
J5NEWSROOM.COM, Era digital telah membuka peluang luas bagi siapa saja untuk menjadi reporter sekaligus produser konten berita, namun etika jurnalistik tetap menjadi fondasi utama dalam setiap produksi. Hal ini disampaikan oleh Jamalul Insan, jurnalis senior dan anggota Dewan Pers periode 2019–2022, dalam kelas daring Journalism Fellowship on CSR 2025 pada Rabu, 16 April 2025.
Dalam paparannya, Jamalul menyoroti transformasi dunia jurnalistik akibat perkembangan teknologi dan media sosial. Dengan jumlah pengguna media sosial yang mencapai 191 juta orang di Indonesia pada 2024, dan rata-rata penggunaan selama lebih dari 3 jam per hari, masyarakat kini tidak hanya menjadi konsumen informasi, tapi juga produsen konten.
“Semua orang kini bisa menjadi reporter dan content producer, tetapi tidak boleh melupakan prinsip jurnalistik yang mengedepankan fakta, verifikasi, dan kepentingan publik,” ujar Jamalul.
Jurnalistik audio visual (AV) di era digital kini dituntut untuk cepat, real-time, dan adaptif di berbagai platform seperti YouTube, TikTok, Instagram, dan podcast. Konten harus interaktif, ramah perangkat mobile, serta menarik secara visual. Proses produksinya pun melibatkan perencanaan matang, pengambilan gambar dan audio, penyuntingan, hingga distribusi melalui media digital.
Di masa kini, hampir semua orang memiliki handphone yang dilengkapi kamera canggih, sehingga siapa pun terdorong untuk mendokumentasikan berbagai peristiwa di sekitarnya. Teknologi yang semakin mudah diakses ini menciptakan ketertarikan yang luas untuk terlibat dalam produksi konten, baik untuk tujuan pribadi maupun publik. Dokumentasi menjadi bagian dari respon aktif masyarakat terhadap perkembangan teknologi yang terus bergerak maju.
Namun di balik kemudahan itu, Jamalul juga mengingatkan soal maraknya pihak-pihak yang mengaku sebagai jurnalis tanpa mengikuti standar dan etika profesi. “Sekarang banyak yang mengaku-ngaku jadi wartawan karena mereka melihat bahwa wah pekerjaan ini kok enak. Mereka bisa dengan mudah mengakses informasi, maka banyak yang mengaku-ngaku sebagai wartawan. Bahkan ada juga orang yang punya kartu pers karena dikeluarkan dari medianya,” ungkapnya.
Dalam praktiknya, jurnalis digital juga dihadapkan pada tantangan serius seperti clickbait, disinformasi, polarisasi opini, hingga penyebaran konten manipulatif seperti deepfake. Oleh karena itu, penting untuk tetap memegang teguh Kode Etik Jurnalistik (KEJ), termasuk prinsip tidak menyebarkan berita bohong, menjaga privasi narasumber, dan tidak mendiskriminasi.
Salah satu hal teknis yang sangat penting dalam produksi konten adalah penggunaan tripod. Tripod bukan sekadar alat bantu, melainkan kebutuhan utama untuk menghasilkan gambar yang stabil dan berkualitas. Meski kamera handphone makin canggih, tangan manusia tetap memiliki keterbatasan. Tidak semua orang bisa menjaga kestabilan tangan dalam waktu lama, terutama saat merekam video. Dengan tripod, jurnalis bisa menjaga posisi gambar tetap fokus, tidak goyang, dan memberi kesan profesional dalam setiap tayangan.
Jamalul juga menyoroti pentingnya kompetensi wartawan. Hingga November 2024, terdapat 29.661 wartawan bersertifikat di Indonesia, yang terdiri dari jenjang muda, madya, hingga utama. Jumlah pengaduan masyarakat ke Dewan Pers pun terus meningkat, namun tingkat penyelesaian aduan juga mencapai lebih dari 98 persen pada 2024.
Editor: Agung

