
Oleh Dahlan Iskan
NERACA merah NU di tahun 2025 ditutup dengan tinta biru. Sebenarnya neraca itu sudah membiru di hari Natal tanggal 25 Desember. Neraca itu baru kelihatan benar-benar biru pada 28 Desember.
Tiga hari sebelum tutup tahun itu, ada pertemuan khusus di rumah rais aam Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Di Surabaya Timur. Dua tokoh utama yang berseberangan hadir: KH Miftachul Akhyar dan KH Yahya Cholil Staquf –rais aam syuriyah dan ketua umum tanfidziyah.
Bahkan, Saifullah Yusuf duduk di sebelah Gus Yahya. Gus Ipul dan Gus Yahya-lah yang dikabarkan berseberangan –sekjen dan ketua umum. Sempat beredar pula rais aam berseberangan dengan Gus Yahya karena memihak Gus Ipul.
Anda sudah tahu: Gus Yahya memberhentikan Gus Ipul. Sekjen itu dianggap melalaikan banyak tugas –utamanya menandatangani pengesahan pengurus cabang NU. Sampai berkasnya menumpuk. Itu konon bukan karena Gus Ipul sibuk merangkap jabatan sebagai menteri sosial kabinet Prabowo, melainkan merasa kurang sependapat dengan komposisinya: akan memilih Gus Yahya semua di muktamar NU tahun depan.
Sebelumnya Gus Yahya diberhentikan oleh rais aam November bulan lalu.
Resmilah terbentuk dua kubu di PBNU. Keduanya sama-sama berkantor di gedung PBNU di Jalan Kramat Raya, Jakarta. Gedung itu berlantai sembilan –cukup untuk berkantor dua pengurus besar, bahkan seandainya tiga sekalipun.
Lalu heboh. Di elite dan di medsos. Tapi, perpecahan itu tidak sampai ke akar rumput –bahkan tidak sampai batang bawahnya.
Arus bawah NU justru berubah menjadi kelompok penekan yang dahsyat. Mereka tidak peduli apa yang menyebabkan pecah. Juga, tidak peduli siapa yang salah dan benar. Pokoknya pecah itu jelek. Mereka harus utuh. Islah. Berdamai.
Mereka juga tidak peduli cara berdamainya: yang penting islah. Sebagian dari mereka berkumpul di rumah Gus Dur di Ciganjur, Jakarta, pada 20 Desember. Sebagian lagi kumpul di pondok ”bintang sembilan” Lirboyo menggelar Musyawarah Kubro pada 21 Desember.
Pondok Pesantren Lirboyo terletak di pinggiran barat Kota Kediri. Para peziarah Gua Bunda Maria pasti melewati Lirboyo.
Pertemuan yang di Lirboyo itu dahsyat. Kiai-kiai ”bintang sembilan” hadir –termasuk KH Ma’ruf Amin, mantan wapres, hadir via Zoom. Ketua-ketua wilayah hadir. Para ketua cabang hanya sedikit yang absen.
Hasilnya: harus islah. Dipaksa islah. Caranya: yang tidak mau islah harus meletakkan jabatan. Atau dicabut mandatnya. Batas waktu islah hanya tiga hari.
Ternyata keesokan harinya kembali heboh. Gus Yahya ke Pesantren Buntet, Cirebon. Di situ Gus Yahya merespons hasil Musyawarah Kubro di Lirboyo. Gus Yahya pun bercerita. Panjang. Detail. Njlentreh. Menurut versinya.
Begitu kuatnya penjelasan Gus Yahya sehingga yang menontonnya bisa langsung memihaknya. Sangat runtut dan logis. Menurut kesan saya: kubu rais aam ”habis” di situ.
Begitu jelasnya kronologi itu sehingga Gus Yahya heran mengapa masih ada pihak yang menyebut diri netral. ”Kan sudah sangat jelas siapa yang salah dan siapa yang benar.” Kira-kira begitu penjelasannya.
”Kalau pemecatan saya itu dianggap sah, sama dengan menganggap saya ini kafir harbi yang layak dibunuh,” ujar Gus Yahya.
Maka, katanya, islah yang akan dilakukan harus jelas dulu, siapa yang salah dan siapa yang benar. Setelah itu, baru islah.
Sejak menyimak video itu, saya menjadi pesimistis: islah ini islah bersyarat. Maka, saya ragu islah bisa berlangsung –seberapa kuat pun tekanan dari Lirboyo.
Apalagi, hari itu juga, video Gus Yahya itu disambut oleh kubu rais aam –juga lewat video. Kiai Miftachul Akhyar berpendapat bahwa pemecatan Gus Yahya adalah sah dan tidak melanggar aturan organisasi. Lalu, pertemuan Lirboyo dianggap sebagai ”pertemuan informal” yang tidak punya kekuatan organisatoris untuk dilaksanakan.
Itulah sebabnya, Kiai Miftach tidak menghadiri Musyawarah Kubro di Lirboyo. Sebenarnya ia sendiri ingin hadir. Tapi, ia diingatkan bahwa tidak ada kewajiban secara organisasi harus hadir.
Setelah menyimak dua video itu, saya pun mengontak berbagai sumber di internal NU. ”Saya bingung,” kata saya. ”Ini islah atau tidak, sih?”
Situasi kembali reda setelah digelar rapat konsultasi syuriyah, mustasyar, dan tanfidziyah di Lirboyo pada 25 Desember 2025. Kiai-kiai sepuh hadir. Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar dan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU KH Yahya Cholil Staquf juga hadir. Mereka saling bertabayun. Hasilnya, kedua pihak sepakat islah.
Media pun ramai menyambut keputusan Lirboyo itu. Perpecahan berakhir. Happy ending. NU kembali rukun. Segera pula dilaksanakan muktamar perdamaian di NU.
Jagat NU makin terang pada 28 Desember. Semua pihak yang bertikai berkumpul di rumah Rais Aam Miftachul Akhyar. Lengkap. Acaranya informal: silaturahmi. Tapi, yang dibahas tentang muktamar.
Bertengkar seru, dalam bahasa Jawa, disebut “gegeran”. Menurut Gus Dur si humoris, di NU itu “gegeran” sudah biasa. Jangan khawatir. “Gegeran” itu akan selalu diakhiri dengan “gergeran” –bersenda gurau yang penuh tawa.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia

