Oleh Swary Utami Dewi
MAMAHKU. Namanya Turiana Bungan binti Bungan Juru. Perempuan asli Dayak, Kalimantan Tengah, ini wafat dalam usia 78 tahun. Innalilahi wa innailaihi rajiun. Beliau seorang ibu yang tangguh dan sosok nenek yang baik dan penyayang.
Mamah sakit beberapa hari dan mendadak tidak mau makan. Lalu dua hari dalam kondisi tidak sadar. Saat aku dan anakku datang ke Palangkaraya, Mamah sempat sadar meski sangat lemah. Matanya bisa terbuka sedikit dan tangannya bergerak. Beliau bisa menjawab dengan isyarat atau mengeluarkan suara.
Lalu kondisinya menurun kembali dan tidak sadar. Sehari sebelum wafat, Mamah sama sekali tidak bisa merespons. Bagian kaki hingga lututnya sudah mulai mendingin. Dahinya agak berkeringat. Aku katakan kepada saudara-saudaraku bisa jadi waktu Mamah sudah dekat. Aku pernah membaca tanda-tanda saat ajal menjelang. Salah satunya adalah rasa dingin yang dimulai dari kaki dan perlahan naik hingga ke kepala, serta dahi yang berkeringat.
Pada Senin, 26 Februari 2024 atau 16 Shaban 1445, di Palangkaraya, bertepatan dengan azan zuhur, Mamah menarik napas panjang, hanya sekali. Lalu ia terkulai tidak bernapas. Monitor di sampingnya menunjukkan garis lurus, tidak lagi grafik turun naik. Anak-anak Mamah yang menemani melepas beliau dengan ikhlas. Beberapa cucu, yang kebetulan hadir, lebih menampakkan ekspresi.
Mereka berlinang dan berurai air mata. Ini tidak mengherankan karena tangan sang neneklah yang kerap mengasuh mereka. Cucu bagi Mamah adalah tempatnya mencurahkan kasih secara total. Jika ke anak banyak keharusan, terhadap cucu hanya limpahan sayang — jika tidak disebut “memanjakan”. Puluhan cucu inilah yang lebih menampakkan ekspresi. Bisa jadi karena usia mereka yang relatif muda, ditambah dengan kedekatan terhadap sang nenek, yang membuat duka mereka lebih terlihat.
Mamah dimandikan di ruang jenazah rumah sakit. Aku turut menyaksikan dan sebelum dikafani juga menyiramkan air ke badan Mamah. Kulihat ada senyum tenang dan bahagia di wajahnya. Anak-anak perempuan dan cucu perempuan Mamah yang ikut memandikan, merasakan ketenangan dan kebahagiaannya.
Sesudah itu, Mamah dibawa sebentar ke rumah lamanya di Jalan Sumbawa. Sebelum jatuh pada fase tidak sadar, Mamah memang memberikan beberapa pesan kepada anak-anaknya, termasuk minta dibawa ke rumah Sumbawa. Kami memahami bahwa rumah itu adalah tempat kenangan berharga bagi Mamah dan Papah (almarhum).
Sesudah dilakukan sholat jenazah di masjid terdekat, Mamah dibawa ke pemakaman muslim di Pal Dua, Palangkaraya. Sore hari, sekitar jam 15.30 WIB, proses pemakaman dimulai. Mamah disemayamkan persis di sebelah makam Papah. Saat Papah wafat di tahun 2008, Mamah sudah berpesan ke petugas pemakaman untuk minta disediakan tanah sepetak di samping kuburan Papah untuk menjadi tempatnya kelak. Dan wasiat Mamah tersebut terlaksana.
Saat pemakaman, matahari bersinar sendu. Tidak terik sama sekali. Awan memayungi. Hujan lebat yang terjadi pada hari-hari sebelumnya tidak muncul. Pada pagi menjelang siang di beberapa tempat memang masih turun hujan.
Namun sore itu, alam memberikan kesempatan yang sejuk dan nyaman kepada Mamah untuk dimakamkan dengan tenang. Udara mendayu dan angin bertiup sepoi-sepoi. Mamah kini terbaring tepat di sebelah laki-laki yang sangat dicintainya. Prosesi yang dimulai sekitar 15 30 WIB selesai dalam waktu yang tidak begitu lama.
Karena Mamah datang dari keluarga yang memiliki latar agama dan keyakinan berbeda, maka sesudah cara Islam dilakukan, kesempatan mendoakan Mamah juga diberikan kepada saudara-saudara yang beragam non-Islam. Ada yang Protestan, Katolik dan Kaharingan.
Dari Islam sendiri pun bervariasi. Ada yang Muhammadiyah, NU, bahkan “Islam Hijrah”. Aku turut menyaksikan keluarga besar Mamah yang mendoakannya dengan cara masing-masing. Aku yakin Mamah pasti bahagia mendapat begitu banyak doa.
Di saat itu, kadang air mataku keluar. Cucu-cucu Mamah sesekali juga tampak masih mengeluarkan air mata. Aku sesekali bergurau kepada mereka untuk tidak sedih berlama-lama, karena Nenek pasti bahagia sudah “pulang kampung”. Jadi, kita jangan berlama-lama bersedih atas wafatnya Nenek.
Sejujurnya, pemahaman “pulang kampung” inilah yang memberiku kekuatan dan kedamaian saat Mamah wafat. Tentang hal ini, aku teringat Prof. Komaruddin Hidayat dengan karyanya yang fenomenal berjudul Psikologi Kematian. Mas Komar, panggilan akrab beliau, juga berkali-kali mengulas ini di berbagai kesempatan.
Salah satu yang masih kuingat adalah uraian di zoom dan YouTube pada 3 Juli 2020. Dari sini aku memahami bahwa bisa jadi bagi keluarga dan sahabat yang ditinggalkan, ada rasa sedih dan duka. Namun, Mas Komar mampu menjelaskan makna kematian yang berbeda dalam ajaran Islam, yang bisa memberikan kelapangan dan keikhlasan bagi keluarga dan sahabat yang ditinggalkan.
Menurut Mas Komar, Islam mengajarkan bahwa kematian sejatinya dimaknai secara positif. Setiap manusia memiliki dimensi ruh dan badaniah. Saat di kandungan, ruh ditiupkan ke jasmani manusia. Saat ajal datang, ruh dipanggil kembali. Dalam Al-Qur’an, Al Maut berarti terpisahnya ruh dari badan. Ajal berarti sudah selesai masa hidup manusia di bumi. Maka, saat kematian datang, saat itulah ruh berpulang kembali kepada Allah.
Uraian Prof. Komaruddin Hidayat mengingatku kembali pada episode pulang kampung atau mudik, terutama saat lebaran. Tergambar suasana riuh-rendah, gegap-gempita dan tumpah-ruah kegembiraan mereka yang pulang kampung. Mas Komar juga menjelaskan, bahwa bagi manusia-manusia yang tenang, bagi para sufi, kematian dimaknai persis seperti “pulang kampung” tadi.
Dalam konteks kematian, saat pulang kampung, ada rasa girang, bahagia dan kerinduan yang amat sangat untuk bertemu Allah, sesudah sekian lama kita berkelana dan menjalani kehidupan di dunia. Maka, kematian adalah momen “pulang kampung” sejati, saat ruh kembali ke haribaan Yang Ilahi. Saat kematian, meski kerap menimbulkan rasa duka mendalam bagi yang ditinggalkan, sesungguhnya hal itu merupakan saat paling membahagiakan bagi yang menjalani kematian tersebut.
Ini pulalah yang kusaksikan di wajah Mamah. Perempuan penyintas kanker sejak 2008 ini, sebelum kematian, seakan tahu bahwa ia akan pulang. Beberapa pesan disampaikan kepada anak-cucunya. Persiapan sebelum pulang kampung juga sudah dilakukannya jauh sebelumnya di sepanjang hidupnya. Salah satunya dengan memberi pendidikan, pengasuhan dan warisan karakter yang kuat ke anak dan cucu. Maka, saat wafat, Mamah pasti sangat berbahagia karena sudah pulang kembali ke pemilik dirinya yang sejati: Allah SWT.
Selamat pulang kampung, Mamah.
Al-Fatihah.
27 Februari 2024