TIDAK sebagaimana diprediksi sebelumnya, pembahasan pentingnya Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Kode Perilaku Wartawan (KPW) serta peran dan kedudukan Dewan Kehormatan (DK) dalam Kongres PWI XXV, 25 – 27 September 2023 di Bandung, Jawa Barat, ternyata jauh dari kegaduhan. Tidak ada perdebatan yang berarti, bahkan boleh dibilang tanpa perselisihan sama sekali. Hampir tidak ada pembahasan signifikan.
Demikian pula pada pandangan umum maupun sidang komisi, soal ini pun tak mendapat perhatian khusus. Padahal sebelum dan menjelang kongres perkaranya cukup membara. Ada beberapa hal yang menyebabkan perdebatan ikhwal seberapa penting KEJ dan KPW serta peranan dan kedudukan DK.
Lima Perkara
Pertama, apakah Peraturan Dasar (PD) – Peraturan Rumah Tangga (PRT), KEJ dan KPW sempat disahkan dalam Kongres XXIV di Solo atau tidak? Dampak dari jawaban ini sangat luas.
Kedua, benarkah PWI telah dan masih membutuhkan KPW? Ini terkait perdebatan, buat apa adanya KPW jika lebih banyak “mudaratnya ” ketimbang “manfaatnya?”
Ketiga, apakah DK berhak menjatuhkan sanksi kepada pengurus PWI? Ini menyangkut pemahaman pengertian ikhwal subjek yang dapat dijatuhkan sanksi DK.
Keempat, apakah perlu DK juga ikut dipilih oleh kongres? Apakah bukan sebaiknya ketua DK dipilih atau ditunjuk oleh ketua umum terpilih saja? Alasannya kongres hanya bertujuan memilih ketua umum tok.
Kelima, pertanyaan-pertanyaan ini muncul terkait sampai seberapa jauh kewenangan ketua DK, dan karenanya harus dicegah jangan ada matahari kembar di pengurusan PWI.
Kendati ada sindiran-sindiran soal ini, tak ada juga yang mempersoalkan secara terbuka pertentangan tersebut. Ada trend, arus peserta kongres, disadari atau tidak, cenderung mempertahankan mekanisme kukuhnya demokrasi di PWI dan lantaran itu tidak mengganggu gugat aspek ini.
Tak banyak orang, termasuk anggota PWI sendiri, yang faham tiga naskah konstitusi PWI, masing-masing PD-PRT, KEJ dan KPW yang memiliki landasan filosofi. Bukan sekadar asal buat, apalagi untuk gagah-gagahan.
Filosofi yang menjadi landasannya mengatur pembagian kewenangan pengurus dalam wujud PD-PRT, KEJ dan KPW.
Dalam ketatanegaraan ada teori pembagian kekuasaan, masing-masing eksekustif, yudikatif dan legislatif. Tujuan pembagian kekuasaan ini, agar tidak terdapat pemusatan kekuasaan mutlak di satu tangan. Maka kekuasaan harus dibagi-dibagi, sembari mempertahankan efektifitas masing-masing kekuasaan.
Darisanalah tercipta keseimbangan demokrasi.
Operasional pemerintahan sehari-hari dipegang oleh eksekutif (pemerintah). Sedang pembuatan perundangan dan pengawasanya ada di tangan legislatif (DPR). Lalu kalau ada sengketa, atau kemungkinan pelanggaran hukum terhadap perundangan akan ditangani oleh yudikatif (pengadilan). Inilah yang kita kenal sebagai teori trias politica.
Dalam praktek trias politica dilaksanakan dengan berbagai varian. Namun intinya agar demokrasi tetap hidup dan tidak ada yang memiliki kekuasaan absolut. Bukankah kekuasaan cenderung korup, dan semakin absolut kekuasaan semakin korup pula. Oleh sebab itu, filosofinya kekuasaan perlu didistribusikan.
Pada tataran PWI, budaya sistem demokrasi itu pulalah yang dipertahankan dan dijaga. Tentu, dengan varian yang khas PWI.
Filosofi pembagian “kekuasaan” diadopsi juga di sistem penyelenggaraan organisasi di PWI. Cuma karena dilaksanakan di organisasi, terminologi “kekuasaan” diubah dengan terminologi “kewenangan.”
Ada tiga pilar dokumen konstitusional di PWI yang masing masing berdiri sendiri tetapi merupakan satu kesatuan tak terpisahkan. Dengan begitu ketiga dokumen tidak dapat ditafsirkan sendiri-sendiri tanpa memperhatikan nilai-nilai yang ada pada dokumen lain. Ketiga dokumen itu, seperti sudah disebut adalah: PD-PRT, KEJ dan KPW.
PD-PRT terutama mengatur soal keorganisasian. KEJ terutama terkait dengan mekanisme kerja jurnalistk. Ada pun KPW berhubungan dengan perilaku wartawan. Nah, kendati berbeda-beda, sebenarnya ketiga perangkat peraturan tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Sesuai PD-PRT, untuk pelaksanaan organisasi sehari-hari, sepenuhnya ada pada pengurus harian PWI. Dalam hal ini pengurus PWI dengan segala kelengkapannya memiliki kewenangan menjalankan roda organisasi. Kebijakan dan diskresi pengurus tidak dapat diganggu gugat.
Kendati begitu, diskresi pengurus harian harus tetap tegak lurus dengan PD-PRT dan KEJ. Tidak bertentangan dengan KPW. Pelanggaran atas aturan itu dikontrol oleh cabang lainnya, terutama oleh DK.
Di sinilah untuk menjaga demokrasi organisasi, ada DK sebagai cabang yudikatif. DK yang memiliki kewenangan memeriksa, mengadili dan memutuskan, apakah ada pelanggaran etika baik dalam karya jurnalistik, pelanggaran perilaku maupun pelanggaran organisatoris.
DK lah pemegang “kewenangan” yudikatif. Oleh sebab itu, lembaga ini bersifat independen. Otonom. Bukan otonom dalam pengertian terpisah dari sistem organisasi PWI, tetapi otonom dalam pemaknaan kewenangan memeriksa, menilai serta memutuskan kasus-kasus yang ada. DK mengawasi dan mengontrol pengurus dan semua anggota.
Sepanjang DK melaksanakan segala sesuatu ketentuan yang ada, tidak boleh ada intervensi kepada DK.
Di sinilah harus diletakan pandangan yang proporsional antara “kewenangan” pengurus harian dan kewenangan DK. Dalam filosofi pembagian kewenangan, keduanya harus terpisah dan tidak boleh berhimpitan. Pengurus harian bertugas mengurus menjaga kelancaran roda organisasi. Sedangkan DK menjaga harkat dan martabat organisasi dari segala penyimpangan dan tindak tanduk yang merusak reputasi organisasi.*
Penulis adalah wartawan senior, pakar hukum dan etika pers.