Oleh Dahlan Iskan
ADA waktu dua jam. Senam dansa di halaman kelenteng Pek Kong selesai pukul 07.00. Jadwal ferry ke Singapura pukul 10.00.
“Kita ke Pulau Rempang,” kata saya ke Marganas, mantan direktur saya di Batam Pos.
“Tidak sarapan dulu?” katanya.
Awalnya dua jam itu memang disediakan untuk mandi dan sarapan pagi. Saya pilih ke Rempang. Sudah lebih 20 tahun tidak ke pulau itu. Belakangan ini Rempang jadi buah bibir: akan jadi lokasi pabrik kaca salah satu yang terbesar di dunia. Akhir bulan ini, 29 Agustus, Presiden Jokowi dijadwalkan ke Rempang: peletakan batu pertamanya.
Maka saya ganti baju di Pek Kong. Di toiletnya. Lalu meluncur di jalan raya. Saya membawa kaus untuk mengganti yang basah kuyup. Saya kembali melewati jalan utama Batam yang lagi dilebarkan (baca Disway kemarin). Saya menelepon Wali Kota Batam Muhammad Rudi.
“Masa jabatan Bapak kan hampir habis, siapa yang akan menyelesaikan proyek jalan lima lajur ini?”
“Belum tahu. Mudah-mudahan istri saya yang meneruskan nanti,” jawab Rudi. Ia mengatakan, istrinya akan maju jadi calon wali kota. Sang istri kini menjabat wakil gubernur Riau Kepulauan. Tapi orang Batam umumnya tahu: hubungan gubernur dan wakil gubernur kurang baik. Sejak awal. Sejak pengangkatan sekretaris daerah.
Menurut penelusuran Marganas, sang wakil tidak puas karena sekda bukan orangnya. Padahal janjinya dulu harus dari dia. Rupanya ada janji di balik janji: soal sekda diambil alih gubernur karena perolehan suara di Batam tidak mencapai target. Padahal Ny Rudi diandalkan sebagai lumbung suara di Batam.
Rudi adalah satu-satunya wali kota yang latar belakangnya polisi pangkat rendah. Lalu berhenti. Jadi pengusaha. Jadi anggota DPRD Batam. Jadi wakil wali kota. Dan sekarang wali kota. Usianya baru 59 tahun, kekayaannya Rp 51 miliar. Lahir dan sampai SMA di Tanjung Pinang. Ia meraih sarjana ekonomi dan magisternya di STIE Tribuana dan Ganesha di Jakarta.
Siapa pun yang jadi wali kota Batam nanti pelebaran jalan ini harus diteruskan. Sudah separo jalan.
Melewati jembatan layang baru di jalan lima lajur itu kami belok kanan. Ke arah Batamindo. Jalan ini juga akan dijadikan lima lajur. Kanan kiri jalan memang dikosongkan sejak dulu. Belum dijarah orang. Prof Habibie sudah menyiapkan lahan untuk perluasan jalan.
Akhirnya kami sampai di ujung Pulau Batam. Jembatan indah Balerang kelihatan masih seindah dulu. Marganas bercerita: di atas Danau Toba kini juga ada jembatan indah seperti itu. Ia bangga. Ia lahir di Pulau Samosir. Tidak perlu lagi naik perahu ke pulau di tengah Toba.
Dalam sekejap tiga jembatan lagi kami lewati. Jembatan biasa. Setelah jembatan keempat barulah kami menginjak Pulau Rempang. Pulau terbesar kedua di Batam. Setelah Rempang masih ada satu jembatan lagi: ke Pulau Galang. Inilah pulau yang dulu dipakai penampungan pengungsi dari Vietnam. Yakni ketika pemerintah yang didukung Amerika Serikat kalah perang lawan Vietnam Utara yang komunis.
Kini pengungsinya sudah menyebar ke berbagai negara. Saya pernah makan Pho di Reno, Nevada utara. Pemilik restoran itu pernah tinggal di Pulau Galang.
Belakangan Pulau Galang dipakai untuk rumah sakit darurat Covid-19. Mudah-mudahan pemerintah sudah berhasil membayar honorarium seluruh tenaga medisnya.
Ke pulau Galang inilah, menurut rencana, penduduk Pulau Rempang dipindahkan. Pulau Rempang harus dikosongkan. Untuk pabrik kaca lengkap, dengan investasi sampai Rp 380 triliun. Investornya Anda sudah tahu: Xun Yi. Dari Guangzhou, Tiongkok.
Sampai Rempang saya justru tidak tahu akan melihat apa. Tidak ada apa-apa. Belum ada apa-apa. Kecuali kampung lama di pinggir-pinggir pantainya. Ada 16 kampung tua di sepanjang pantainya. Ada yang sudah ratusan tahun. Kampung kecil-kecil. Hanya ada 1 kelurahan di pulau seluas sekitar 17.000 hektare itu.
Semua itu harus dikosongkan demi investasi Rp 380 triliun.
Tentu akan ada jalan keluar yang terbaik. Saya dengar mereka tidak menolak proyek besar itu tapi apakah harus digusur. Bukankah mereka hanya secuil dari hamparan lahan satu pulau yang begitu besar.
Penduduk asli itu belum tentu mau dipindahkan ke Pulau Galang. Ke dekat bekas penampungan pengungsi Vietnam.
Tapi jangan sampai juga proyek ini batal. Masalahnya peletakan batu pertamanya tinggal kurang dari satu bulan lagi. Apakah mereka sudah harus pergi sebelum itu?
Presiden Jokowi punya kiat ‘ganti untung’. Misalnya untuk jalan tol. Tentu ada kian serupa untuk Rempang.
Jangan sampai ada tekanan kepada mereka. Demokrasi memang tidak mungkin memprosesnya dalam waktu yang begitu pendek.
Maka jalan pintas kelihatannya akan juga dilakukan di Rempang.
Saya belum juga punya ide akan ke mana. Mobil terus melaju ke arah Pulau Galang. Lalu ada tanda panah di pinggir jalan: Pantai Melayu 1.
“Ke situ saja,” ujar Marganas.
Di situlah lokasi salah satu kampumg tua di Rempang. Pantai Melayu 1 adalah tempat rekreasi lokal di Batam. Dikelola oleh kampung itu sendiri. Pantainya berpasir putih, berpohon-pohon kelapa, bertenda-tenda, dan tidak jauh dari jalan raya. Tidak sampai 500 meter. Lagi sepi. Hari kerja. Kalau akhir pekan ramai sekali.
Terlihat ada proyek masjid di situ. Pilar-pilarnya sudah jadi. Kelihatannya untuk menggantikan masjid kecil di dekatnya. Bangunan masjid itu dihentikan. Toh semua saja harus pindah ke Pulau Galang.
Saya tidak sampai 5 menit di Pantai Melayu 1. Waktu sudah mepet. Jangan sampai ketinggalan ferry ke Singapura. Mohamad Salah sudah kangen saya: siapa tahu. Maka saya harus ke stadion Singapura untuk Liverpool vs Bayer Munchen petang harinya.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia