Jag-EV

Mobil Jaguar milik Dahlan Iskan yang kini sudah diubah menjadi kendaraan listrik oleh SMK 2 PSM Takeran. (Foto: Disway)

Oleh Dahlan Iskan

SAYA bertemu kembali teman lama. Selasa kemarin. Masih cantik. Mulus. Kulitnya hijau pupus. Dia sudah lama menanti saya di madrasah PSM Takeran. Sekitar 16 km di timur Magetan.

Namanyi sudah ganti: Jag-EV.

Di Takeran itu dia baru saja melakukan “transplantasi hati”. Jerohannya diganti. Dari mesin bensin menjadi baterai. Jadilah Jag-EV mobil listrik konversi.

Yang melakukan konversi bisa Anda baca di stiker yang menempel di kanan-kiri: Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 2 Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM), Takeran.

Sudah dua tahun tim SMK 2 PSM ikut pelatihan konversi bersertifikat. Di Perindustrian. Di Dikbud. Di PLN.

Sudah pula mempraktikkannya: dua sepeda motor diubah jadi motor listrik. Salah satunya diberi merek Take-Run.

Karya SMK itu dipamerkan kemarin. Di HUT ke-80 PSM.

Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa hadir. Menyaksikan. Menggunting pita. Meraba-raba logo Jaguar mengilap yang seperti sedang meloncat itu.

SMK PSM bukan satu-satunya yang bisa. Bukan pula yang pertama. Banyak SMK lain yang juga mampu. Pun bengkel swasta. Semua masih gamang: mau ke mana.

Gubernur Khofifah sudah beberapa kali ke Takeran. Sejak masih sebagai ketua umum PP Muslimat NU (saja), sampai sudah merangkap menjadi menteri dan kini merangkap gubernur. Sejak masih “hanya” ustadzah sampai sudah menjadi birokrat teknokrat sekarang.

Khofifah adalah sedikit contoh bagi orang pesantren. Sosok yang bisa berkembang sampai memiliki kemampuan teknokrasi. Maka dia pun jadi rebutan calon presiden untuk jadi pasangan wakil presiden mereka.

Banyak lagi SMK di lingkungan PSM yang ikut pameran. PSM memang memiliki sekitar 120 madrasah. Umumnya di wilayah Magetan, Madiun, Ngawi, Nganjuk, Kediri, Tulungagung, dan sekitarnya.

Ada juga yang di Randublatung (Blora) dan Pangandaran, Jabar.

Banyak di antara madrasah itu berupa SMK.

Saya keliling pameran mendahului gubernur. Takut ada yang kurang menarik.

SMK PSM di Desa Tanjung Anom, Nganjuk, memamerkan baju digital. Yakni baju yang dibuat secara digital, dipasarkan secara digital dan pemakainya pun manusia digital: misalnya tokoh super hero atau sosok karakter digital.

SMK itu memang punya jurusan busana. Siswa kelas 2 nya hanya 6 orang. Saya kaget. Begitu sedikit. Ternyata ada persoalan mendasar di jurusan ini. Di mana-mana. Di semua SMK. Kurikulumnya harus dirombak.

Maka enam siswa itu kini dibanting ke arah digital. Kebetulan dapat partner industri. Di Nganjuk ada anak muda yang bisnis baju digital. Pasarnya sudah menembus banyak negara, termasuk di Eropa dan Amerika.

Namanyi: Aulia Praba. Umur baru 23 tahun. Dia juga alumni SMK di Nganjuk. Ayahnyi jualan baju di pasar.

Aulia sangat energetik. Lincah. Geraknyi serba cekatan. Bicaranya cepat. Wajahnyi bulat mungil. Matanyi jelalatan. Semangatnyi 500 kVa.

Saya berterima kasih kepada Aulia. Anak penjual baju di pasar jualan baju digital. Saya juga puji guru busana di SMK itu: Bu Siti Syamsiatin. Dia cekatan menangkap peluang baru.

“Mengapa mau membina siswa SMK?” tanya saya kepada Aulia.

“Lebih mudah mengajar digital ke anak-anak busana daripada mengajar busana kepada anak-anak digital,” ujar Aulia.

Maka Aulia minta semua enam siswa itu magang di kantornyi. Tidak perlu ada syarat. Tidak harus bisa coding atau menggunakan software.

“Yang penting bisa menghidupkan dan mematikan laptop,” katanyi lantas tertawa.

Dia serius dalam tawanyi.

Prinsip Aulia: lebih baik mengajari anak yang belum bisa tapi punya kemauan, daripada mengajar anak yang sudah bisa tapi kurang punya kemauan.

Ini kata-kata mantra berikutnya dari gadis 23 tahun kita: “Anak yang sudah bisa tapi tidak punya kemauan, bisanya hanya akan itu-itu saja.”

“Sebaliknya, Anak yang belum bisa apa-apa, tapi punya kemauan ia/dia akan bisa banyak hal.”

Maka sejak dibina Aulia SMK PSM Tanjung Anom jadi punya keunggulan.

“Punya keunggulan” itulah tema rapat kerja pendidikan di PSM yang dibuka Gubernur Khofifah.

Keunggulan SMK PSM Takeran jelas: di konversi motor dan mobil.

Juga punya mentor di bidang itu. Dua orang: Jonathan dan Aling. Dua-duanya Tionghoa. Punya bengkel mobil di Surabaya. Selalu jadi tempat magang SMK PSM.

Jo alumni teknik mesin Purdue University Amerika.

Aling pembalap drag race.

Maka semua madrasah di lingkungan PSM harus punya keunggulan. Bebas memilih. Satu bulan ke depan sudah harus lapor: mau pilih unggul di bidang apa.

Sampai kemarin umumnya mereka belum tahu harus unggul di bidang apa. Rupanya tidak mudah memilih jenis unggulan secara dadakan.

Saya pun mengalah. Tidak harus sekarang. Rundingan dulu. Sebulan. Tidak boleh lebih lama.

Kualitas guru memang ikut menentukan dalam menentukan unggulan. Belum tentu satu sekolah punya cukup guru yang berkualitas baik. Termasuk dalam hal passion.

Maka saya akan izinkan bila satu madrasah hanya akan punya dua mata pelajaran saja. Terutama kalau di madrasah itu hanya punya dua guru yang bagus.

Kalau ada mata pelajaran yang tidak ada gurunya yang bagus lebih baik mata pelajarannya dihapus saja. Untuk apa dipaksakan ada, dengan guru seadanya. Yang jadi korban: siswa. Juga orang tua mereka.

Begitu banyak persoalan yang dihadapi Majelis Pimpinan Pusat (MPP) PSM.

Untung kiai kami yang baru, MT Yanuar Miryanta, masih muda.

Ryan belum 30 tahun. Alumni hukum UII Yogyakarta. Ia jadi ketua umum dadakan karena ayahnya meninggal di masa Covid-19.

Keunggulannya: banyak senyum, banyak humor, dan pembelajar yang cepat.

Meski begitu banyak masalah yang ia hadapi, ia senyum-senyum saja. Ia pandai mengejek diri sendiri. Ia mengartikan MPP sebagai majelis persoalan persoalan.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia