Pakan eGibran

Gibran Huzaifah saat mengenalkan eFishery di India. (Foto: Disway.id)

Oleh Dahlan Iskan

MUNGKIN Gibran tidak berniat menipu. Apalagi nilainya sampai Rp 9,7 triliun.

Agar tidak jumbuh dengan nama Gibran yang lain saya menuliskannya dengan nama belakangnya saja: Huzaifah. Nama Gibran yang satu ini lengkapnya memang Gibran Huzaifah.

Anda sudah tahu: Huzaifah adalah pendiri dan penggagas unicorn yang awalnya dianggap superkeren. Yakni eFishery.

Lewat rintisannya itu para petambak ikan dan udang terbantukan banyak: tidak perlu punya banyak tenaga kerja. Yang lebih penting lagi bisa hemat pakan yang kian hari kian mahal.

Caranya: makanan ikan/udang tidak perlu ditabur pakai tangan karyawan. Diganti oleh tangan mesin yang ditempatkan di pinggir tambak.

Mesin itu diprogram secara digital. Dihubungkan pula ke handphone. Bisa dibuat otomatis. Bisa disetel jam berapa waktunya menyemprotkan makanan. Tiap menaburkan bisa dipastikan berapa banyak jumlahnya.

Ternyata tambak udang, milik seseorang yang Anda sudah kenal ini, juga pernah menggunakan mesin pakan milik eFishery. Beberapa tahun lalu. Selama sekitar satu tahun.

Lalu tidak lagi.

Saya tidak pernah bertanya kenapa tidak lagi. Bahkan tidak tahu kalau pernah pakai itu. Melihat tambak itu pun belum tentu setahun sekali. Rasanya selama 10 tahun terakhir baru empat kali ke sana.

Para petambak tidak perlu membeli alat itu. Cukup sewa bulanan ke eFishery. Sewanya pun –secara teori– bisa dibayar dari hasil penghematan pakan ikan/udang. Tentu konsep ini sangat menarik –kalau benar bisa menghemat.

Nama Huzaifah pun meroket. Tinggi sekali. Ia lulusan ITB angkatan 2007. ITB pun sangat bangga. Apalagi Huzaifah berhasil dipercaya investor. Termasuk investor asing kelas berat. Uang senilai Rp 9,7 triliun pun masuk ke perusahaan itu.

Lihatlah nama-nama investor ini: SoftBank Group Corp dari Jepang. Temasek Holdings Pte Singapura. G42 milik Sheikh Tahnoon bin Zayed Al Nahyan dari Uni Emirat Arab. Lalu ada Northstar milik Patrick Waluyo Jakarta.

Lihatlah video-video Huzaifah. Ia sangat pandai bicara. Meyakinkan. Idealismenya sangat menonjol: membantu kebangkitan para petambak rakyat. Apalagi bahasa Inggrisnya sangat bagus. Investor asing tidak akan ragu.

Muda, pintar, inovatif.

Huzaifah pun jadi simbol dua kata mantra: muda dan sukses.

Huzaifah memang lulusan SMA internasional. Swasta. Di Bekasi. Namanya: SMA Islam Internasional PB Soerdirman 2.

Di saat berada di puncak suksesnya Huzaifah pernah menulis kenangan saat berada di SMA itu. Tulisannya bagus. Lancar. Ada jenakanya.

“Harus saya jelaskan tiga hal tentang SMA itu,” tulisnya. Pertama kata ‘Islam’. Pertanda jiwa sekolah ini memang Islam. Kedua, kata ‘internasional’. Itu visi sekolah ini. “Sama dengan visinya Agnes Monica,” candanya. Artinya: ingin go international. Memang, sampai saat itu belum bisa terkenal di seluruh dunia, ‘tapi sudah terkenal di seluruh Bekasi’.

Kata yang ketiga adalah ‘PB’. Itu tidak ada hubungannya dengan Persatuan Bulutangkis. “Jangan anggap saya pandai bermain bulutangkis, apalagi sampai dapat piala di Soedirman Cup. Saya tidak bisa bulutangkis,” jelasnya.

‘PB’ di situ adalah singkatan Panglima Besar. Panglima Besar Soedirman. Sedang angka 2 di belakangnya penanda tidak hanya ada satu SMA Islam PB Soerdirman.

“SMA saya itu tergolong mewah. Benar-benar mewah. Mepet sawah,” tulisnya. Sawah di situ bukan benar-benar sawah. Tapi rawa. Maka agar bisa disebut me-wah, menuliskan kata rawa pun jadi rawah.

Kenangan yang hidup padanya: kalau hujan SMA itu banjir. Itu dulu. Sekarang sudah tidak lagi. Sudah dibangun halaman yang tinggi. Generasi siswa yang sekarang dengan bangga menuliskannya sebagai SMA PunkSud 2.

Tapi baru Huzaifah alumni PunkSud 2 yang fenomenal. Berhasil menggalang dana sampai Rp 9,7 triliun. Ia dituduh telah memalsukan laporan keuangan. Tujuannya untuk meyakinkan investor. Yang seharusnya rugi ditulis untung besar. Rugi ratusan miliar ditulis untung lebih Rp 1 triliun.

Video terjelas soal pemalsuan laporan keuangan eFishery ini diunggah oleh Leon. Leonard Hartono. Lengkap dengan grafiknya. Ia dapat dokumen-dokumen dari ordal.

Leon seorang YouTuber aktif –khusus bidang bisnis. Ia lahir di Jakarta, tapi sejak SD sudah di Singapura.

“Orang tua kami memindahkan anak-anaknya ke Singapura terkait kerusuhan 1998,” ujarnya. Sampai SMA di sana. Lalu kuliah di UC Berkeley, California.

Saya menghubungi Leon tadi malam. Soal eFishery itu merupakan videonya yang ke 500 atau 600. Aktif sekali.

Setamat Berkeley Leon pulang ke Jakarta. Berbisnis. Jadi agen properti. Ayahnya seorang pengusaha properti di kawasan Kelapa Gading Jakarta.

“Kenal Huzaifah?”

“Tidak”.

“Pernah bertemu?”

“Tidak”.

Lalu siapa yang merasa tertipu oleh eFishery?

Tentu para investornya. Yang hebat-hebat tadi. Yang semuanya investor kelas dunia. Mereka merasa tertipu besar.

Para investor itulah yang kini jadi pemegang saham mayoritas di eFishery. Bukan lagi Huzaifah. Maka mereka berwenang memberhentikan Huzaifah sebagai CEO.

Saya tidak dapat info apakah Huzaifah sudah tidak punya saham sama sekali. Atau masih sedikit-sedikit.

Itu tergantung pada seberapa banyak saham yang dilepas di setiap serinya. Terakhir Huzaifah menarik dana investor untuk ‘Seri D’. Berarti pernah menarik dana di Seri A, Seri B, dan Seri C. Sudah empat kali.

Kalau setiap serinya Huzaifah melepas saham 25 persen maka sahamnya sudah habis. Atau setiap seri 20 persen sehingga ia masih punya 20 persen.

Yang jelas di seri terakhir, Seri D, ia mendapat uang hampir Rp 2 triliun. A sampai D total Rp 9,7 triliun.

Apakah Huzaifah akan terkena tindak pidana?

Tergantung: apakah para investor itu akan melaporkan Huzaifah ke polisi. Rasanya mereka tidak punya kebiasaan melapor. Toh mereka tidak akan bisa dapat uangnya kembali. Mereka justru harus keluar uang lagi.

Ini risiko yang sudah biasa mereka temui. Sebagian salah mereka sendiri: kenapa bisa ditipu. Mengapa begitu mudah percaya pada laporan keuangan.

Kenapa tidak kritis. Kenapa tidak teliti.

Ke manakah uang Rp 9,7 triliun itu?

Tentu saya tidak tahu. Kalau betul eFishery sudah memiliki ‘binaan’ sebanyak 3,7 juta petambak dan 10 juta bidang  tambak  –seperti yang disebut dalam salah satu video Huzaifah – tentu sebagian besar uang itu untuk membiayai operasional perusahaan.

Betapa banyak mesin penyebar pakan yang harus dibeli. Betapa banyak untuk gaji 2.400 karyawannya. Gaji sejak tahun 2013.

Saya juga tidak pernah dengar kemewahan gaya hidup Huzaifah. Atau apakah juga sempat menyimpannya sebagian untuk dirinya sendiri. Masih gelap.

Jangan-jangan Huzaifah korban dari ambisinya sendiri. Juga korban dari lemahnya kontrol keuangan perusahaan.

Jangan-jangan ia sudah tahu perhitungannya meleset, tapi ingin menutupi dengan cara dapat uang lebih besar. Dengan uang lebih besar bisa mengejar kerugian tahun sebelumnya.

Meleset lagi.

Kalau betul ia punya 3 juta petambak, berarti sebagian besar mereka petambak kecil. Mereka juga petambak ikan –petambak udang tidak banyak.

Dugaan saya, Huzaifah terpeleset di jutaan petambak kecil itu. Petambak ikan. Tidak mudah mengoordinasikan jutaan usaha kecil seperti itu.

Huzaifah masih muda. Sepanjang tidak ada uang yang ia larikan untuk diri sendiri, ia masih punya waktu untuk bangkit.

Kejatuhan ini memang terlalu dalam. Khususnya untuk anak semuda Huzaifah. Tapi kaki patah anak muda lebih mudah sembuh daripada leher patah orang tua seperti saya.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia