Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha
KETIKA suhu politik mereda usai Pemilu, rakyat Indonesia kembali disuguhkan drama lain: pajak. Kali ini, isu yang ramai adalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% per 1 Januari 2025. Daftar barang yang terkena pajak ini cukup menggelitik: mulai dari TV, pulsa, tas bermerek, hingga makanan kemasan dan jasa boga. Tidak ketinggalan, listrik di rumah Anda yang watt-nya agak “bertenaga” pun siap digerogoti.
Ketentuan pajak 12% tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Disebutkan di dalamnya, ketentuan ini berlaku per 1 Januari 2025, tarif PPN naik dari 11 persen menjadi 12 persen. Sementara itu, soal objek pajaknya disebut secara rinci di Pasal 4 Ayat 1 UU No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai. Tentu, UU ini masih berlaku, dan sejauh ini tidak ada perubahan peraturan.
Di tengah kritikan viral yang dilontarkan publik awam hingga kaum pakar, muncullah Presiden Prabowo Subianto dengan jurus khasnya—”omon-omon” politik. Dalam sebuah pernyataan yang bernada menenangkan di media, presiden kita berkata bahwa PPN 12% hanya akan dikenakan pada barang-barang mewah. Tentu ini membuat rakyat sedikit lega. Namun, kenyataannya, pernyataan tersebut tidak memiliki payung hukum yang jelas.
Pernyataan Prabowo tidak lebih dari angin segar di siang bolong: sementara menyejukkan, tetapi tanpa fondasi. Ucapannya yang disampaikan ke media bahwa PPN 12% hanya berlaku untuk barang mewah belum tertuang dalam peraturan apa pun. Jadi, omongan Prabowo yang baru tahap omon-omon tak ubahnya seperti ia masih berkampanye yang menyihir massa.
Kritik terhadap kenaikan PPN bukanlah isapan jempol. Para pakar ekonomi dan masyarakat ramai-ramai menyuarakan keberatan mereka, dan alasannya jelas. Peningkatan PPN akan langsung menggerus daya beli masyarakat. Dengan daftar barang yang meliputi kebutuhan sehari-hari, pajak ini akan mengurangi konsumsi domestik, yang, ironisnya, adalah salah satu motor penggerak ekonomi terbesar di Indonesia.
Kenaikan PPN 12% juga memberi efek berantai pada inflasi. Barang-barang yang terkena pajak adalah produk yang hampir selalu digunakan oleh masyarakat. Ketika biaya meningkat, inflasi menjadi efek domino yang tidak terelakkan. Pada akhirnya, masyarakat kelas bawah yang paling terdampak.
Tak cuma itu, kenaikan pajak PPN yang berlaku Januari 2025 dipastikan menyebabkan krisis kepercayaan publik. Ketika Presiden Prabowo mengatakan “PPN hanya untuk barang mewah,” masyarakat yang kritis langsung bertanya: Kalau benar, mengapa tidak ada Peraturan Presiden (Perpres) atau revisi hukum yang menegaskan hal ini? Jangan-jangan, ini hanya siasat meredam kemarahan publik sementara waktu.
Terakhir, kenaikan PPN dari 11% ke 12% menyebabkan distorsi ekonomi. Kenaikan PPN pada jasa penting seperti pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial, sebagaimana dimuat dalam ketentuan objek pajak di UU tentang PPN, dapat membuat akses terhadap kebutuhan dasar semakin mahal, memperparah ketimpangan sosial yang sudah babak belur.
Publik bertanya-tanya, apakah dalam logika Prabowo, semua barang yang dikenai pajak ini dianggap “mewah”? Jadi, memiliki kulkas dan tas itu mewah? Pendidikan itu mewah? Atau membeli pulsa untuk menghidupkan jaringan internet demi kebutuhan kerja adalah kemewahan? Jika memang demikian, maka kelas menengah Indonesia telah resmi naik kasta ke golongan aristokrat!
Yang lebih membingungkan adalah pernyataan ini bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. UU ini jelas menyebut bahwa tarif PPN akan naik menjadi 12% tanpa menyebut pengecualian spesifik untuk barang mewah. Dengan kata lain, pernyataan Prabowo hanya permainan kata-kata yang tidak didukung oleh fakta hukum apa pun.
Sebagai seorang presiden, bukan politikus yang sedang berkampanye, Prabowo seharusnya segera menginstruksikan revisi aturan atau menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk memperjelas maksud dari “barang mewah.” Tanpa langkah konkret ini, pernyataannya tidak lebih dari retorika politik tanpa substansi.
Jika tidak ada keputusan hukum yang mengikat, publik berhak merasa skeptis. Apakah ini hanya strategi mencari simpati? Atau sekadar cara untuk mengalihkan perhatian sementara dari masalah yang lebih besar?
Omon-omon memang lucu, tetapi rakyat tidak butuh lawakan. Dalam situasi ekonomi yang penuh tantangan, janji-janji tanpa realisasi hanya menambah daftar panjang kebingungan masyarakat. Jika Prabowo ingin memulihkan kepercayaan publik, langkah konkret harus segera diambil.
Toh, menjadi presiden itu bukan hanya soal berbicara manis di depan kamera, tetapi memastikan setiap kata yang diucapkan bisa menjadi pegangan hukum. Jika tidak, omon-omon ini akan menjadi pengingat pahit bahwa politik adalah seni berbicara tanpa berkata apa-apa.*
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 18/12/2024
Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995