024. (OMAR HAJ KADOUR/AFP)

J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Konflik kembali pecah di Suriah setelah pasukan pemberontak melancarkan serangan ke Provinsi Aleppo di bagian utara negara itu pada Rabu pekan lalu. Dalam waktu tiga hari, mereka berhasil menguasai Kota Aleppo dan saat ini juga mengepung Kota Hama.

Pemberontak sebelumnya pernah menduduki Aleppo pada periode 2012 hingga 2016 sebelum akhirnya kalah dan mundur ke Provinsi Idlib.

Terkait situasi ini, Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, dalam konferensi pers di Jakarta pada Kamis (5/12), menyatakan bahwa Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Damaskus telah menyusun rencana kontingensi untuk melindungi warga negara Indonesia (WNI) yang berada di Suriah.

Judha mengungkapkan bahwa salah satu langkah dalam rencana tersebut adalah menetapkan delapan provinsi di Suriah dengan status Siaga 1. “Saat ini, KBRI Damaskus telah memiliki rencana kontingensi perlindungan WNI. Berdasarkan rencana itu, status beberapa provinsi di Suriah ditingkatkan menjadi Siaga 1, yaitu Aleppo, Idlib, Hama, Deir Ez-Zor, Hasaka, Raqqa, Daraa, dan Suwaida. Provinsi-provinsi ini kami nilai berbahaya dan berpotensi mengancam keselamatan WNI,” ujarnya.

Dia menambahkan bahwa Deir Ez-Zor, Hasaka, dan Raqqa telah berstatus Siaga 1 sejak tahun lalu. Selain itu, enam provinsi lainnya, yaitu Latakia, Homs, Suwaida, Tartus, Damaskus, dan Rif Damaskus, ditetapkan dengan status Siaga 2.

Menurut Judha, terdapat 1.162 WNI di Suriah yang mayoritasnya adalah pekerja rumah tangga dan pelajar. Mereka tersebar di berbagai wilayah, termasuk 29 di Aleppo dan enam di Hama, dua daerah yang saat ini menjadi pusat konflik. Data KBRI menunjukkan bahwa 758 WNI tinggal di Damaskus, 321 di Hasaka, 17 di Tartus, 20 di Latakia, dan 8 di Rif Damaskus.

Sejak tahun lalu, pemerintah telah mengevakuasi 1.220 WNI dari wilayah konflik di Timur Tengah, termasuk Suriah. “Langkah-langkah yang kami lakukan meliputi koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait, pembaruan rencana kontingensi, evaluasi status siaga, pembahasan proses evakuasi, serta penyediaan shelter atau safe house di KBRI,” jelas Judha.

Selain itu, pemerintah Indonesia telah membentuk Pusat Respons Krisis yang melibatkan Kementerian Luar Negeri, TNI, BAIS, dan BIN.

Pengamat hubungan internasional dari Universitas Diponegoro, Mohamad Rosyidin, menyebut bahwa konflik di Suriah merupakan lanjutan dari perang yang dimulai pada 2011. Ia menjelaskan bahwa keterlibatan proksi negara-negara besar memperburuk situasi, dengan Rusia mendukung rezim Assad sementara Barat mendukung kelompok pemberontak.

Rosyidin meragukan kemungkinan Indonesia dapat memainkan peran dalam mengakhiri konflik Suriah, mengingat fokus utama Indonesia saat ini adalah Palestina. Mengenai potensi kemunculan kembali ISIS di Suriah, Rosyidin menyebut bahwa meskipun ia kurang yakin, sel-sel ISIS dapat memanfaatkan situasi konflik untuk melakukan konsolidasi dan berkembang dalam bentuk organisasi baru. Ia menambahkan bahwa perang berkepanjangan di Suriah berpotensi memicu kebangkitan ISIS yang sulit diatasi.

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah