Pengamat: Batalkan Kenaikan PPN Jadi 12 Persen

Gedung Kantor Pajak Indonesia di Jakarta, 3 April 2018. (Willy Kurniawan/REUTERS)

J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Peneliti CELIOS, Galau D Muhammad, memprediksi bahwa pengeluaran masyarakat kelas menengah dan bawah akan meningkat akibat kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen.

“Jika kita lihat pada level pengeluaran, kelas menengah diperkirakan akan mengalami pengeluaran tambahan sekitar Rp354.000. Jika dihitung dalam setahun pada 2025, pengeluaran tambahan ini bisa mencapai Rp4.251.000. Ini adalah beban yang harus ditanggung setiap rumah tangga, dan ini adalah dampak langsung dari kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen,” ungkap Galau dalam percakapan dengan VOA.

Ia menjelaskan meskipun kenaikan tarif PPN hanya satu persen, harga barang atau jasa yang menjadi dasar perhitungan pajak dapat naik hingga lima persen. Bahkan, beberapa layanan diperkirakan akan mengalami kenaikan harga sampai 9 persen.

Galau menambahkan bahwa kebijakan ini akan semakin mengurangi daya beli masyarakat. Ia juga memprediksi bahwa akan terjadi perubahan pola konsumsi yang mengarah pada pengurangan pengeluaran untuk barang-barang non-esensial seperti hiburan dan perjalanan.

Selain itu, masyarakat miskin yang memiliki pendapatan rata-rata Rp500.000 per bulan diperkirakan akan menanggung kenaikan pengeluaran hingga Rp100.000 setiap bulan. Menurut Galau, bantuan sosial dari pemerintah tidak akan cukup untuk mengatasi masalah ini karena jumlah dan durasinya terbatas.

Menurutnya, kebijakan kenaikan PPN 12 persen sebaiknya dibatalkan mengingat kondisi ekonomi domestik yang sedang tidak baik. Hal ini tercermin dari turunnya omzet UMKM hingga 60 persen pada 2024 dan menurunnya jumlah masyarakat kelas menengah.

“Pajakan terhadap konsumsi justru akan memperburuk pergeseran kebutuhan. Barang-barang di pasar akan semakin mahal. Bahkan sebelum PPN 12 persen diterapkan pada 2025, harga mobil sudah naik karena pengusaha telah menyesuaikan harga. Kita akan menghadapi kondisi ekonomi di mana rumah tangga hanya bisa membeli kebutuhan primer, dan industri yang masih bisa bertahan akan semakin tertekan,” jelasnya.

“Hampir semua indikator ekonomi yang kami kaji menunjukkan tidak ada dampak positif dari PPN ini. Maka, langkah pertama yang perlu diambil adalah mencabut kebijakan PPN ini. Prabowo mungkin bisa mengeluarkan Perppu dengan ketentuan tertentu untuk mencegah dampak negatif pada variabel ekonomi,” tambahnya.

Membantu Kelas Menengah

Ekonom dari CORE Indonesia, Muhammad Faisal, mengatakan bahwa kebijakan PPN 12 persen akan semakin menyulitkan masyarakat kelas menengah, terutama karena tarif ini akan dikenakan pada banyak barang dan layanan yang biasa mereka konsumsi.

“Misalnya pakaian atau barang-barang sekunder yang dikenakan PPN 12 persen, ini akan memberatkan kelas menengah karena masalah utama mereka adalah disposable income. Bukan hanya pengeluaran untuk barang tahan lama yang berkurang, tetapi tabungan mereka juga turun, sementara pinjaman online meningkat tajam,” ujarnya dalam percakapan dengan VOA.

Faisal berpendapat bahwa seharusnya pemerintah memberikan insentif kepada masyarakat kelas menengah untuk memulihkan kondisi ekonomi mereka seperti sebelum pandemi COVID-19. Namun, ia menekankan bahwa insentif tersebut harus berbeda dengan yang diberikan kepada masyarakat miskin.

“Contohnya, keringanan pembayaran listrik 50 persen untuk daya 2.200 VA sebenarnya menyasar kelas menengah. Tetapi, sayangnya insentif tersebut hanya diberikan selama dua bulan yang jelas tidak cukup. Insentif semacam ini harus diperpanjang dan juga harus ada bantuan untuk meningkatkan pendapatan mereka. Misalnya untuk UMKM, pemerintah dapat memberikan kemudahan dalam akses pasar, mengingat upah sebagian besar masyarakat turun pada 2024,” jelasnya.

Faisal juga menegaskan bahwa tidak hanya kebijakan PPN 12 persen yang berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi, tetapi juga kebijakan lain seperti pembatasan BBM subsidi, kenaikan premi BPJS Kesehatan, dan penerapan kewajiban asuransi kendaraan bermotor.

“Alih-alih membantu masyarakat kelas menengah, kebijakan PPN 12 persen justru menambah beban mereka. Setidaknya, kebijakan pemerintah seharusnya tidak menambah beban,” tuturnya.

Sementara itu, Ekonom dari Next Policy, Yusuf Wibisono, menilai bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen ini bisa dianggap sebagai jalan pintas yang diambil pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak yang stagnan dalam satu dekade terakhir. Rasio pajak pada 2023 hanya mencapai 10,23 persen, lebih rendah dibandingkan dengan 2015 yang mencapai 10,76 persen.

Selain itu, Yusuf menilai bahwa pendapatan yang diperoleh negara dari kenaikan PPN tidak signifikan, hanya sekitar tiga persen dari PDB sejak 2021.

“Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada 2025 sebaiknya dibatalkan, karena peningkatan penerimaan yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya yang ditanggung, seperti lemahnya daya beli masyarakat, potensi inflasi, dan meningkatnya kesenjangan sosial,” ungkap Yusuf.

Yusuf juga menjelaskan bahwa kenaikan tarif PPN ini berpotensi memperburuk kesenjangan, karena PPN lebih bersifat regresif dibandingkan pajak penghasilan (PPh), yang berarti orang miskin akan menanggung beban pajak yang lebih berat daripada orang kaya.

“PPN lebih regresif karena dibayar ketika pendapatan dibelanjakan untuk barang dan jasa dengan tarif tunggal, tanpa memperhatikan berapa tingkat pendapatan konsumen,” pungkasnya.

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah