Ikut Sendiri

Keluarga Dahlan Iskan saat liburan di China. (Foto: Disway)

Oleh Dahlan Iskan

AKHIRNYA saya pilih ikut ke Disneyland, Shanghai. Tapi ada masalah besar: bagaimana bisa ikut masuk. Saya telanjur tidak dibelikan tiket. Semula ada acara lain, tapi batal.

Dari pada bengong sendiri ikut saja para cucu. Soal tiket bisa diatasi di lokasi. Mestinya.

“Di mana ada kemauan di situ ada jalan”. Saya akan buktikan keampuhan pepatah itu.

Tidak ampuh.

Tidak bisa masuk.

Memang sejak sebelum berangkat saya sudah diberi tahu: Disneyland penuh. Tidak bisa lagi dapat tiket.

Tidak percaya. Kemauan saya lebih kuat dari baja. Jangan ditakut-takuti seperti itu.

Disneyland itu seluas satu kabupaten –di dunia fantasi. Tidak mungkin tidak ada tempat hanya untuk ditambah satu orang lawan perusuh Disway. Disneyland bukan stadion Anfield yang bisa penuh.

Maka saya ngotot ikut ke stasiun kereta bawah tanah. Agak telat kumpul cucu di pinggir jalan –hehe lobi hotelnya di pinggir jalan. “Mengapa harus berangkat jam 06.00?” pikir saya. Untuk apa? Bukankah Disneyland baru buka jam 10.00?

Tapi itu sudah keputusan manajer perjalanan. Yang meski masih kelas 1 SMAN 5 Surabaya tapi lebih berpengalaman dari kai-nya -dalam hal Disneyland. Ia sudah ke Disneyland di belahan dunia mana saja. Pun seandainya di kutub selatan ada.

Maka kami sedikit telat tiba di Disneyland. Telat lima menit. Akibatnya: formasi jalur antrean sudah berubah. Lima menit sebelumnya lajur yang agak lurus masih buka. Lalu ditutup. Dibelok-belokkan. Diputar-putar. Kami pun dimasukkan labirin tanpa ujung. Manusia terlalu banyak. Belum pukul 07.15. Sudah demikian banyaknya manusia.

“Kai sih tidak percaya anak muda,” komplain sang SMA.

Kami pun harus jalan kaki lebih jauh. Di labirin itu. Tiap 50 meter diputer balik. Mungkin sampai 25 kali. Atau 50. Sambil kedinginan. Pagi yang berkabut. Kabut pagi pun membatasi jarak pandang. Sinar matahari seperti mati lampu.

Padahal, di kereta bawah tanah tadi si SMA sudah mencari rute yang hanya pindah kereta sekali. Yang hanya berhenti di 22 stasiun. Istri saya pun sudah bisa cepat masuk kereta –sekalian dengan kursi rodanya.

Akhirnya sampailah antrean itu di pos pemeriksaan security. Lolos. Masuk halaman luas. Mata jelalatan mencari di mana loket jualan tiket.

Ada. Gembira. Di sana. Loketnya banyak sekali.

Tutup semua.

Yang jaga pun tidak ada.

Yang ada sebuah pengumuman: Disneyland tidak lagi jual tiket di lokasi. Semua harus beli online. Sejak Disneyland buka kembali setelah Covid-19.

“Sudah dibilang….”.

Istri pun tidak menampakkan sikap membela suami.

Saya terpaku sendiri. Mereka pun masuk gerbang -tanpa merasa iba. Apalagi merasa bersalah.

“Sudah…dibilang…”.

Mereka pun masuk gerbang Disneyland dengan riang gembira.

Saya hanya bisa berdiri terpaku. Sendirian. Kedinginan.

Suasananya mirip para pemain West Ham yang riang gembira meninggalkan penjaga gawang Arsenal yang sedih kemasukan dua gol tanpa balas pekan lalu.

Setelah mereka hilang dari pandangan saya sadar dari lamunan. Saya pun harus memutuskan untuk kembali ke kota.

Saya tersadar lagi: tidak ada uang di kantong. Kasirnya sudah tidak tampak –mungkin mereka sudah bersuka ria sarapan di salah satu resto di dalam sana.

Sendiri.

Tanpa uang.

Belum sarapan.

“Di mana ada kemauan tidak selalu ada jalan”.

Ada. Ada jalan. Yakni jalan memutar. Jalan balik ke kota. Jalan kaki. Apa hendak dikata.

“Di mana ada kemauan di situ ada jalan”.

Saya kini punya mau kembali ke hotel. Pun seandainya tidak mau, toh harus kembali ke hotel.

Ups…ada jalan!

Ada satu orang yang iba pada saya. Orang baru. Anak muda.

Orang itu baru saja saya kenal beberapa menit yang lalu. Ketika kami di kereta bawah tanah ia duduk di seberang saya –agak ke kiri jauh.

Beberapa kali ia seperti menyapukan pandangan ke wajah saya. Sesapuan. Beberapa kali. Sesekali sapuannya kepergok mata saya. Diam. Menyapu lagi. Diam.

Ketika kami turun dari kereta, ia mendatangi saya. Setengah tidak percaya, ia menyebut nama saya. Dengan tanda tanya. Kami pun bersalaman.

Itulah dewa penolong saya hari itu. Bukan cucu. Bukan anak. Bukan istri.

Ia orang yang baru saya kenal.

Saya pun kembali percaya dengan prinsip berikut: “di dunia ini, di mana-mana, selalu ada orang baik”

Ia anak Indonesia yang hebat. *

Penulis adalah wartawan senior Indonesia