Ekonom Cemas soal Keberlanjutan Program Makan Siang Bergizi

Siswa menerima piring makan siang pada hari pertama program makan bergizi gratis di SMA Negeri 11, Jakarta Timur, pada 6 Januari 2025. (Foto: AFP)

J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Sejumlah ekonom merasa khawatir mengenai nasib keberlanjutan program Makan Siang Gratis, program anyar Presiden Prabowo Subianto yang dimulai tahun ini untuk mengatasi masalah gizi pada anak-anak.

Berdasarkan Studi Status Gizi Kementerian Kesehatan pada 2022, tercatat 21,6 persen anak usia 3 hingga 4 tahun mengalami stunting akibat kekurangan gizi.

Tahap pertama Program Makan Bergizi Gratis sendiri, yang diperpanjang hingga Maret, bertujuan memberikan makanan bergizi untuk sekitar 20 juta anak sekolah, ibu hamil, dan ibu menyusui. Dengan melahap makanan bergizi, hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesehatan dan mencegah stunting.

Program ini awalnya diperkirakan akan menelan biaya Rp450 triliun selama lima tahun. Namun, Menteri Koordinator Pangan Zulkifli Hasan menyatakan pada 9 Januari bahwa anggaran Rp71 triliun yang dianggarkan untuk tahun ini ternyata akan habis pada Juni. Pihaknya pun meminta tambahan Rp140 triliun agar program tersebut bisa terus berjalan hingga Desember.

China, Jepang, Amerika Serikat, dan India telah mengungkapkan dukungannya pada program tersebut. Namun belum jelas berapa jumlah dana atau bentuk dukungan yang akan diberikan. Jepang dan India menyebutkan bahwa bantuan mereka akan diberikan dalam bentuk pelatihan.

Pemerintah berencana melaksanakan program tersebut secara bertahap untuk menyasar 83 juta orang—lebih dari seperempat dari 280 juta penduduk Indonesia—pada 2029, kata Muhammad Qodari, Wakil Kepala Staf Kepresidenan, kepada wartawan pada 3 Februari.

Program tersebut merupakan bagian dari strategi jangka panjang pemerintah untuk mengembangkan kualitas generasi muda dalam menyongsong ‘Indonesia Emas’, yang bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdaulat, maju, dan sejahtera pada usia ke-100 tahun pada 2045.

Dinna Prapto Raharja, profesor hubungan internasional di Universitas Bina Nusantara Jakarta yang sekaligus menjadi penasihat senior di konsultan Synergy Policies, mengatakan besarnya anggaran untuk program itu bisa jadi batu sandungan politik bagi Prabowo.

“Untuk membiayai program ini, Prabowo memangkas anggaran pemerintah secara besar-besaran, bahkan beberapa kementerian harus menghadapi pemotongan hingga 50 persen,” ujar Dinna.

“Sekarang dia terpaksa mencari bantuan keuangan dari sumber-sumber luar negeri,” katanya kepada VOA pada 31 Januari.

Kementerian Keuangan menyatakan pemerintah akan memangkas anggaran belanja sebesar Rp306 triliun atau sekitar 8 persen dari APBN 2025 yang telah disepakati pemerintah dengan DPR.

Meskipun sejumlah negara menyatakan dukungan untuk program tersebut, pejabat Badan Gizi Nasional mengungkapkan bahwa pembicaraan internal mengenai tingkat bantuan asing, jenis bantuan, dan aspek teknis pelaksanaannya belum dimulai.

Dukungan dari China, Jepang, AS, dan India

Pada November, China berkomitmen mendukung program makanan bergizi gratis, tetapi belum menyebutkan nominal yang akan digelontorkan.

Kedutaan Besar China di Jakarta belum menanggapi permintaan VOA untuk mendapatkan informasi lebih. Hingga kini, masih belum jelas apakah bantuan keuangan dari China akan berbentuk pinjaman atau hibah.

Amerika Serikat memberikan pelatihan kepada peternak sapi perah di Tanah Air sebagai bagian dari upaya mendukung program tersebut, yang berimplikasi terhadap peningkatan permintaan susu lokal. Namun, sejauh ini pemerintah masih bisa menyediakan susu untuk anak-anak sekolah hanya dua hingga tiga kali seminggu, kata Deddy Fachrudin Kurniawan, CEO Dairy Pro Indonesia dan pimpinan proyek pelatihan Dewan Ekspor Susu Amerika.

Deddy mengatakan kepada VOA pada 8 Januari bahwa sebelumnya Indonesia harus mengimpor 84 persen kebutuhan susunya. Program Makan Siang Gratis diperkirakan akan membuat kebutuhan susu meningkat drastis.

Pada Januari, Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba juga mengumumkan bahwa Tokyo akan mendukung program makanan tersebut dengan membantu pemerintah Indonesia meningkatkan kemampuan untuk memerangi kekurangan gizi pada anak-anak.

Ishiba menawarkan dukungan Jepang dengan melatih juru masak di Tanah Air dan mengirimkan juru masak Jepang untuk membantu. Prabowo menambahkan bahwa Jepang juga akan berkontribusi dalam peningkatan sektor perikanan dan pertanian, berdasarkan pengalaman mereka.

Baru-baru ini, India kembali menegaskan dukungannya terhadap program tersebut dengan berbagi pengetahuan dari Food Corporation of India dan lembaga-lembaga lainnya kepada pejabat Indonesia.

“India berbagi pengalamannya di bidang kesehatan dan ketahanan pangan, termasuk skema makan siang [gratis] dan sistem distribusi [layanan] publik kepada pemerintah Indonesia,” kata Perdana Menteri Narendra Modi di saluran YouTube-nya pada 25 Januari.

Dukungan dan Reaksi

Negara-negara lain juga menyatakan dukungan mereka terhadap program tersebut. Prancis dan Brazil menyuarakan dukungannya dalam pertemuan KTT Pemimpin G20 yang baru-baru ini berlangsung di Rio de Janeiro.

Prabowo menginstruksikan jajarannya untuk melawat ke Brazil untuk mempelajari program serupa di negara Amerika Selatan tersebut. Sementara itu, Prancis, yang memiliki program pemberian makanan sekolah serupa, berniat untuk berbagi keahliannya dan membantu Indonesia dalam memodernisasi sektor pertaniannya.

Teuku Rezasyah, profesor madya hubungan internasional di Universitas Padjajaran Bandung, mencatat bahwa India mengekspor 20.000 metrik ton daging kerbau ke Indonesia tahun lalu, sementara Brazil mengekspor 100.000 metrik ton daging sapi ke Indonesia.

Wakil Perdana Menteri Inggris, Angela Reynar, menunjukkan minat yang sama saat pertemuannya dengan Prabowo di London pada November. Namun, hingga saat ini, belum jelas jenis dukungan apa yang akan diberikan Inggris.

Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics, mengatakan kepada VOA di Jakarta pada 31 Januari bahwa negara-negara yang menawarkan dukungan tersebut juga pasti akan mempertimbangkan kepentingan mereka sendiri.

“Saya yakin tidak ada makan siang gratis,” kata Faisal. “Sumbangan tersebut mungkin sebagian altruistik, tetapi tidak sepenuhnya. Negara-negara donor melihatnya sebagai cara untuk memperkuat hubungan bilateral, tetapi mereka juga berharap dapat meraih manfaat di masa depan, seperti kemudahan berinvestasi di Indonesia melalui insentif dan akses pasar ekspor yang lebih baik sebagai imbalannya.”

Rezasyah sepakat dengan pendapat itu.

“Negara-negara donor mungkin berharap Indonesia akan mengimpor lebih banyak produk dari negara mereka untuk mendukung program makanan tambahan bernilai miliaran dolar ini,” katanya. “Di sisi lain, mereka melihat Indonesia menjadi kekuatan menengah yang dapat berkontribusi dalam menemukan solusi bagi masalah global.”

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Agung