Tanpa Inklusivitas dan Representasi, Suriah Berisiko Melahirkan Diktator Baru

Menteri Luar Negeri Sementara Suriah Asaad al-Shibani (kiri), menghadiri Konferensi Internasional tentang Suriah di Pusat Konferensi Tingkat Menteri di Paris, 13 Februari 2025.

J5NEWSROOM.COM, Dalam Konferensi Keamanan Munich akhir pekan lalu, Menteri Luar Negeri Suriah Asaad Al Shibani menyatakan bahwa kepemimpinan baru Suriah berkomitmen untuk membentuk pemerintahan yang mencerminkan kehendak rakyat. Menurutnya, rakyat Suriah telah membebaskan diri mereka sendiri dan kini sedang merancang langkah-langkah serta prinsip-prinsip untuk membangun sistem pemerintahan yang sepenuhnya dimiliki oleh Suriah. Ia menegaskan bahwa kediktatoran tidak akan terulang kembali di negara tersebut.

Lebih lanjut, Al Shibani menyampaikan bahwa para pemimpin interim Islamis di Suriah saat ini berupaya untuk mengajak seluruh masyarakat dalam menjaga stabilitas dan mencegah tindakan yang dapat merusak pencapaian Suriah. Sementara itu, Bassam Said Ishak, Presiden Dewan Nasional Suryani Suriah yang mewakili komunitas Kristen Suryani di timur laut Suriah, menekankan pentingnya keterwakilan minoritas dalam pemerintahan baru. Ishak menyoroti konferensi dialog nasional yang dijadwalkan berlangsung bulan depan, dengan harapan bahwa konferensi ini benar-benar memberikan ruang bagi seluruh kelompok masyarakat Suriah untuk menyampaikan suara mereka.

Di sisi lain, pengacara Suriah-Amerika Dima Moussa, yang merupakan anggota Koalisi Nasional Suriah, menyebut bahwa pemerintahan interim masih membawa prinsip-prinsip Islamis yang sebelumnya diterapkan di Provinsi Idlib ke seluruh wilayah negara. Meski demikian, Moussa tetap optimis terhadap masa depan Suriah. Ia menekankan bahwa inklusivitas menjadi isu utama yang harus ditangani dengan hati-hati agar tidak menimbulkan perpecahan baru di negara yang telah dilanda konflik selama 14 tahun terakhir.

Sejumlah pengamat menyoroti kurangnya kejelasan mengenai bagaimana pemerintahan baru akan menyatukan negara yang masih terpecah-belah. Selain itu, masih ada pertanyaan besar mengenai hubungan Suriah dengan Rusia dan Iran serta langkah negara itu dalam kembali ke tatanan dunia Arab. Di tengah situasi ini, ekonomi Suriah terus terpuruk akibat perang saudara yang berkepanjangan, korupsi di bawah rezim Assad, serta sanksi-sanksi dari negara-negara Barat.

Utusan Khusus PBB untuk Suriah, Geir Pedersen, dalam konferensi tersebut menyoroti tantangan kemanusiaan yang dihadapi pemerintahan interim. Dengan 17 juta pengungsi dan warga yang terusir di dalam negeri, ia menekankan bahwa mereka perlu mendapatkan kepastian mengenai masa depan mereka di Suriah dalam waktu dekat.

Editor: Agung