Makian DeLiang

Muhammad DeLiang Al-Farabi dan ayahnya, Ario Muhammad. (Foto: Disway.id)

Oleh Dahlan Iskan

“BISA telepon Anda? Saya bangga pada Anda dan anak Anda”.

“Saya lagi mengurus ibu yang lagi sakit. Mungkin bisa besok pukul 13.00,” jawabnya.

Saya pun minta maaf telah mengganggu konsentrasinya dalam mengurus ibunda. Sang ibu kini lagi di rumah sakit Ternate, Maluku Utara. Usia 75 tahun. Baru saja operasi. Masih akan operasi lagi –sebagai koreksi atas operasi sebelumnya. Tidak mudah. Sang ibu punya komorbid –gula darah.

Orang yang saya WA kemarin itu lagi memonitor kondisi sang ibu dari jauh. Kalau kondisinyi kurang baik ia segera terbang ke Ternate. Ia siap berangkat kapan saja dari Trenggalek, Jatim.

Namanya: Ario Muhammad. Viral di medsos. Pun nama anaknya: Muhammad DeLiang Al-Farabi.

DeLiang harus dibaca ‘te-liang’. Sang anak baru berusia 11 tahun. Prestasinya tinggi: sudah menulis 30 judul buku. Semua dalam bahasa Inggris. Salah satunya, yang sudah diterbitkan Amazon, sukses masuk ranking 50 besar. Satu bukunya lagi, The Battle of Badr, sudah dapat komitmen akan diterbitkan di London. Tentu itu buku tentang Perang Badar yang amat gemilang itu –yang dipimpin langsung Nabi Muhammad.

Selebihnya sudah banyak bukunya yang terbit secara digital-online.

“Kenapa anak itu Anda beri nama DeLiang?”

Itu sebenarnya pertanyaan kura-kura dalam pagar. Pagar laut. Saya sudah tahu siapa yang ada di dalam pagar. Tapi tugas wartawan untuk bertanya.

Jawabnya pasti ini: DeLiang adalah nama ilmuwan besar. Anda sudah tahu DeLiang: ilmuwan dunia di bidang klimatologi-meteorologi. Nama lengkapnya: 陈德亮.

Muhammad DeLiang Al-Farabi lahir di Taipei, Taiwan. Yakni saat Ario Muhamad dan istrinya kuliah S-2 di sana.

Ario lulusan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Istrinya lulusan ITS Surabaya. Sang istri kini dosen elektronika di ITS.

Ario orang Maluku Utara. Istrinya orang Trenggalek. Asam gunung paling masam dan garam laut paling asin bertemu di belanga perkawinan. Lahirlah Muhammad DeLiang Al-Farabi.

Nama ilmuwan Islam Al-Farabi ditambahkan di belakang nama ilmuwan Tiongkok DeLiang.

Anda sudah tahu siapa Al Farabi: filsuf, musikus, dan pemikir kenegaraan. Bukunya “Induk Musik” sangat bersejarah. Juga tentang klasifikasi irama. Selebihnya hanya perusuh Liang yang berhak membahasnya. Siapa tahu DeLiang Al-Farabi akan lebih hebat dari dua ilmuwan itu sekaligus. Masih dibebani pula nama Muhammad di depannya.

Jalan menuju ke sana terbuka. Saat masih kecil DeLiang Al-Farabi dibawa Ario dan istri ke Bristol, Inggris. DeLiang tumbuh sebagai anak di Bristol.

Ayah bundanya mengambil gelar doktor di sana. Mereka sampai tujuh tahun hidup di kota yang namanya jadi merek semir sepatu itu.

Saya menyesal telat mengenal Ario. Waktu driving dari Newcastle ke Cardiff sebenarnya saya lewat Bristol. Hanya mampir lunch di situ. Coba sudah kenal Ario saya bisa makan gratis di rumahnya di sana.

DeLiang beruntung dapat pendidikan masa kecil di Inggris. Yakni pendidikan yang membuat bakat dan kemampuan anak bisa dimunculkan sebenar-benarnya muncul.

Bakat menulisnya pun bisa terasah sejak kecil. Sebagian besar buku DeLiang ditulis di Bristol –saat belum berumur 10 tahun.

Persoalan mulai muncul ketika suami-istri ini harus pulang ke Indonesia: DeLiang harus sekolah di mana. Yang sistemnya bisa mirip dengan yang ada di Inggris.

Tidak ketemu.

Akhirnya Ario memasukkan DeLiang ke sekolah yang bukan sekolahan: home schooling. Di Tangerang Selatan. Milik Kak Seto –yang sudah Anda kenal.

Maka saya usul ke panitia Home Schooling Summit di Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya akhir Februari nanti agar mengundang suami-istri ortu DeLiang. Itu lebih penting daripada mengundang saya.

DeLiang yang ilmuwan Tiongkok sendiri sekarang menjadi warga negara Swedia. Ia lulusan jurusan klimatologi Universitas Nanjing –tidak jauh dari kampung kelahirannya di Nantong. Lalu melanjutkan S-2 dan S-3 di Jerman, di bawah bimbingan pemenang hadiah Nobel kelahiran Belanda, Paul J. Crutzen.

Meski sudah warga negara Swedia, DeLiang tetap diangkat sebagai anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Tiongkok yang bergengsi itu.

“Saya berharap DeLiang nanti bisa kuliah di Amerika atau Inggris. Minatnya di bidang science, matematika, dan fisika sangat besar,” ujar Ario.

Liburan Imlek ini Ario berada di Trenggalek, di kampung sang istri: dekat alun-alun kota. Ia dalam posisi siap terbang ke Ternate begitu ibunya tidak tertangani dengan baik.

Orang tua Ario tergolong ‘orang pulau’ yang sebenar-benarnya. Yakni orang Labuha –yang Anda pasti belum tahu di mana letaknya di peta. Itu pulau ketiga di selatan pulau Tidore. Tapi Ario sendiri lahir di Pulau Makian –pulau yang lain lagi, yang berjarak beberapa pulau dari Labuha. Karena itu Ario masuk SMP dan SMA di kota yang lebih besar di sana: Ternate. Di situ pula ada rumah sakit yang punya dokter ortopedi satu-satunya di sana.

Dokter tunggal itulah yang memasang pen di panggul sang ibu. Agar antara kaki dan panggul terhubung. Lalu pen itu akan dicopot lagi untuk dipasang yang baru.

Yogyakarta, Surabaya, Taipei, dan Bristol. Alangkah jauhnya dengan Maluku Utara –dalam segala apa saja. Tapi itulah kampung halaman tercinta. Apalagi ada ibunda di sana –ibunda yang full doa.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia