Isra’ Mi’raj dan Realita Umat – Bagian 7

Direktur Jamaica Muslim Center/Presiden Nusantara Foundation Amerika Serikat, Imam Shamsi Ali. (Foto: J5NEWSROOM.COM)

Oleh Imam Shamsi Ali

ADA satu cerita yang terlupakan di episode lalu. Disebutkan bahwa ketika Rasulullah SAW ketemu Musa dan akan meninggalkannya, Rasulullah melihat Musa menangis. Rasulullah bertanya kepada Jibril: “kenapa gerangan Musa menangis?”. Jibril menjawab: “Musa sedih karena umat kamu lebih banyak dari umatnya. Tapi yang terpenting lagi, penghuni surga dari umat kamu jauh lebih besar ketimbang umat Musa”.

Satu catatan penting bahwa betapa para nabi itu berlomba-lomba dalam memperbanyak pengikut (untuk kebaikan, hidayah dan surga). Mereka saling iri (positive jealousy) melihat yang lain lebih banyak yang berhasil diajak ke jalan Allah dan masuk surga. Itu yang menjadikan nabi Musa AS menangis dan bersedih membandingkan umatnya dan umat Muhammad SAW.

Dari langit ke tujuh setelah berjumpa dengan Ibrahim AS, selanjutnya menaiki apa yang disebut “Sidratul Muntaha” (akhir dari segala akhir). Ada banyak penafsiran tentang Sidratul Muntaha ini. Dan masing-masing menggambarkan keindahan yang dahsyat dan kemahakuasaan Allah SWT. Namun yang pasti Sidratul Muntaha merupakan destinasi tertinggi dalam perjalanan spiritualitas. Sebagian ahli tasawuf mendefinisikannya dengan situasi “al-fana” bersama kebesaran Allah SWT.

Ada sedikit  perbedaan pendapat para ulama tentang apakah Jibril ikut ke atas melewati langit ketujuh atau tidak. Yang pasti di beberapa riwayat perjalanan ke atas memakai kata dengan format majhul “tsumma ‘urija” (kemudian diangkat”. Ekspresi ini menjadikan sebagian Ulama menyimpulkan bahwa Jibril tidak lagi ikut. Hanya Rasulullah yang diperjalankan. Bahkan sebagian ada yang menambahkan cerita jika Iblis berkata kepada Rasulullah: “naiklah engkau Wahai Muhammad. Saya tidak lagi punya otoritas untuk melampaui ini (langit ketujuh).

Terlepas dari cerita ikut atau tidak ikutnya Jibril dalam perjalanan melewati langit ketujuh, Rasulullah sampai ke ketinggian puncak dari perjalanan itu. Di sana beliau melihat pepohonan dengan dedaunan yang sangat indah dan warna warni yang tidak dapat digambarkan dengan kata-kata. Sebagian riwayat menyebutkan dedaunan pohon itu bagaikan telinga gajah, dan buah-buahnya bagaikan hajar aswad. Tentu penggambaran ini bersifat metaforik karena sifatnya yang di luar batas manusia memahaminya.

Rasulullah SAW kemudian mendengarkan suara Tuhan. Para Ulama sepakat bahwa Muhammad tidak melihat wujud fisik Tuhannya. Aisyah RA bahkan mengatakan: “barangsiapa yang mengaku jika Rasulullah melihat Tuhan ketika Isra Mi’raj maka sungguh telah berbohong”. Namun yang pasti beliau mendengar suara yang menyampaikan tiga hal:

Allah Subhanahu menyampaikan dan meyakinkan bahwa setiap umat Muhammad yang beriman kepada Laa ilaaha illallah dan meninggal tanpa ada kesyirikan dijamin masuk surga.

Allah menyampaikan “khawaatim Al-Baqarah” atau dua ayat terakhir dari Surah Al-Baqarah. Dan yang paling masyhur adalah perintah kepada Rasulullah dan umatnya untuk melaksanakan Sholat-Sholat fardhu sebanyak 50 kali sehari semalam.

Ada beberapa cerita yang menyampaikan bahwa ketika Rasulullah berada di Sidratul Muntaha itu terjadi dialog seperti yang dibaca ketika tasyahhud. Rasulullah memberikan salam kepada Allah: “Attahiyatu lillahi wassolawatu wattoyyibatu “. Lalu konon Allah merespon: “Assalamu alaikum ayyuhan Nabi”… dan seterusnya.

Cerita di atas tidak memiliki landasan keagamaan yang jelas. Sehingga menjadi cerita yang “qiila wa qaala” dan tersebar dan menjadi masyhur sehingga seolah dianggap bagian dari cerita yang berbasis agama. Sayangnya banyak penceramah menyampaikan ceramah tanpa rujukan yang jelas dari Al-Quran dan Sunnah. Apalagi di zaman di mana penceramah-penceramah agama digandrungi karena keartisannya (popularitasnya).

Setelah menerima tiga hal di atas, Rasulullah kemudian turun bertemu dengan Jibril di langit ketujuh tempat di mana Ibrahim AS bermukim. Jibril dan Muhammad melewati langit ketujuh tanpa ada percakapan dengan Ibrahim AS.

Namun ketika turun ke langit keenam di mana Musa AS bermukim, beliau langsung ditanya oleh Nabi Musa: “Wahai Muhammad, apa yang diperintahkan Tuhan?”. Rasulullah SAW menjawab: “Allah memerintahkan kepadaku dan umatku 50 kali Shalat sehari semalam”.  Mendengar itu Musa mengatakan: “kembalilah kepada Tuhan dan minta keringanan. Karena umatku (secara fisik) lebih kuat dari umatmu tapi mereka tidak mampu melaksanakan sebanyak itu”.

Mendengar usulan Musa AS itu, Rasulullah tidak langsung menerima dan melaksanakannya. Justeru beliau menengok ke Jibril seolah meminta pendapat (second opinion).

Kemudian mengangguk menyetujui usulan Musa AS. Rasulullah pun naik lagi ke Sidratul Muntaha dan meminta keringanan jumlah sholat yang harus ditunaikan. Allah menyetujui pengurangan jumlah dari 50 ke 40. Namun ketika turun ke Musa beliau masih menyuruhnya agar meminta keringanan lagi. Singkat cerita Rasulullah beberapa kali bolak balik dari 40 ke 30 lalu 20 dan akhirnya 5 kali Shalat sehari semalam.

Ketika Musa bertanya berapa jumlah kewajiban sholat sehari semalam dan Rasulullah menyampaikan kalau beliau diperintah 5 kali sehari semalam, Musa masih menganjurkan beliau agar kembali meminta keringanan. Namun Rasulullah SAW menolak dengan mengatakan: “Saya malu kepada Tuhanku”.

Di saat terjadi dialog antara Musa dan Muhammad itu tiba-tiba terdengar suara yang berseru (fanaada munaadin): “Aku mewajibkan kamu Sholat 5 waktu. Namun keputusan Aku lima puluh tidak lagi berubah. Karenanya sholatlah 5 waktu. Namun pahalaKu tetap 50 kali.” Jumlah kewajiban dikurangi menjadi 5 kali. Namun pahala awal 50 kali tetap diberikan 50 pahala. Betapa maha Rahman dan maha baiknya Allah SWT.

Pertanyaan yang kemudian timbul adalah kenapa ketika melewati langit ketujuh Ibrahim AS tidak bertanya tentang apa yang diperintahkan oleh Allah kepada Rasulullah? Lalu Kenapa Musa yang menanyakan itu?

Ada kebenaran argumen yang bisa disampaikan dalam hal ini:

Satu, Ibrahim dan Musa adalah dua nabi yang agung dari kalangan ulul azmi. Tapi keduanya memiliki kepribadian yang berbeda. Ibrahim cenderung menerima dan tidak pernah mempertanyakan apapun yang diperintahkan Allah kepadanya. Sementara Musa memiliki tingkat kuriositas yang sangat tinggi. Mungkin kita masih ingat kisah Musa dan Khidir?

Dua, Musa pernah mengalami audiensi dengan Allah ketika menerima wahyu di bukit Sinai. Sehingga pengalaman ini mendorong dia untuk bertanya. Ibrahim AS adalah khalilullah (kekasih Allah). Tapi tidak pernah secara langsung beraudiensi dengan Tuhan.

Tiga, Musa pengalaman menghadapi umat dengan jumlah besar. Sehingga pertimbangannya selalu merujuk kepada umatnya. Demikian juga Muhammad SAW yang dalam pengambilan keputusan selalu mempertimbangkan umatnya. Bukankah Ketika beliau akan meninggal dunia beliau memanggil-manggil umatnya: ummati, ummati  ummati!”.

Saya akan mengakhiri catatan ini dengan mengingatkan kita semua bahwa dari sekian banyak hikmah perjalanan Isra’ Mi’raj Rasulullah SAW, shalatlah yang menjadi tema sentral dari semuanya. Jika ini dikembalikan  kepada konteks latar belakang perjalanan Isra Mi’raj karena tantangan dan kesulitan yang dihadapi ketika itu, maka dapat dikatakan Sholat sesungguhnya diberikan sebagai kunci pintu keluar dari berbagai tantangan dan kesulitan.

Untuk umat ini Shalat adalah Mi’raj. Perjalan vertikal bagi mereka secara ruhiyah bertemu Tuhan dan menyampaikan segala keluh kesah dan harapan. Sholat pada akhirnya menjadi tiang agama, pembeda antara keimanan dan kekafiran, dan penentu diterima atau ditolaknya segala amalan kita (pertama dihisab di hari Kiamat nanti).

Semoga kita semua mampu menjaga Sholat-Sholat kita. Mampu mengajarkan Sholat kepada anak dan generasi kita. Karena kehancuran generasi salah satunya ditandai oleh “mereka meninggalkan Sholat”(adho’us Sholawat).

Semoga Allah jaga kita semua. Amin!

Penulis adalah Direktur Jamaica Muslim Center/Presiden Nusantara Foundation Amerika Serikat. Artikel ini di-japri penulis ke J5NEWSROOM.COM, Rabu 5 Februari 2025.