Oleh Dahlan Iskan
“ANDA semester berapa? tanya saya.
“Semester 11 pak,” jawabnya.
Sudah tiga hari saya mencari mahasiswa yang lucu ini:
Brahma Aryana.
Bram, panggilannya, kuliah di Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia. Hukum tata negara. Bram tinggal menunggu putusan MK: soal usia minimum capres/cawapres. “Mungkin tanggal 28 lusa pembacaan putusannya,” kata Bram.
Bram selalu memonitor jadwal sidang-sidang di Mahkamah Konstitusi. Terutama sejak ia mengajukan “gugatan” ke MK. Ia minta putusan MK No 90 yang menghebohkan itu dicabut. Diganti dengan putusan baru: “….umur 40 atau minimal pernah menjabat gubernur”. Bukan hanya pernah menjabat kepala daerah termasuk bupati/wali kota.
“Saya lihat tanggal 28 November tidak ada sidang. Mungkin untuk membacakan putusan terkait “gugatan” saya,” kata Bram.
Kini Bram berusia 23 tahun. Masih menyelesaikan skripsi. Ia kelihatan malu-malu karena tidak segera lulus. Statusnya tetap mahasiswa. “Kalau ada yang bertanya semester berapa, agar aman, saya jawab ‘semester terakhir’,” katanya.
Bram hidup bersama ibunya. Janda. Jualan es di rumahnyi. Ayahnya sudah lama meninggal. Dosen Universitas Indonesia. Karena itu, kelak, Bram ingin kuliah S-2 di UI. Adiknya juga sudah meninggal dunia.
Meski belum lulus, Bram sudah punya judul skripsi: Tanggung Jawab Hukum Partai Politik. Partai politik harus dibubarkan kalau ada kadernya yang terbukti korupsi. Ia mengacu pada perusahaan yang bisa dibubarkan dalam perkara korupsi.
Bram sudah tiga kali ikut sidang di MK. Proses pemeriksaan sudah selesai. Ia selalu ikut sidang langsung di gedung MK. Tidak lewat online. Itu karena Bram tinggal di Jakarta.
Bram seorang aktivis. Ia bergabung ke komisi pemantau pemilu, KIPP. Posisinya di KIPP itulah yang ia pakai sebagai legal standing “menggugat” ke MK. “Legal standing saya lebih kuat dari legal standing Almas,” katanya.
Almas adalah pemohon No. 90 yang membuat Gibran, putra Presiden Jokowi, memenuhi syarat menjadi calon wakil presiden. Permohonan Almas dikabulkan. “Padahal legal standingnya hanya sebagai pengagum Gibran dan sebagai anak muda yang punya cita-cita sebagai presiden,” kata Bram.
Almas, Anda sudah tahu, mahasiswa hukum semester akhir Universitas Surakarta.
“Apakah Anda tahu kalau pun permohonan Anda dikabulkan nanti tidak ada pengaruhnya pada pencawapresan Gibran?”
“Saya tahu,” katanya.
“Apakah Anda tidak takut dianggap tidak pro anak muda?”
“Sejak saya mengajukan ‘gugatan’ sudah ada yang menilai begitu,” jawabnya.
Saya pun kembali menghubungi Boyamin, pengacara yang juga ayah Almas. Boyamin merasa pihaknya tidak punya kepentingan apa pun di gugatan Bram. “Bahkan seandainya gugatan itu dikabulkan dan status cawapres Gibran ditinjau kembali, saya pun tidak masalah,” katanya.
Bram tidak menangani sendiri permohonannya ke MK. Ia memberikan kuasa pada pengacara Viktor Santoso Tandiasa. “Beliau mengajar di kampus kami. Beliau juga sering beracara di MK,” ujar Bram.
Mahasiswa semester terakhir berkibar di MK. Dari universitas swasta di daerah. Almas dari kampus pinggiran Solo. Bram dari kampus pinggiran Jakarta: Parung.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia