Tahija Wolbachia

Wabah demam berdarah (DBD) di Jakarta Barat sudah mencapai angka 562 kasus. (Foto: Net)

Oleh Dahlan Iskan

KALAU bisa disebut “harta karun”, demam berdarah termasuk kategori “harta tak bertuan”.

Dunia Barat tidak tertarik memberantasnya. Riset tentang DB pun tidak diutamakan. Apalagi sampai menyediakan dana khusus.

Itu kesimpulan Trihadi Saptoadi, Executive Board Yayasan Tahija. Yayasan Tahija didirikan putra Julius Tahija: dr Sjakon G Tahija.

BACA JUGA: Bani Wolbachia

“Di WHO bisa dilihat daftar penyakit yang masuk kategori seperti DB itu,” ujar Trihadi kemarin.

Memang begitulah nasib penyakit khas negara tropis yang miskin. Beda dengan, misalnya, penyakit AIDS. Atau jantung. Kanker.

Sampai pada suatu ketika dr Sjakon terkena demam berdarah. Sangat berbahaya. Mematikan. Bikin trauma.

Orang kaya meninggal karena demam berdarah sangatlah ironi. Itu yang dialami salah satu orang kaya Indonesia, Dharmawan Ruslim. Mantan direktur utama Astra pula. Ia sampai dibawa ke Singapura –yang minim pengalaman dalam mengatasi demam berdarah. Ia meninggal di sana.

Dokter Sjakon tidak sampai meninggal. Beruntung sekali. Ia pun tergerak untuk tahu lebih banyak penyakit demam berdarah. Terutama mengenai penyebabnya. Lalu bertekad terjun mengatasinya.

Sebagai dokter mata ahli bedah retina, tidak sulit bagi Sjakon memahami dunia kesehatan masyarakat.

Sebagai pewaris salah satu konglomerat terbesar Indonesia di masa lalu tidak sulit mencari dana.

Yang sulit adalah dari mana memulainya. Tidak banyak hasil penelitian tentang DB yang bisa dijadikan acuan.

Tapi harus dimulai. Ia pun memilih fokus pada pemusnahan jentik nyamuk pembawa virus demam berdarah: aedes aegypti. Pakai teknologi control of targeted sources.

Gagal.

Lima tahun Yayasan Tahija berjuang melawan jentik aedes aegypti. Tidak membuahkan hasil. “Sudah habis Rp 50 miliar,” ujar Trihadi yang saat itu belum bergabung ke Yayasan Tahija (baca: Tahiya).

Trihadi orang Kediri. Setelah lulus SMAN 2 Kediri ia masuk ITB. Teknik Industri. Angkatan tahun 1980. Setelah dua tahun bekerja di Elnusa, Trihadi terjun ke lembaga not for profit, NGO. Ia bergabung ke World Vision International.

Selama 30 tahun di WVI Trihadi pindah-pindah: Hong Kong, RRT, Singapura, Belanda, dan terakhir di London.

Kegagalan memberantas jentik aedes aegypti itu dibawa Sjakon ke seminar internasional di Amerika Serikat. Yakni di seminar American Society of Tropical Medicine and Society.

Di situlah Sjakon diberi tahu: ada peneliti nyamuk yang serius di Monash University Australia. Namanya: Prof Scott O’Neill.

Prof O’Neill sudah pula melakukan penelitian terapan di kota kecil di Australia utara. Dekat wilayah tropis. Berhasil.

Prof O’Neill memasukkan bakteri Wolbachia ke dalam telur nyamuk. Itu membuat nyamuk tidak bisa menularkan bakteri ke nyamuk lain maupun ke manusia.@Bakteri Wolbachia itu ditemukan di tahun 1924. Wolbachia ditemukan di banyak serangga, tapi tidak ditemukan di nyamuk.

Ketika O’Neill memasukkannya ke telur nyamuk maka nyamuk baru tersebut tidak lagi bisa menularkan DB ke manusia.

Pulang dari seminar di Amerika, Sjakon melakukan kontak dengan Prof O’Neill. Lalu di tahun 2011 Sjakon ingin menggunakan temuan itu di Indonesia.

Tidak mudah.

Yayasan Tahija menghadapi rintangan berat. Mirip dengan yang dialami mobil listrik dulu. Usaha itu pun gagal.

Beda dengan mobil listrik, Yayasan Tahija lebih pintar. Juga lebih gigih. Ia segera mencari tokoh daerah yang hebat yang bisa menjadi pendukung program pemberantasan DB yang ia inginkan.

Sjakon menemukannya: Sri Sultan Hamengkubuwono X dari Yogyakarta.

Sjakon menjelaskan bahwa Yogyakarta adalah salah satu daerah dengan korban DB terbanyak. Sri Sultan pun memberikan dukungannya. Bahkan Sultan mengatakan “jangankan korban begitu besar, satu orang Yogyakarta meninggal pun sudah terlalu banyak”.

Kalimat Sultan itu seperti mantra. Diingat terus oleh Yayasan Tahija. Dikutip lagi oleh Trihadi untuk saya.

Yang penting, kata Sultan, program ini aman. Sudah berdasar penelitian. Pelaksanaannya juga harus hati-hati.

Sultanlah yang membuat program Yayasan Tahija ini berjalan. Sultan menggunakan senjata otonomi daerah. Tidak perlu minta persetujuan pusat –yang sudah jelas sikap tidak mendukungnya.

Yayasan Tahija pun sangat hati-hati melangkah. Dimulai dengan area sangat kecil: hanya di dua dukuh. Yakni dukuh Nogotirto dan Kronggahan. Keduanya di Sleman.

Lebih satu tahun tim Yayasan menyiapkan masyarakat di dua dukuh itu. Dijelaskan sangat detail dan berulang-ulang.

“Bahkan masyarakat diajak ke laboratorium Universitas Gadjah Mada. Mereka melihat sendiri proses terjadinya demam berdarah,” ujar Trihadi. “Juga proses penyuntikan telur nyamuk dengan Wolbachia,” tambahnya.

Sambil menyiapkan masyarakat, Yayasan Tahija berbicara dengan UGM. Yayasan membantu pengadaan dua laboratorium demam berdarah untuk UGM. Pihak UGM menyiapkan peneliti dalam jumlah yang cukup.

“Jadi, yang hebat itu para peneliti demam berdarah di UGM,” ujar Trihadi. Merekalah yang menyempurnakan penelitian Prof O’Neill: sampai menjadi bisa diterapkan di Indonesia.

Para peneliti UGM pula yang melakukan penelitian crossing. Itu penting karena yang akan jadi objek adalah nyamuk lokal –bukan nyamuk bule.

Begitu UGM siap, masyarakat di dua dukuh itu juga sudah siap. Maka kepada penduduk yang terpilih jadi objek diberikan ember. Diisi air. Ke dalam air itu ditaruh telur nyamuk yang sudah terinfeksi Wolbachia. Tiap ember diberi 10 sampai 15 telur.

Tidak semua rumah diberi ember. Satu ember bisa untuk radius 50 m. Setelah dua minggu, telur itu sudah terbang menjadi nyamuk. Lalu ember diisi air lagi. Diberi telur nyamuk lagi.

Begitulah. Tiap 2 minggu dilakukan hal yang sama. Sampai 12 kali.

Setelah itu memang terasa jumlah nyamuk di dua dusun itu meningkat. Tapi penduduk tidak kaget. Sudah tahu. Itu bukan lagi nyamuk yang berbahaya. Pada siklus berikutnya jumlah nyamuk kembali normal. Yang berbeda: nyamuk normal itu tidak berbahaya lagi.

Sri Sultan terus dilapori pelaksanaan program ini. Setelah melihat jumlah korban demam berdarah turun drastis Sri Sultan minta agar diperluas. Di Sleman sendiri. Juga di seluruh Bantul.

Tidak ada gejolak. Tidak ada penolakan. UGM pun punya kian banyak peneliti nyamuk.

Tentu ada yang salah paham: program ini dikira modifikasi gen nyamuk. Sama sekali tidak. Virus Wolbachia-nya asli. Banyak ditemukan di berbagai serangga.

Pemerintahan pun berganti. Kebijakan juga berubah. Menkes Budi Sadikin mendengar kisah sukses pemberantasan DB di Yogyakarta itu. Maka pemerintah pusat kini justru memperluasnya ke lima kota: Jakarta Barat, Bontang, Semarang, Bandung, dan Kupang. Tetap menggandeng UGM dan Yayasan Tahija.

Tidak termasuk Bali seperti saya tulis kemarin. Program di Bali itu ternyata beda. UGM dan Yayasan Tahija tidak dilibatkan di Bali. Rupanya sukses di Yogyakarta terdengar pula sampai di Australia. Lalu pemerintah Australia memberikan dana untuk program “serupa Yogyakarta” di Bali. Pelaksananya Monash University dan organisasi nyamuk dunia.

Ketika temuannya diterapkan di Yogyakarta, Prof O’Neill memang sering ke Yogyakarta. Ia juga selalu mendapat up date jalannya program di Yogyakarta. UGM telah belajar ke O’Neill dan O’Neill telah belajar dari UGM.

Rupanya Monash, sebagai perintis, tidak mau pada akhirnya dikalahkan oleh UGM.

Persaingan tidak hanya terjadi di bisnis. Juga di universitas dan di ilmu pengetahuan. Kalau saja Monash tidak diizinkan ke Bali, bisa saja UGM menjadi yang paling hebat di soal demam berdarah.*

Penulis adalah wartwan senior Indonesia