Oleh Dahlan Iskan
BANYAK yang senang kalau negara India jadi ganti nama: menjadi Bharat.
Pun Indonesia.
Kita selalu rebutan dengan India untuk kode negara tiga huruf: IND.
Harusnya itu Indonesia. Tapi itu selalu berarti India.
Indonesia tergusur menjadi INA. Misalnya di urutan perolehan medali dalam pesta olahraga. Atau asal negara mana atlet tersebut.
Suku Indian, di Amerika, juga tidak harus lagi disebut ‘American Indian’. Cukup suku Indian. Tidak akan disalahpahamkan dengan Bharat.
Usaha ganti nama itu kian nyata di India. Tidak lagi hanya wacana. Terutama sejak partai kanan selalu memenangkan pemilu di sana: Partai Bharatiya Janata. Partai Rakyat Bharat.
Partai ini sangat kanan. Sangat Hindu. Termasuk gigih memperjuangkan konstitusi baru. Agar dasar negara India diubah menjadi berdasar agama Hindu.
Partai Bharatiya Janata juga jadi pelopor perubahan nama negara. India dianggap lambang ‘perbudakan’. Rendahan. Terjajah. Nama India mereka anggap mencerminkan kekuasaan penjajah: Inggris.
Partai Bharatiya Janata ingin mental negara terjajah segera lenyap.
Maka nama Bharat secara resmi mulai diperkenalkan ke dunia. Mumpung ada momentum besar di sana: tuan rumah KTT G20. Banyak forum pendahuluan diadakan di India. Termasuk rapat-rapat grup. Juga rapat para menteri dari negara-negara G20.
Dalam sebuah undangan resmi rapat grup G20, nama Bharat sudah digunakan sebagai pengganti India. Hanya saja masih ada terjemahan di bawahnya: bahwa yang dimaksud Bharat adalah India.
Undangan di KTT G20 yang sudah menyebutkan India sebagai Bharat.
Rasanya tidak lama lagi nama Bharat akan menjadi resmi. Awalnya kita tentu akan tergagap menyebutnya, lama-lama akan biasa.
Perubahan Burma menjadi Myanmar lebih sulit. Kata ‘Bharat’ sudah tidak asing di lidah kita. Kita biasa mengucapkan kata barata, barata yudha, wayang orang Bharata.
Orang kita juga ada yang mengusulkan agar nama Indonesia diganti. Dianggap kurang hoki: menurut hongsui.
Nama orang itu, Anda sudah tahu: Chandra Adiwana. Orang Aceh kelahiran Medan. Umurnya 10 tahun lebih muda dari saya. Ia sudah mempelajari ribuan nama. Baik bunyi, huruf dan panjang-pendeknya. Juga dikaitkan dengan budaya dan agama.
Sudah banyak orang ganti nama setelah konsultasi ke Adiwana. Pun teman saya yang pernah kehilangan bank. Namanya masih mirip dengan yang lama tapi ada tambahan huruf.
Adiwana serius soal perubahan nama Indonesia.
“Agar tidak sakit-sakitan terus,” katanya suatu saat.
Begitu seriusnya sampai Adiwana menerbitkan buku. Judulnya: Selamat Tinggal Indonesia.
Adiwana dan bukunya Selamat Tinggal Indonesia.
Nama baru yang ia usulkan adalah Indonesiaraya. Digandeng. Sebagai perlambang penyatuan rakyat Indonesia. Atau diganti dengan nama yang lain Nusantara.
Letak huruf ‘n’ persis di tengah nama Indonesia, menurut Adiwana tidak membawa keberuntungan. Sama dengan huruf ‘n’ di nama Argentina. Rupanya Messi tidak dianggap sebagai bagian keberuntungan.
Bukankah huruf ‘n’ di Nusantara juga di tengah persis?
Betul. Tapi ada huruf ‘N’ besar di depannya.
Saya menghubungi Adiwana tadi malam. Tidak tersambung. Ia dalam perjalanan darat menuju Bali. Liburan.
Tidakkah ‘Indonesiaraya’ terlalu panjang? Adiwana pernah menyebut Brunei Darussalam juga panjang. Padahal nama lamanya pendek saja: Brunei.
Tentu tidak ada Adiwana di India. Atau justru lebih banyak. Yang jelas nama baru Bharat akan mendapat dukungan besar. Oposisi kian kecil di Bharat. Selamat datang Bharat. Indonesia pun tidak akan lagi disebut India Timur. Mungkin jadi Bharat Timur.
Penulis adalah wartawan senior Indonesia