Oleh Dahlan Iskan
INILAH yang ditakutkan Israel: perang darat. Jagoan di serangan udara itu masih kesulitan menemukan di mana sandera Hamas disembunyikan.
Satu per satu bangunan yang jadi markas Hamas diserbu. Dihancurkan. Warga Israel yang disandera, 132 orang, belum juga ditemukan.
Hamas pun kian berani perang jarak dekat. Mereka tahu bangunan mana saja yang akan didatangi tentara Israel. Maka militan Hamas mengincar kedatangan mereka: Selasa lalu. Yang ditunggu pun datang. Pasukan Israel siap menghancurkan bangunan dua lantai itu. Kedatangan mereka dikawal dan dilindungi tank. Militan Hamas pun menunggu sampai mereka mendekat: booommm! Tank itu ditembak dengan RPG. Hancur. Dua tentara Israel di dalamnya tewas.
Sesaat kemudian ketika sejumlah tentara Israel memasuki bangunan, booommm! Senjata RPG yang lain meledak. Bangunan itu hancur. Sebanyak 21 tentara Israel tewas di dalam bangunan. Itulah korban perang di pihak Israel terbesar dalam satu serangan. Sorenya jumlah yang meninggal bertambah tiga lagi –menjadi 24 orang.
Mereka yang tewas itu sebenarnya tentara yang sudah tidak aktif. Mereka dipanggil negara untuk menyerbu Hamas di Gaza. Dari daftar yang tewas umumnya berumur antara 21 sampai 35 tahun.
Taktik menunggu musuh jarak dekat seperti itu menandakan dua hal.
Pertama, Hamas kian terdesak. Sedikit demi sedikit wilayahnya dikuasai tentara Israel. Bangunan-bangunan yang diduga menjadi markas para militan Hamas diserbu. Posisi Hamas yang kian terdesak membuat taktik perang jarak dekat dilakukan Hamas. Kalau perlu pakai risiko maksimal: tertembak.
Kemungkinan kedua, militan Hamas kian militan. Mereka kian sulit bergerak. Tidak ada pilihan: dibunuh atau membunuh. Maka Israel tidak bisa gegabah lagi melakukan serangan. Bisa jadi Hamas memasang senjata ranjau di bangunan-bangunan yang akan diserbu Israel. Atau satu-dua militan sengaja menunggu kedatangan tentara Israel. Lalu diserbu dari jarak dekat.
Perang Israel-Hamas ini sebenarnya tidak imbang. Tapi sudah 3,5 bulan belum berakhir. Bahkan lokasi sandera pun belum ditemukan.
Menyembunyikan 132 sandera sungguh tidak mudah. Tapi Hamas mampu mempertahankan sandera. Tawaran terakhir Israel langsung ditolak Hamas. Yakni Israel sanggup genjatan senjata dua bulan kalau seluruh tawanan dibebaskan.
Tawanan, bagi Hamas adalah senjata penting. Konon serbuan Hamas ke acara musik psychedelic Israel tanggal 7 Oktober lalu punya tujuan itu –mencari tawanan Israel.
Untuk apa?
Banyak militan Hamas yang ditahan di Israel. Ribuan. Hamas selalu gagal memperjuangkan pembebasan mereka. Maka harus dicari sandera baru. Sebagai nilai tawar tukar tahanan.
Tewasnya 24 tentara Israel di satu peristiwa merupakan kejutan kedua. Inilah jumlah korban terbesar.
Hamas telah menemukan taktik perang jarak dekat. Kalau taktik itu dianggap berhasil tentu banyak bangunan lain yang disiapkan untuk perang jarak dekat.
Apa yang terjadi di Gaza sekarang ini mengingatkan saya pada para gerilyawan Indonesia di sekitar perang kemerdekaan. Secara kekuatan senjata gerilyawan kita tidak sebanding dengan Belanda. Tapi para gerilyawanan itu tidak takut. Mereka selalu bisa mencari cara menyergap pasukan Belanda.
Namun medan perang di Gaza sangat sempit. Hanya sekitar 40 x 100 km. Tanpa hutan. Tanpa pegunungan. Mau ngumpet di mana. Tapi mereka masih bisa menyembunyikan 132 orang.
Di Israel, tewasnya 24 tentara itu jadi momentum kenaikan semangat patriotisme. “Tidak ada jalan damai sebelum Israel menang”.
Apa arti menang di situ?
Sampai 132 sandera dibebaskan?
Sampai semua tokoh Hamas dibunuh atau menyerah?
Sampai seluruh Gaza diduduki Israel?
Sampai semua orang di Gaza dibunuh?
Belum ada tafsir arti menang di situ. Yang jelas PM Israel tidak mau ada dua negara di Tanah Palestina itu. Berarti tidak akan ada negara Palestina Merdeka.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia