Oleh Dahlan Iskan
IA seorang arsitek. Masternya di bidang planologi perkotaan. Besok lusa, 29 Juli 2023, ia bergelar doktor. Judul disertasinya:
Dialektika Konsepsi Ruang
Arsitektur dan Feng Shui (??).
Kasus Studi: Gedung Perkantoran District 8 di SCBD, Jakarta.
Nama calon doktor itu: Sidhi Wiguna Teh. Umur 58 tahun. Anak: 4 orang, laki-laki semua.
Maka Sidhi menjadi arsitek pertama yang bergelar doktor fengsui. S-3 itu ia tempuh di fakultas teknik jurusan arsitektur Universitas Parahyangan, Bandung. Memang baru Unpar yang punya S-3 bidang fengsui.
Tapi setelah ini Universitas Tarumanegara pun akan membuka S-3 fengsui. Sidhi dari bahasa Sansekerta yang berarti putih atau terang mendapatkan gelar arsitek dari Universitas Tarumanegara. Pun S-2 nya.
Awalnya Sidhi skeptis terhadap fengsui. Sampai ketika ia harus mengerjakan tugas akhir untuk S-1. Saat itu ia menggambar perencanaan pembangunan kawasan Segitiga Senin, Jakarta. Yakni peremajaan kota di Jalan Senin Raya.
Setelah gambarnya jadi, dosennya melihat. “Mengapa letak jembatan penyeberangannya di situ,” ujar sang dosen seperti diingat Sidhi. Jembatan itu membuat ruko di depannya dalam posisi seperti tusuk sate. Secara fengsui merugikan pemilik ruko.
“Ternyata arsitek harus mempertimbangkan unsur fengsui,” katanya.
Kemarin saya makan siang dengan Ir Sidhi di rumah makan milik Inul Daratista, Yongdaeri, di SCBD Jakarta. Yakni setelah saya diminta mengajar soal “bagaimana menulis yang baik” di depan lebih 100 kolonel, jenderal bintang satu, dua dan tiga di Markas Besar TNI Angkatan Darat.
Saya termasuk yang skeptis dengan hongsui. Rumah pertama saya tusuk sate. Bukan saya tidak tahu, tapi itulah rumah yang terjangkau saat itu.
Dosen S-1 itu mulai membuat Sidhi berpikir: apa salahnya memasukkan fengsui dalam perencanaan.
Secara kebetulan, saat ke toko buku, terlihat buku mencolok tentang fengsui. Ia beli. Penulisnya orang kulit putih. Isi buku itu tulisan semua. Tidak ada gambarnya. Ia tidak tertarik membacanya.
Lalu Sidhi ketemu lagi buku fengsui yang dilengkapi gambar. Ia baca buku itu. Ia pelajari gambarnya. Lalu ia lihat rumah rukonya sendiri: salah semua. Maka ia bongkar bagian dalam kantornya yang di lantai 1 dan 2. Juga rumah tinggalnya yang di lantai 3 dan 4. Ia ubah posisi ruang kerjanya. Ia ubah posisi meja kerjanya. Ia ubah letak tempat tidurnya. Ia ubah arah tempat tidur itu. Di Batam.
Itu tahun 1997.
Krismon sudah mulai terjangkit. Ekonomi sudah mulai lesu.
Tahun 1998, di puncak krismon, ia mendapat pekerjaan besar. Dari Batamindo, kawasan industri terbesar di Batam. Dapat lagi dari McDermott, di Batu Ampar, juga di Batam. McDermott adalah industri besar pembuatan rig pengeboran minyak lepas pantai.
“Usaha teman-teman saya sulit semua. Krisis moneter memuncak. Saya dapat dua pekerjaan besar”, ujar Sidhi.
Perusahaan-perusahaan itu, rupanya membaca arah politik yang sedang berubah. Keduanya membangun proyek di Batam hanya berdasar surat persetujuan dari BJ Habibie sebagai ketua Otorita Batam. Kalau pemerintahan berubah, yang seperti itu tidak cukup lagi. Bisa rawan. Maka Sidhi diminta mengurus seluruh perizinan yang selengkap-lengkapnya. Termasuk izin bangunan. Ia harus banyak menggambar.
Sejak itu Sidhi ingin serius mendalami fengsui. Lalu ia cari-cari di mana bisa sekolah fengsui. Ketemulah nama Yap Cheng Hai. Di Kuala Lumpur. Gelarnya: Grand Master Fengsui. Taripnya: 2.500 dolar Amerika untuk satu kursus lima hari.
Sidhi merasa itu terlalu mahal. Ia pun kirim email. Ia mempertanyakan mengapa begitu mahal. Dijawab: berlian itu, kalau ada yang murah itu berlian palsu. Biar pun berlian asli kalau membelinya di kaki lima pinggir jalan memakainya pun dengan hati was-was: apakah benar itu asli.
Sidhi pun mencari berlian asli yang dijual di butik. Ia mendaftar. Tempat kursusnya ternyata di sebuah kapal pesiar. Berarti Sidhi harus membayar pula tiket untuk kapal pesiar itu. Selama lima hari pelayaran. Dari Singapura ke Phuket, balik lagi.
Kelas fengsui di kapal itu ternyata diikuti 32 orang. Mayoritas orang kulit putih. Dari Jerman, Belanda, Inggris, Amerika, Kanada, sampai Finlandia. Yang Asia hanya 10 orang.
Tiap pagi pelajaran pertamanya dilaksanakan di geladak kapal. Mata pelajaran pertama: taichi. Grand Master Yap mengajari mereka taichi. Ini bukan soal olah raga dan pernapasan saja, tapi agar “siswa” bisa menghayati apa itu “chi”, semacam tenaga dalam.
Setelah satu jam taichi siswa kembali ke kamar masing-masing. Mandi, makan dan siap-siap mengikuti mata pelajaran berikutnya. Mereka bisa konsentrasi hanya ke pelajaran. Toh tidak bisa ke mana-mana.
Pelajaran fengsui itu diberikan sampai pukul 17.00. Malamnya istirahat. Tapi kenyataannya setelah makan malam pun mereka mendalami pelajaran sampai larut malam. “Pernah sampai pukul 2 pagi,” ujar Sidhi.
Sidhi sering berbincang dengan siswa dari negara lain. Teman satu kamarnya sendiri, di kapal pesiar itu, orang dari Turki. Menurut Sidhi, banyak temannya yang sudah kursus fengsui berkali-kali. Beda guru. “Ada yang sudah 7 dan 8 kali,” ujar Sidhi.
“Anda sudah berapa kali,” tanya mereka pada Sidhi.
“Baru satu kali ini,” jawab Sidhi.
“Anda beruntung, satu kali langsung dapat guru yang tepat,” komentar mereka.
Maka Sidhi ingin ikut lagi kursus di Grand Master Yap berikutnya. Yakni setelah ia benar-benar menguasai pelajaran tahap 1 di kapal itu. Total Sidhi sudah lima kali ikut kursus di Grand Master Yap. Lokasi kursusnya berpindah-pindah. Ada yang di Afrika Selatan atau Australia. Soal tempat Sidhi ikut saja. Karena itu, untuk kursus fengsui ini, Sidhi sudah menghabiskan 50.000 dolar Amerika. Termasuk ongkos tiket.
Mengapa Sidhi perlu mengambil gelar doktor?
“Fengsui itu adalah rumus-rumus. Juga harus menggunakan logam kompas fengsui,” ujarnya. “Fengsui tanpa logam fengsui adalah klenik,” tambahnya.
Ia ingin melihat fengsui secara ilmiah. Saya sendiri akan ke Unpar tanggal 29 Juli depan. Saya ingin tahu menjadi seberapa ilmiah fengsui di tangan Sidhi.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia