Ariono Taufiq

Ariono Taufiq di atas motor gedenya. (Foto: Disway.id)

Oleh Dahlan Iskan

IA merasa dikecilkan. Dinilai bodoh. Ia marah. Ia akan gugat tokoh hukum nasional Prof Dr Mahfud MD.

Heboh.

“Anda kenal Dr M Taufiq SH MH yang akan menggugat Pak Mahfud itu?” tanya saya kepada sahabat Disway di Solo, Ariono Lestari.

Asumsi saya Ariono kenal. Ia lama jadi wartawan di Solo. Setelah pensiun, saya dengar ia jadi pengacara. Sesama pengacara, mungkin kenal.

Saya kenal banyak orang bernama Taufiq, tapi belum kenal yang di Solo ini. Rasanya pembaca Disway ingin tahu siapa pemberani dari Kota Jokowi ini.

Maka saya minta tolong sahabat Disway itu untuk menulis ‘siapa Taufiq’. Yang sejak merasa dianggap kecil itu namanya kian besar.

“Saya bukan pengacara,” ujar Ariono. “Saya kan bukan sarjana hukum,” tambahnya.

“Maafkan, info Anda sekarang jadi pengacara itu dari teman-teman sesama mantan,” kata saya.

“Tapi saya kenal baik Pak Taufiq,” katanya.

Saya pun senang Ariono mau menulis tentang Taufiq untuk Disway. Saya tidak berharap tulisan itu bisa saya terima secepat ini. Hanya beberapa jam setelah permintaan saya.

“Wow, kok cepat sekali menulisnya?” kata saya.

“Masih terpatri saat di JP. Kalau nggak cepet kena gebrak meja… hahaha,” jawabnya.

Tapi pembukaan tulisan Ariono seperti ‘balas dendam’.

“Siapa yang saat ini tidak mengenal nama ini. Penggugat Jokowi, mantan Presiden ke-7 RI, terkait dugaan ijazah palsu”.

Ariono seperti menyindir saya: kok tidak kenal nama alumnus Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) itu.

Maka inilah tulisan Ariono Lestari tentang Dr Taufiq itu selengkapnya:

Urat takutnya nampaknya sudah putus. Ia yang sekarang juga dosen hukum pidana Universitas Sultan Agung (Unissula) Semarang nekat menggugat Jokowi karena dugaan ijazah palsu Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM). Tak hanya ijazah UGM yang ia persoalan, ijazah SMA-nya pun dikorek habis.

Taufiq melihat banyak kejanggalan di ijazah UGM Jokowi. Sudah banyak diulas di berbagai medsos dan media mainstream. Ijazah SMA Jokowi pun nampaknya bakal jadi fokus utama Taufiq.

“Ijazah UGM tetap kita persoalkan secara hukum, tapi juga ijazah SMAN 6 yang dipakainya mendaftar cawali, cagub DKI, sampai capres,” kata Taufiq kepada saya.

Menurut Taufiq, saat Jokowi lulus SMA pada 1980, SMA Negeri 6 yang diakui sebagai almamaternya, belum ada. Diyakini, ijazah Jokowi bukan SMAN 6 tapi SMPP.

“Tahun itu, di Solo baru ada SMA Negeri 1 sampai 5. Artinya, saya menduga ada maladministrasi,” jelasnya.

Kalau Taufiq bisa membuktikan terjadinya maladministrasi, maka implikasi hukum sangat berat. Keterpilihan Jokowi di pilwali kota Solo sampai presiden dua periode tidak sah. Kalau keterpilihannya dinyatakan tidak sah secara administrasi, berarti kebijakan-kebijakan Jokowi saat menjabat juga tidak sah.

“Maka, utang negara yang mencapai Rp 8.000 triliun akan menjadi tanggungan Jokowi dan gengnya secara pribadi,” tegasnya.

Dr M Taufiq adalah advokat di MT&P Law Firm yang didirikannya. Gelar doktor ilmu hukum diperolehnya dari Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Lahir di Solo pada 24 September 1964, ia pernah mengikuti pendidikan corporate governance pada tahun 2008 di Jepang. Selanjutnya di Beijing dan Shanghai: mengikuti short course environmental law pada 2009.

Di lingkungan asosiasi ia menjabat ketua DPC Peradi Surakarta (Perhimpunan Advokat Indonesia) periode 2007-2011.

Saat menjadi dosen di Unissula, Taufiq didaulat menjadi ketua Pusat Studi dan Kajian Anti Korupsi. Juga sebagai ketua DPC Ikadin (Ikatan Advokat Indonesia) dari 2004 – 2022.

Taufiq memang “pemberontak” sejati. Ia akan melawan semua ketidakbenaran dan ketidakadilan yang terpapar di hadapannya. Tak peduli yang dilawannya seorang presiden yang sedang berkuasa.

Sebelum kasus mafia peradilan dibongkar di Pengadilan Negeri Surabaya, Taufiq sudah mengulitinya saat tampil di Kick Andy pada Februari 2010. Waktu itu, topiknya adalah “Peradilan Sesat”.

Taufiq menulis banyak buku: Terorisme dalam Demokrasi 2004; Tsunami Aceh Bencana Alam atau Rekayasa (2005);  Moralitas Penegak Hukum dan Advokat Profesi ”Sampah” (2007); Mahalnya Keadilan Hukum (2012); dan Keadilan Substansial Memangkas Rantai Birokrasi Hukum (2014).

Buku yang terakhir itu yang mendorong saya saat menggugat Gibran Rakabuming Raka di Pengadilan Negeri Surakarta tahun 2024. Saat itu, seperti halnya saat menggugat ijazah Jokowi sekarang ini, Taufiq memelesetkan Gibran dengan kepanjangan Giliran Berantakan.

Buku lain yang ditulis Taufiq:

Serial Terorisme Dalam Demokrasi 2; Densus dan Terorisme Negara Tahun (2016); Kejahatan Korporasi (2018); Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Bukan Undang-Undang Subversi (2020); Small Claim Court Beperkara di Pengadilan Tanpa Pengacara (2021).

Saya pun memberi tahu Ariono: zaman sudah berubah. Menulis artikel di media yang tidak berbayar juga tidak menerima bayaran.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia