Dua Lubang Tertulis di Langit: Catatan Ringan dari Konferprov V PWI Kepri

Wartawan Fatih Muftih bermestautin di Tanjungpinang Riau. (Foto: J5NEWSROOM.COM)

Oleh Fatih Muftih

SAYA adalah satu dari 79 insan pers yang beruntung memiliki hak suara untuk memilih Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Provinsi Kepulauan Riau periode 2023–2028, serta ketua dewan kehormatannya. Kenapa saya katakan beruntung, karena saya yang berusia nisbi muda masih aktif kartu anggotanya, sementara beberapa senior lain dengan tahun karier berlipat-lipat dari saya batal hak pilihnya semata karena kartunya telah kedaluwarsa.

Status kartu yang aktif itulah yang membuat beberapa kawan di Tanjungpinang meminta saya ikut menyeberang ke Batam sehingga dapat menyalurkan suara dalam konferensi tingkat provinsi yang ditaja di hotel Golden View Batam, Jumat (15/12/2023).

Saya tidak lekas menyanggupi permintaan tersebut.

Sebagai wartawan yang lumayan malas di luar urusan ketik-mengetik berita, saya juga beranggapan apalah arti suara saya dibandingkan kawan-kawan lain yang lebih senior dan punya kedekatan hangat dengan organisasi ini. Dalam sepuluh tahun berkarier sebagai juru warta, seingat saya, hanya sekali dua saya terlibat pada kegiatan PWI di tingkat kota atau provinsi, itu pun lantaran kegiatannya tidak jauh dari indekos. Selebihnya, saya cuma ha ha hi hi menumpang belajar pada mereka, wartawan-wartawan senior, yang telah kenyang asam-garam skena peliputan.

“Tengok nantilah, ya,” ini jawaban aman saya, jawaban sekenanya.

Tapi, Anda tahu, jawaban aman bukanlah jenis yang disukai wartawan. Dua hari jelang gelaran konferensi, mereka mengajak saya ngopi untuk menuntut konfirmasi kehadiran saya di Batam. Saya minta waktu 24 jam lagi untuk memutuskan antara berangkat dan tidak; saya punya sejumlah tenggat tulisan yang harus dipenuhi.

Saya, sekali lagi, katakan kepada mereka: “Suara aku yang sebiji ini dalam pemilihan ketua itu takkan berpengaruh. Lagi pula PWI Kepri sudah sebesar itu dan apalah artinya sebiji suaraku.”

Kawan-kawan saya, yang usia karier kewartawanannya lebih tua dari saya, menampik jawaban itu dan, dalam sekali kejut, mereka menyitir kalimat agung dari komisi pemilihan umum di negeri ini: “Satu suara menentukan masa depan bangsa” atau yang dalam bahasa mereka, “Suara sebiji menentukan masa depan PWI Kepri”.

Anda tahu, kawan-kawan saya ini kalau mewawancarai narasumber bisa segarang singa, tetapi ketika berdialog dengan kawannya sendiri bisa sejenaka ini; jujur, setelah tawa yang berderai-derai, saya tersentuh dan mempersilakan mereka memasukkan kontak saya dalam grup keberangkatan menuju konferensi.

“Kita songsong perubahan, Bung!” pekik salah seorang kawan.

“Kopi lagi secangkir,” timpal saya.

“Kopi perubahan, Bung!”

“Kopi o saja, gula sedikit.”

***

Ketua Umum PWI Pusat Hendry Ch Bangun berfoto dengan para pengurus dan anggota PWI Provinsi Kepri. (Foto: J5NEWSROOM.COM)

Pada dua gelaran konferensi sebelumnya, ketua selalu terpilih melalui aklamasi alias muncul satu nama dan mayoritas pemilik suara menyepakatinya. Sah. Tapi, pada Konferprov V PWI Kepri tahun ini tidak begitu cara mainnya; ada lebih dari satu nama yang mendaftarkan diri sebagai calon ketua organisasi dan calon ketua dewan kehormatan, yakni duet Andi Gino-Ramon Damora dan duet Saibansah Dardani-Parna Edison Simarmata.

Sebagian nama asing buat saya dan sebagian lagi begitu dekat. Tapi, Anda tahu, urusan memilih demi—seperti kata kawan ngopi saya—perubahan, kita tidak bisa menjadikan taraf perkenalan sebagai titik tolaknya. Hubungan emosional itu memang ada, tapi lantas tidak asyik juga bila kita menepikan objektivitas berbasis logika. Sehingga, di dalam feri penyeberangan Pinang-Punggur, saya memesan kopi instan untuk menambal kantuk seraya membaca rencana program kerja dua kandidat tersebut.

Yang pasangan A, jika terpilih, mau begini mau begitu. Pasangan B, jika dipercaya, punya program lain membuat ini membuat itu. Saya menyimak satu demi satu sambil menakar ulang situasi terkini organisasi dan mana-mana yang memang aktual dan realistis untuk dikerjakan hari ini.

Perbedaan-perbedaan kecil dalam detail-detail program itu, saya hakulyakin sebenarnya, bermuara satu: PWI Kepri yang lebih maju. Meski begitu, saya harus ingat bahwa suara saya satu dan tidak mungkin memilih keduanya, sehingga, bagaimanapun sukarnya, saya pun harus menentukan sikap untuk memilih satu di antara mereka.

Hal-hal semacam itu yang, dalam hemat saya, niscaya tidak mencuat ke permukaan bilamana pemilihan organisasi selalu selesai lewat aklamasi. Sistem demokrasi, kendati belum sempurna betul praktiknya, tetap memberi laluan kepada siapa saja urun bagian, urun pemikiran, untuk perbaikan ke depan.

Inilah yang sebenarnya membulatkan tekad saya untuk datang ke Batam, untuk melihat sekaligus menjadi saksi bahwa PWI, sebagai satu-satunya organisasi wartawan yang saya ikuti, turut mengedepankan asas demokrasi yang bebas yang terbuka sekaligus gembira dalam bertumbuh dan berkembang menyongsong tantangan zaman.

Sekarang, saya sudah tahu pasangan mana yang akan saya pilih. Saya paham mengapa kawan ngopi saya kemarin begitu semangat memekikkan “perubahan” karena memang itulah yang benar-benar sedang dibutuhkan. Lagipula, bukankah Perubahan—dengan P besar—adalah hal nomor dua yang abadi di muka bumi setelah eksistensi Tuhan?

***

Konfirmasi dari pengurus PWI Pusat bahwa wartawan yang kini berstatus caleg juga punya hak suara untuk memilih ketua organisasi dan ketua dewan kehormatan disambut riuh oleh seluruh yang hadir dalam ruangan. Ada yang bersorak. Ada yang menggerutu. Saya tidak paham dengan apa yang terjadi, tetapi dari dengar curi dengar, konfirmasi itu dapat memengaruhi hasil pemilihan karena sejumlah suara yang semula terbekukan itu kini telah menjadi cair, bebas dialirkan untuk pasangan A atau B.

Saya mendengar dari meja sebelah bahwa si caleg X pasti ke A, sementara si caleg Y akan ke B, adapun caleg Z bisa saja diyakinkan ke salah satu pasangan. Semua desas-desus itu bertumpang-tindih sampai saya tidak tahu yang mana benar satu; saya mencomot sebiji epok-epok di atas meja dan melahapnya. Ada wartawan aktif jadi caleg saja, menurut saya, sudah aneh. Kita memang tinggal di alam demokrasi, namun mengemban dua status itu, wartawan plus anggota partai politik, di waktu yang bersamaan amat riskan dan rentan konflik kepentingannya.

Tapi, ya, sudahlah; saya bisa apa. Ketimbang menggerutu sendiri dan tak jelas juntrungannya, saya memilih melipir ke meja belakang dan menuang secangkir kopi hitam.

“Tetap di barisan menyongsong perubahan, kan, Bung?” kata kawan yang sama yang sedang mengantre kopi di belakang saya.

“Tetap kopi o, gula sedikit saja.”

Dia terkekeh; jawaban saya takkan berubah.

***

Suasana penghitungan suara yang tegang dan berakhir dengan kemenangan pasangan Andi-Ramon. (Foto: J5NEWSROOM.COM)

Tiga puluh delapan; masing-masing calon ketua mengantongi raihan yang sama. Di kotak tersisa dua lembar lagi. Sepasang suara yang niscaya menjadi penentu nama siapa yang akan keluar sebagai ketua organisasi sampai lima tahun ke depan. Jika di awal-awal penghitungan waktu terasa begitu lekas dan satset, pada dua suara terakhir ini waktu melambat, wajah-wajah peserta konferensi tegang, saya menumpang intip di sela-sela pundak kawan-kawan yang sibuk merekam proses penghitungan suara.

Satu kertas diambil. Dibuka dan diangkat setinggi hasta. Panitia dan saksi dan pemimpin sidang memeriksa kertas suara. “Andi,” kata Richard Nainggolan, yang memimpin sidang konferensi ini. Panitia di sebelah papan tulis lekas menggores sebatang hitungan lagi.

Sekarang posisi 39 untuk Andi dan 38 untuk Saibansah dan satu kertas suara di kotak. Milik siapakah yang selembar belum terangkat itu? Pada situasi demikian, waktu berkali lipat lebih lambat. Semua menahan napas. Degup jantung lebih lekas. Satu suara itu adalah jawaban akhir dari konferensi yang berlangsung dari pagi hingga tengah malam ini. Suara siapakah yang teramanatkan dalam kertas yang masih tergeletak itu?

Dalam kepala saya, adegan ketika panitia mulai menjemput selembar kertas suara terakhir itu berlangsung dalam gerak lambat atau slow-motion ditingkahi musik intens gubahan Hans Zimmer. Kertas berpindah dari kotak, tangan ke tangan panitia penghitungan suara, hingga diangkat tinggi-tinggi untuk mencari pada wajah siapakah lubang tercoblos di sana.

Selanjutnya, masih dalam kepala saya, adegan sudah kembali beralih dengan kecepatan normal, hanya musik Zimmer kian tebal dan bertalu-talu. Pemimpin sidang menyebutkan bahwa suara terakhir itu milik Saibansah. Para pendukungnya bersorak menyambut keputusan itu. Karena dengan begini, artinya raihan suara antara Andi dan Saibansah terhitung sama: masing-masing 39 suara.

Tetapi, tetapi, dan tetapi, semuanya belum terhenti sampai di sini. Tepat sebelum digoreskan suara itu di papan tulis, ada tanda lain di kertas suara yang tercermati oleh panitia, yakni terdapat lubang lain di sana, lubang yang terbuat tepat di atas logo organisasi, logo PWI.

Panitia dan saksi dari masing-masing calon lantas memverikasi keberaadaan lubang kedua tersebut, dan memang benar adanya. Dua lubang di kertas suara inilah yang menganulir atau menggugurkan keabsahan suara tersebut. Dengan demikian, hasilnya sudah terang belaka dan final mengikat: Andi 39 suara dan Saibansah 38 suara. Sebab satu yang mestinya menjadikan hasil pemilihan seri dalam detik-detik terakhir dinyatakan tak sah alias gugur.

Dua belas jam sebelumnya, atau ketika konferensi ini dibuka, Ketua Umum PWI Pusat, Henry Ch Bangun, sempat mengucapkan, “Ingat, tidak ada satu daun pun yang jatuh kecuali atas izin Allah SWT, apalagi pemilihan ketua PWI; semuanya sudah tercatat di langit.”

Kalimat itu sontak berdengung kembali dalam kepala saya seiring ketuk palu sidang di atas meja. Betapa memang tidak ada di muka bumi ini luput dari catatan langit. Tak satupun. Termasuk dua lubang di kertas suara terakhir itu, dua lubang yang sudah tertulis di langit, yang saya tafsir sebagai wujud kecintaan pencoblosnya pada PWI Kepri, sehingga sampai perlu mencoblos logonya.

Voila! Gila!

Ini proses demokrasi yang superketat dan tak terbayangkan oleh siapa saja yang hadir di sana. Jika konferensi sebelum-sebelumnya putus lewat aklamasi, kini harus melewati pemilihan suara dengan ketegangan dan keketatan semacam ini, konferensi yang kelak akan kekal dalam sejarah panjang organisasi ini, jadi ingatan bahwa organisasi wartawan paling tua di republik ini bukan milik segelintir kelompok semata, melainkan siapa saja boleh mengajukan diri dan siapa saja juga bebas memutuskan pilihannya demi perubahan ke arah yang lebih baik.

Komposisi dukungan pada calon ketua yang, boleh saya simpulkan, setara (50:50) niscaya menggenjot dinamika organisasi ini lebih aktif, lebih kreatif, lebih inovatif. Itu yang akan menggembirakan semua anggota selama lima tahun ke depan sebab pengurus terpilih tidak boleh jemawa dan bersantai-santai dalam memikul amanahnya.

Saya suka sekali dengan jargon bahwa “PWI Kepri adalah rumah besar kita”. Dan sudah menjadi tabiat rumah besar, tidak bisa dihuni dan dirawat dan dikembangkan oleh seorang diri atau segelintir pihak; perlu lebih banyak tangan dan lebih banyak kepala demi mewujudkan rumah besar yang berkerlip lampunya, bersih tamannya, mengkilat catnya, sehingga jadi tempat aman, nyaman, dan teduh buat semua penghuninya.

Itu harapan kita.*

Fatih Muftih atau yang lebih dikenal sebagai @mekanikata adalah wartawan asal Tanjungpinang.