Rongsokan, Katanya

Ilustrasi artikel Ahmadie Thaha tentang kasus PT JN dan PT ASDP. (Foto: AT/J5NEWSROOM.COM)

Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha

Jakarta, awal Oktober 2025. Ruang sidang Pengadilan Tipikor yang biasanya dingin karena AC dan penuh dengan tumpukan naskah dakwaan, tiba-tiba jadi panas. Bukan karena listrik padam, tapi karena akal sehat sedang diuji di depan hukum. Kasusnya adalah akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero).

Menurut jaksa KPK, negara dirugikan 1,25 triliun rupiah. Angka yang membuat jantung rakyat mendadak ikut diaudit. Tapi dari mana angka ini datang? Ternyata dari kalkulasi seorang akuntan ahli KPK yang menggunakan metode yang terdengar lebih cocok untuk menilai masa pensiun manusia: scrapped approach.

Secara harfiah, kata scrap dalam bahasa Inggris berarti rongsokan, barang bekas, atau sisa-sisa tak berguna. Dalam metode ini, perusahaan dinilai seolah sudah tidak bernyawa. Aset-asetnya tak dilihat sebagai potensi, tapi sebagai kiloan besi, beton, dan reruntuhan harapan. Seolah PT JN bukan operator penyeberangan, melainkan lapak loak di belakang pelabuhan.

Dalam logika jaksa, kapal feri bukan lagi alat transportasi, tapi tumpukan besi tua yang catnya mengelupas. Trayek bukan layanan publik, hanya garis di peta yang tak berarti. Dan orang-orang yang bekerja di dalamnya? Sekadar beban biaya yang bisa dihapus lewat rumus Excel.

Para terdakwa, mantan Dirut ASDP Ira Puspadewi, dua koleganya Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono, serta Adjie dari pihak PT JN, dituduh telah merugikan negara. Sebelumnya, KPK menghadirkan saksi ahli akuntansi yang menyodorkan angka fantastis itu, seolah negara jadi korban markup akal sehat.

Hingga datanglah sidang hari Jumat, tanggal 3 Oktober 2025. Suasana mendadak berubah. Hakim Ketua Sunoto membuka persidangan dengan satu pertanyaan yang sederhana tapi dalam: Apakah boleh perusahaan membeli perusahaan yang rugi?

Pertanyaan ini terdengar polos, tapi dalam dunia korporasi, sepelik pertanyaan apakah boleh menikahi orang yang sedang patah hati? Jawabannya tentu boleh, asalkan tahu cara menyembuhkan.

Di hadapan hakim, hadir saksi ahli ekonomi yang sudah kenyang pengalaman di dunia bisnis: Prof. Rhenald Kasali. Dengan nada tenang dan wibawa akademik, ia membalik narasi yang diajukan jaksa. “Dalam dunia bisnis,” katanya kepada hakim, “membeli perusahaan rugi itu sah. Bahkan, seringkali merupakan strategi cerdas.”

Dalam akuntansi modern, ada tiga cara menilai perusahaan: income approach yang melihat potensi laba, market approach yang membandingkan harga pasar, dan asset-based approach yang memperhitungkan goodwill serta aset tidak berwujud.

Sementara scrapped approach hanya digunakan bila perusahaan sudah bangkrut, dilikuidasi, atau kapalnya karam dan tinggal dijual kiloan. Tapi PT JN tidak karam. Ia masih berlayar, walau mesinnya perlu diperbaiki.

Contohnya banyak. Sandiaga Uno pernah membeli PT Saratoga Investama Sedaya dan berinvestasi di perusahaan-perusahaan yang sebelumnya diragukan. Dari Adaro Energy hingga Tower Bersama. Banyak yang rugi, ada yang hampir mati suri. Tapi beberapa tahun kemudian, semuanya berubah menjadi tambang cuan. Karena yang dibeli bukan sekadar aset, melainkan potensi, jaringan, dan waktu yang tepat.

Lihat juga Elon Musk yang membeli Tesla saat hampir bangkrut pada 2008, lalu mengakuisisi Twitter (sekarang X) yang dianggap sekarat. Banyak yang menertawakannya. Tapi Musk paham, dalam bisnis, nilai sejati tidak selalu tampak di permukaan. Kadang ada ekosistem yang tumbuh di bawah tanah.

Astra International juga membeli Permata Bank saat nilainya jatuh. Kini, nilainya melonjak. GarudaFood membeli pabrik kecil yang hampir tutup di Jawa Timur. Di tangan manajemen baru, pabrik-pabrik itu berubah jadi mesin pertumbuhan.

Telkom pernah dicibir karena membeli Gojek lewat Telkomsel. Namun bertahun kemudian, investasi itu membuka jalan ke era ekosistem digital dan superapp, menjawab kebutuhan zaman setelah telepon kabel ditinggalkan.

Semua contoh itu menyuarakan satu hal: bisnis bukan soal menghitung puing, tapi membaca arah angin masa depan.

Jadi, logika yang menyebut negara rugi karena membeli perusahaan merugi, sama seperti menyalahkan petani karena sawahnya belum panen, atau menuduh dokter korup karena pasien belum sembuh di hari pertama terapi.

Inilah letak masalahnya. Scrapped approach dijadikan senjata dalam toga. Padahal, metode itu hanya relevan untuk menghitung nilai perusahaan yang sudah mati. Bukan untuk entitas yang masih bernapas, punya pelanggan, merek, trayek, dan harapan.

Dalam akuntansi, pendekatan yang wajar untuk menilai perusahaan aktif adalah income approach, market approach, atau asset-based approach yang mencakup goodwill dan reputasi. Kalau semua itu diabaikan dan nilainya ditimbang seperti kapal tua yang dijual kiloan, ya hasilnya pasti: kerugian negara.

Logika semacam ini bisa membuat setiap akuisisi BUMN dianggap dosa.

Padahal data pasca akuisisi justru menunjukkan hasil positif. Pangsa pasar ASDP naik dari 17 menjadi 33,5 persen. Laba naik dari 326 miliar rupiah menjadi 447 miliar. Pendapatan dari jalur komersial meningkat dari 67 ke 80 persen.

Artinya, perusahaan yang katanya rugi, justru menularkan keuntungan. Tapi bagi sebagian akuntan, angka sehat tetap bisa dinyatakan sakit, asalkan stetoskopnya berasal dari zaman kolonial.

Metode ini punya sejarah tua. Berasal dari konsep scrap value, yang digunakan menghitung sisa nilai mesin pabrik di masa revolusi industri. Saat mesin uap berhenti, nilainya dilihat dari besi tuanya. Tapi bayangkan logika abad ke-19 itu digunakan untuk menilai perusahaan digital abad ke-21. Itu seperti menilai harga startup dengan timbangan beras.

Tak heran kalau persidangan ini terasa seperti drama yang absurd. Di satu sisi, angka statistik dijadikan senjata moral. Di sisi lain, logika bisnis dipaksa tunduk pada kalkulator hukum.

Publik pun terbelah. Ada yang mencium aroma korupsi, ada yang melihat ini sebagai kriminalisasi kebijakan. Seolah inovasi dan risiko bisnis adalah tindak pidana, hanya karena ada pihak yang tak memahami teori valuasi.

Mungkin beginilah wajah hukum ekonomi kita saat ini. Di satu ruang ada kalkulator. Di ruang lain ada kenyataan. Sayangnya, keduanya jarang bertegur sapa.

Padahal dalam dunia bisnis, kerugian kadang hanyalah fase. Seperti petani menanam benih. Ia tidak langsung panen esok harinya. Tapi bayangkan bila aparat datang sambil menuduh, “Negara rugi! Tanah sudah dibajak tapi belum panen!” Mungkin setiap petani sudah masuk penjara.

Hukum yang kehilangan konteks ekonomi bisa terlihat canggih di atas kertas, tapi absurd di lapangan.

Pelajaran dari sidang ini sebetulnya sederhana. Jangan menilai perusahaan hidup dengan neraca kematian. Jangan gunakan teori rongsokan untuk menilai kebijakan yang strategis. Jika logika scrapped approach ini terus dipakai, bisa-bisa semua BUMN dianggap barang bekas dari pasar loak Tanah Abang.

Dan bila itu terjadi, tinggal kita bertanya: siapa sebenarnya yang merugikan negara? Yang membeli harapan, atau yang membunuhnya lewat kalkulasi?

Prof. Rhenald dalam sidang itu seperti berbicara bukan hanya kepada hakim, tapi kepada bangsa ini. Bahwa tidak semua rugi adalah dosa, dan tidak semua untung adalah kebaikan. Kadang, kerugian negara hanyalah hasil dari kegagalan kita membaca masa depan.

Jika hukum terus menilai bisnis dengan rumus besi tua, jangan heran bila inovasi mandek. Sebab siapa yang berani ambil risiko, kalau setiap langkah bisa jadi alasan masuk bui?

Kita bisa kehilangan generasi direksi yang berani berpikir jauh ke depan. Mereka digantikan oleh pejabat yang hanya bisa mengamankan tanda tangan.

Akhirnya, pelajaran terpenting bukan soal angka, melainkan cara kita menimbang nilai.

Bangsa yang menilai kapal hidup dengan timbangan besi tua, hanya akan berlayar di lautan logika yang berkarat.

Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 7 Oktober 2025

Penulis adalah Pendiri Republika Online, 1995